Ketika kamu kehilangan seseorang yang kamu cintai, dia tidak benar-benar pergi meninggalkanmu. Dia hanya pindah ke tempat khusus di hatimu.
•-----•
Setelah melahirkan seorang putra yang begitu tampan, Siti Khumayrah Bilqis --biasa disapa Khuma tengah berbaring lemah tak berdaya di sebuah ranjang salah satu ruang ICU Rumah Sakit di Jakarta. Disebabkan karena shock --pendarahan hebat akibat pernah terjadi benturan ketika Khuma jatuh diusia kandungan enam bulan waktu itu.
Kurang lebih sudah tiga minggu, Khuma tak kunjung bangun dari tidur panjangnya. Dan membuat keluarga besarnya larut dalam kesedihan. Tak terkecuali, sang suami --Jeffry. Lelaki satu itu tak pernah barang sebentar pergi dari sisi Khuma kecuali saat berganti pakaian dan ambil wudhu untuk sholat.
Seperti saat ini, Jeffry baru selesai melaksanakan shalat maghrib dan melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan hikmat. Jeffry pasrah berserah diri pada Allah SWT tapi biar bagaimana pun, dia punya hati yang bisa merasa. Melihat Khuma mengalami koma membuatnya sangat terpuruk walau dia tutupi dengan berpura-pura tegar.
"Bagaimana jadinya saya dan anak kita tanpa kamu, Khuma. Saya belum siap kehilangan kamu..." lirihnya sambil menggenggam erat tangan Khuma yang tidak terinfus. Kini pikiran negatif mulai menyerang Jeffry.
Dan entah sejak kapan, di belakangnya sudah ada Fathan yang selalu mengunjungi adik tersayangnya setiap hari --saat ingin berangkat kerja atau setelahnya. Melihat Jeffry yang terlihat baik-baik saja walau sebenarnya tidak dan Fathan tahu itu, tentu Fathan merasa sangat iba. Bisa terlihat bagaimana Jeffry begitu mencintai adiknya --Khumayrah.
Tapi, Fathan tidak bisa tinggal diam melihat Jeffry yang seperti kehilangan arah. Sudah tugasnya sebagai kakak ipar untuk mengingatkannya. Dengan pelan, Fathan menyentuh pundak Jeffry. "Jeff, pulanglah dan istirahat. Jangan memaksakan dirimu seperti ini. Khuma juga tidak akan suka, dia akan sedih melihatmu begini," ucapnya dengan hati-hati.
Memang keras kepala, atau terlalu menyayangi Khuma tapi tetap saja tak ada yang bisa dibenarkan dari sikap Jeffry saat ini. "Saya nggak apa-apa, Fath," jawabnya singkat.
Fathan tahu, dia juga bersedih atas kejadian ini. Tapi jangan terlalu memaksakan diri karena itu tidak baik dan berlebihan. Allah tidak suka dengan hal-hal yang berlebihan kan? "Jeff, antum nggak mau jengukin putra antum? Dia butuh Ayahnya, Ibunya kan di sini."
Mendengar kata 'putra', hati Jeffry langsung menghangat seketika. Hampir saja dia melupakan kalau sekarang statusnya sudah menjadi seorang Ayah. Bagaimana bisa dia mengabaikan putranya itu. Bisa-bisa kalau Khuma tahu, Jeffry akan didiamkan selama berhari-hari.
"Astaghfirullah." Jeffry mengusap wajahnya dengan gusar.
"Sudah sana antum lihat anak antum. Setelah antum adzanin waktu itu, belum ada nama yang bisa kami berikan padanya. Kami nunggu keputusan kalian." Fathan menepuk-nepuk pelan pundak Jeffry.
Mengangguk kecil, Jeffry mengerti. Bahkan dia melupakan hal semacam memberikan nama untuk putranya itu. Saking khawatir dan takut akan kehilangan Khuma, membuat Jeffry kalut. Tentu saja Jeffry tak sengaja dan segera memperbaiki semuanya.
Sebelum beranjak dari duduknya, Jeffry menyempatkan diri untuk menatap lamat-lamat wajah istrinya itu. Tak lupa dia menggenggam erat tangannya. "Mas pergi sebentar ya, mau nengokin anak kita."
"Saya titip istri saya, Fath." Jeffry pergi dari sana setelah mengatakan itu pada Fathan dan mendapat anggukan kepala darinya.
Di rumah Bunda Fatmah, Jeffry berdiam diri di sisi ranjang bayi yang ada di kamar Khuma. Tak ada nama yang bisa dia panggil dan itu membuat Jeffry seketika merasa bersalah. Sebab sudah dua minggu berlalu dan si tampan ini tak juga diberi nama.
Dengan membaca basmalah dalam hati, Jeffry menyerukan sebuah nama yang sebelumnya sudah dia sepakati dengan Khuma. "Zayn Ali Bukhari," gumamnya.
Bayi yang lahir prematur itu pun menunjukkan pergerakan kecil, seakan menyambut kedatangan sang Ayah. Bayi itu --Ali, menatap Jeffry dalam hening dan tatapan meneduhkan.
Ali sempat mendapatkan perawatan intensif selama dua minggu kemarin dan alhamdulillah sudah bisa pulang. Tapi, tidak dengan sang Ibu --Khuma yang masih belum sadarkan diri.
"Maafkan Abi, 'nak. Sekarang kamu sudah punya nama, Abi dan Ummi akan memanggil kamu... Ali." Jeffry mengatakan itu sambil tersenyum dan menyentuh pipi bayi menggemaskan itu.
Tiba-tiba saja Jeffry menitikkan air matanya. Seketika dia membayangkan seandainya Khuma ada di sisinya dan memandangi Ali kecil bersama-sama. Tapi, dengan cepat Jeffry menyeka air matanya yang hendak jatuh lagi. Dia tak boleh menunjukkan kesedihan di depan putranya itu. Namun, Ali kecil malah menangis dan itu membuat Jeffry tersenyum kecil. "Kamu memahami perasaan Abi? Ya Allah, nak."
Digendongnya Ali oleh Jeffry, setelah meminta tolong pada Bunda Fatmah. Ingin rasanya dia membawa Ali ke rumah sakit untuk bertemu Ibunya, pasti Khuma akan senang. Tapi sayangnya Ali tidak boleh memasuki ruang ICU di mana Khuma berada.
Ali terdiam dalam pelukan Jeffry. Ditambah Jeffry melantunkan shalawat yang membuat siapa pun mendengarnya akan merasa damai, begitu juga si bayi. Lama-kelamaan, Ali mulai memejamkan kedua matanya bersamaan dengan Jeffry yang berkata, "kita berdoa bersama ya nak, semoga Ummi cepat sadar dan bisa menggendong kamu."
Setelahnya, Jeffry meletakkan kembali Ali ke dalam ranjang bayi. Lalu dia berpamitan pada putranya itu untuk mandi dan menyiapkan pakaian ganti untuknya yang menginap di rumah sakit. Namun, sebelum itu Bunda Fatmah menyerukan namanya.
"Nak Jeffry..." panggil Bunda Fatmah.
Jeffry menoleh dan menatap Bunda Fatmah dengan tatapan yang kelelahan. Sontak saja hal itu membuat Bunda Fatmah merasa sedih.
"Ingat 'nak. Kamu masih punya Allah, jangan larut dalam kesedihan. Bunda juga sangat sedih atas kejadian ini. Tapi, tolong jangan lupa untuk perhatikan diri kamu sendiri. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan menjaga Khuma dan anakmu?" jelas Bunda Fatmah.
Ingin rasanya Jeffry menangis dalam pelukan Ibu mertuanya itu. Melepaskan segala keluh kesahnya. Tapi, mau bagaimana pun dia harus kuat. Jadi dia hanya mengangguk dan mencoba tersenyum kecil. "InsyaAllah, Jeffry akan selalu ingat pesan Bunda. Maafkan Jeffry ya Bun, nggak bisa menjaga Khuma dengan baik."
"Nggak 'nak, jangan bicara begitu. Nggak ada yang salah di sini. Semua sudah menjadi takdir dari rencana yang Allah SWT susun. Kita sebagai hamba-Nya hanya bisa menerima dan menjalankannya dengan baik. Percaya 'nak, rencana Allah lebih baik dari rencana siapa pun." Itu kata Ayah Adnan yang muncul tiba-tiba di belakang Jeffry.
Bunda Fatmah melirik ke arah ranjang bayi di kamar Khuma. "Kamu lihat? Kamu udah jadi seorang Ayah. Jadi kamu harus kuat dan pikirkan untuk ke depannya gimana. Kita serahkan Khuma sama Allah, biarkan Allah yang menjaganya."
"Iya Bun, Yah. Makasih banyak sudah menguatkan Jeffry..."
Keesokan hari. Jeffry kembali ke rumah sakit dan betapa terkejutnya dia saat melihat ruangan di mana Khuma berada kosong. Tak ada sosok istrinya yang terbaring lemah di sana. Ke mana Khuma? Apa yang terjadi selama dia tak ada semalam?
Dengan panik dia menghubungi Fathan. Beruntung langsung diangkat. Ternyata Fathan ada di ruangan Cateliya. Dengan berlari Jeffry mendatangi Fathan. Dan sesampainya di sana, sudah ada kedua keluarga tengah berkumpul.
Jeffry membuka pintu dengan pelan, membuat orang yang di dekat sana menoleh dan menatap Jeffry dalam diam. Sontak saja hal itu membuat Jeffry berpikir yang macam-macam.
Dengan memantapkan hati, Jeffry melangkah maju menerobos kerumunan yang ada. Hingga tiba di dekat ranjang dan betapa terkejutnya dia melihat Khuma sedang tersenyum. Apa ini mimpi? Atau hanya khayalan Jeffry?
"Khumayrah..." lirihnya.
Khuma tersenyum dan berkata, "mas Jeffry."
•-----•