•-----•
"Jeff, bangun nak..."
Kesekian kalinya Bunda Fatmah menyerukan kalimat yang sama sambil mengetuk pintu kamar Khuma. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Bunda Fatmah begitu khawatir terlihat dari mimik wajahnya.
Merasa terganggu, Ayah Adnan yang kebetulan baru selesai shalat tahajud, menghampiri istrinya itu. "Ada apa, Bun? Kenapa ngetuk-ngetuk kamar Jeffry? Ini belum masuk shubuh..."
Ya, jam baru menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
"Itu lho, Yah. Daritadi Bunda denger Ali nangis dan Jeffry sepertinya tidur pulas. Pintunya dikunci, Bunda khawatir."
Mendengar itu, membuat Ayah Adnan ikut khawatir takut sesuatu terjadi pada menantu dan cucunya itu. "Ya udah tunggu sebentar biar Ayah ambil kunci cadangan."
Tak butuh waktu lama akhirnya pintu kamar terbuka lebar dan memperlihatkan Jeffry yang masih tertidur. Dengan cepat Bunda Fatmah menghampiri Ali, lalu menggendongnya. "Coba Yah dibangunin Jeffrynya. Masa dia nggak denger anaknya nangis?" oceh Bunda Fatmah, sedikit kesal karena membiarkan Ali.
Ayah Adnan menghampiri Jeffry dan hendak membangunkannya tapi beliau urungkan karena terlihat Jeffry seperti sedang gelisah dalam tidurnya. Bahkan terdapat banyak peluh di dahinya, juga kerutan yang begitu nyata. Menepis niat awal untuk menegur Jeffry, Ayah Adnan menyentuh kening lelaki itu menggunakan telapak tangannya.
"Astaghfirullah, Bun kayaknya Jeffry sakit. Dia demam tinggi sampai berkeringat banyak." Ayah Adnan panik karena memang kenyataannya benar kalau suhu tubuh Jeffry benar-benar panas.
Bunda Fatmah mendekat ke arah Ayah Adnan dan memastikan kebenaran yang diucapkan suaminya itu. "Ya Allah, Yah. Pantesan dia nggak denger anaknya nangis. Pasti dia terlalu memaksakan diri dan jatuh sakit. Ayah tolong Bunda ya, ambilkan termometer terus kompresan. Ah iya tolong sekalian tas kerja Bunda ya, Yah."
"Iya Bun, coba dibangunin dan diajak bicara dulu Jeffrynya." Ayah Adnan langsung bergegas menyiapkan semua yang disebutkan Bunda Fatmah barusan.
Berhubung di rumah hanya ada mereka berempat karena Fathan sedang menginap di rumah sakit, jadi Ayah Adnan dan Bunda Fatmah bekerjasama mengurus menantu dan cucu mereka. Coba saja, Jeffry tak mendengarkan perkataan Bunda Fatmah semalam pasti dia sudah berakhir dirawat di rumah sakit.
Ya, seharusnya semalam Jeffry kembali ke rumah sakit tapi Bunda Fatmah larang dan meminta agar lelaki itu istirahat --tidur di rumah. Sebab Bunda Fatmah seorang Dokter, jadi dia tahu kalau Jeffry benar-benar dalam keadaan lelah seperti siap tumbang kapan saja. Dan itu terbukti sekarang.
Kembali lagi, beruntung Ali sudah berhenti menangis jadi bisa diletakkan di ranjang bayi tepat di samping kasur. Bunda Fatmah pun langsung membangunkan Jeffry karena tiba-tiba saja menantunya itu mengigau menyerukan nama Khuma.
"Jeff... bangun nak," ucap Bunda Fatmah sambil menggoyangkan tubuh Jeffry pelan.
Tepat saat itu, Jeffry menitikkan air mata namun dengan senyum simpul yang terpatri di wajah pucat pasinya. "Apa kamu memimpikan Khuma, nak?" gumam Bunda Fatmah yang tak tega melihat kesedihan mendalam menantunya itu.
Lagi, Bunda Fatmah membangunkan Jeffry dan bersamaan dengan Ayah Adnan datang membawa alat pengukur suhu badan. Dengan cepat Bunda Fatmah melakukan pertolongan pertama pada menantunya itu.
Hingga beberapa menit selanjutnya, terdengar suara lenguhan dari Jeffry. Lelaki itu membuka kedua matanya perlahan dan mendapati Bunda Fatmah tengah merapikan stetoskop yang telah beliau gunakan untuk memeriksa Jeffry. Juga, ada Ayah Adnan di samping Bunda Fatmah.
Jeffry merasakan ada sesuatu yang dingin di dahinya, dengan pelan dia menyentuhnya dan berkata, "ini apa Bun?"
"Alhamdulillah nak, kamu sudah bangun." Itu kata Ayah Adnan.
Bunda Fatmah mengucap syukur dan tersenyum lembut layaknya Ibu yang lega melihat putranya berangsur membaik. "Gimana perasaan kamu sekarang?"
"Bun, di mana Khuma?" Alih-alih menjawab pertanyaan Bunda Fatmah, Jeffry malah bertanya tentang keberadaan istrinya itu.
Tentu saja hal itu membuat Bunda Fatmah dan Ayah Adnan mengernyitkan dahi mereka karena bingung. Bukankah Khuma sedang di rumah sakit? Dan Jeffry tahu itu.
Ah, apa mungkin ini hanya delusi yang tercipta secara tak sadar ketika seseorang tengah demam tinggi. Dan kebetulan dalam benak Jeffry, memang lelaki itu tengah memikirkan Khumayrah jadi... begitulah. Pikir Bunda Fatmah.
Mencoba mengecek kembali termometer, dan alhamdulillah sudah mulai turun panasnya, Bunda Fatmah berkata, "Khuma masih di rumah sakit Jeff."
"Jadi... cuma mimpi?" Jeffry menghela napas lalu mengusap wajahnya.
"Maksudnya gimana Jeff?"
Ayah Adnan ikut bicara, "kamu mimpi Khuma sudah sadar? Aamiin ya Allah semoga mimpimu menjadi nyata, Jeff."
Dan detik itu juga adzan shubuh berkumandang. Bunda Fatmah membereskan kompresan dan peralatan lainnya. Begitu juga Ayah Adnan, yang membantu istrinya itu. Lalu mereka berdua berpamitan untuk kembali ke kamar mereka.
Namun, sebelum itu Jeffry berkata, "makasih banyak Bun, Yah. Kalian udah merawat Jeffry."
Kini Jeffry sedang duduk di antara dua sujud, dengan kedua tangan yang menengadah tepat sejajar dengan dada. Jeffry tengah berdoa, mengeluarkan semua keluh kesahnya dan bercerita --mengadu pada Sang Pencipta. Tentunya juga memohon pada-Nya untuk kesembuhan istrinya itu.
Masih dengan baju koko dan kopiah serta sarung, Jeffry beranjak dari tempatnya setelah memanjatkan doa. Lalu dia menghampiri Ali dan menatap lamat-lamat putranya itu sambil terus bergumam --shalawat.
"Abi mimpiin Ummi kamu. Dia senyum sama Abi dan membuat hati Abi merasa tenang." Jeffry menjeda ucapannya beberapa detik. "Maafin Abi harus ninggalin kamu lagi, nak. Abi mau menjenguk Ummi kamu. Kamu di sini sama Kakek dan Nenek ya..."
Kemudian, Jeffry bersiap-siap agar segera pergi ke rumah sakit. Tentunya setelah Jeffry sarapan dan meminum obat yang diberikan oleh Bunda Fatmah. Entah mengapa, hati Jeffry berkata kalau Khuma sedang menunggunya.
Tak butuh waktu lama, Jeffry tiba di ruangan Khuma dan sama persis seperti mimpinya --di sana tidak ada Khuma, hal itu membuat Jeffry sangat panik. Jeffry berlari keluar dan memanggil suster yang kebetulan lewat --untuk menanyakan keberadaan istrinya itu. Namun saat hendak bertanya, ponselnya berdering dan menampilkan nama Fathan di layar.
"Maksudnya gimana?"
Setelah menjawab salam yang dilontarkan Fathan, Jeffry masih tak paham dengan maksud kakak Khuma itu.
"Antum pergi ke ruangan Dandelion sekarang, Jeff. Khuma sudah dipindahkan ke sini tadi pagi."
"Oh iya Fath. Saya segera ke sana, saya sudah di ruangan ICU."
Panggilan pun berakhir dan Jeffry berkata pada suster, "ruang dandelion di sebelah mana ya, sus?"
"Bapak tinggal lurus saja, lalu belok ke kanan dan ruangannya ada di paling ujung pak berdekatan dengan ruangan Dokter," jawab suster itu.
Mengangguk, Jeffry segera berlari ke sana setelah mengucapkan terima kasih pada suster tersebut. Apakah dia masih bermimpi? Atau ini realita dan nyatanya Khuma memang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap? Tapi, nama ruangannya berbeda dengan yang dimimpi.
Menepis rasa penasarannya, Jeffry berhenti menerka-nerka. Lelaki itu lebih gugup dibandingkan dalam mimpinya. Semoga akhirnya sama persis seperti dimimpi, bukan malah sebaliknya --itu doa Jeffry.
Setibanya Jeffry di ruangan dandelion, terlihat Fathan seorang diri sedang duduk di sofa sambil mengutak-atik ponselnya. Sedangkan di ranjang rumah sakit, terdapat Khuma yang masih terpejam. Melihat itu pun membuat Jeffry bisa sedikit bernapas lega, setidaknya bukan hal sebaliknya walau Khuma masih belum bangun.
"Fath..."
Fathan berdiri dan berkata, "Jeff, alhamdulillah."
Terdiam, Jeffry tak mengerti perkataan Fathan. "Maksudnya gimana Fath?"
"Udah, antum deketin dah tuh istri antum. Genggam tangannya terus panggil namanya," sahut Fathan. Dan itu semakin membuat Jeffry bingung. Tapi, Jeffry menuruti perkataan Fathan.
Menghampiri Khuma, Jeffry menggenggam tangan Khuma. "Assalamu'alaikum, Khumayrah..."
Seperkian detik, Khuma membuka kedua matanya perlahan dan itu membuat Jeffry terlonjak kaget sekaligus bersyukur. Ternyata Khuma benar-benar sudah sadarkan diri.
"Wa'alaikumsalam, mas Jeffry..." jawab Khuma sambil memaksakan senyumnya karena masih lemah.
Detik itu juga, Jeffry sujud syukur tepat di samping ranjang Khuma. Betapa bersyukurnya dia mendapati fakta bahwa sang istri sudah siuman. Fathan yang melihat itu pun ikut merasa haru.
"Saya sudah menghubungi keluarga dan mereka akan segera ke sini. Akhirnya Jeff, doamu diqobul oleh Allah SWT." Fathan tersenyum kala mengatakan itu.
Jeffry hanya bisa mengiyakan dalam hati dan memeluk erat Khuma lalu mencium telapak tangan perempuan itu bertubi-tubu. "Makasih banyak, kamu udah bertahan sampai sejauh ini. Akhirnya kamu bangun, sayang. Ya Allah alhamdulillah wasyukurillah..."
"Iya mas..." Khuma tersenyum dan celingak-celinguk. "Di mana anak kita? Dia baik-baik aja kan?"
"Tuh Jeff, pas bangun tadi yang pertama kali dia tanya itu Ali. Dia nggak percaya sama saya kalau Ali ada di rumah." Fathan mendekat ke arah mereka berdua.
"Ali? Nama anak kita Ali, mas?"
Jeffry terkekeh pelan. "Iya, nama yang kamu inginkan. Dan kakakmu benar, Ali ada di rumah sama Bunda dan Ayah. Dia sehat, gemuk dan ganteng seperti Abinya."
"Kayak omnya juga dong," celetuk Fathan. "Jeff, antum harus nemuin Dokter sekarang. Ada yang harus dibicarakan katanya. Jadi kangen-kangenannya disimpen dulu yaaa."
Khuma mengangguk membenarkan perkataan Fathan. "Iya mas, kamu temuin Dokter dulu sana."
"Ya udah iya. Kamu jangan tidur lagi ya, saya takut ini cuma mimpi."
Fathan mencubit Jeffry dan dibalas dengan sebuah protes dari lelaki itu. "Nggak mimpi kan?" tanya Fathan.
"Iya tapi jangan nyubit juga." Jeffry mengatakan itu sambil menatap Khuma. "Mas tinggal sebentar ya..."
"Udah sanaaa, Khuma nggak akan kemana-mana juga kan," oceh Fathan.
Khuma yang melihat suami dan kakaknya itu hanya bisa terkekeh pelan sambil sesekali merasakan sakit dibagian perutnya.
Setelah itu Jeffry pergi menemui Dokter dan mendapatkan penjelasan kalau Khuma sudah mulai membaik. Serta hasil pemeriksaan keseluruhannya, Khuma dinyatakan baik-baik saja dan bisa pulang setelah pemulihan beberapa hari.
•-----•
TAMAT
With Loey,
©Aya, 2k20