Chereads / After Ta'aruf | Jung Jaehyun / Chapter 17 - Belum Waktunya

Chapter 17 - Belum Waktunya

•-----•

Hari terus berganti, dan kandungan Khuma sudah berusia jalan sembilan bulan. Bahkan saat ini di kediamannya sedang mengadakan acara tahlilan. Untuk mendoakan agar sang Ibu dan Bayi yang dikandungnya baik-baik saja. Sebenarnya ini hanyalah adat-istiadat yang sudah turun-menurun. Sebab tanpa mengadakan acara itu, ada Allah SWT yang selalu menjaga mereka.

Tepat hari ini juga, kurang lebih sebulan Aisyah kehilangan janinnya --calon anaknya dan Arnan. Tapi tak urung membuat Aisyah berdiam apalagi sampai mengurung diri. Terbukti saat ini ia menghadiri acara Khuma.

"Kak Aisyah..." sapa Khuma yang mendapati Aisyah tengah tersenyum padanya. Disisinya ada Arnan setia menemani.

Menghampiri Aisyah, Khuma memeluk wanita dengan hijab syar'i itu. Begitu erat sampai ia lupa kalau perutnya sudah membesar. Membuat Khuma sedikit meringis.

"Aduh Khuma, inget itu perut kamu. Kasian bayinya." Aisyah memegangi tangan Khuma.

Tersenyum, Khuma menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa kak. Ya Allah maafin Khuma ya belum sempat jenguk kakak. Sekarang gimana kabar kakak?" tanyanya sambil menggenggam tangan Aisyah.

Sejak kepulangan Khuma dari rumah sakit, Dokter berpesan agar Khuma benar-benar istirahat dan bed rest. Tak boleh banyak bergerak, kecuali jalan-jalan sedikit itupun harus ada waktunya. Sebab setelah pemeriksaan akhir, akibat benturan karena terjatuh di kamar mandi bisa saja sewaktu-waktu Khuma mengalami pendarahan kalau sampai terlalu lelah.

Dan itu pun, semakin membuat Jeffry benar-benar menjaga Khuma --lebih tepatnya sangat protektif. Tidak boleh ini, tidak boleh melakukan itu. Semua serba dilayani sampai Jeffry meninggalkan pekerjaannya selama seminggu pertama.

"Alhamdulillah aku baik. Iya nggak apa-apa, maaf ya aku sama Arnan telat datengnya," Aisyah melihat ke arah perut Khuma yang membuncit. Lalu dengan gerakan pelan, ia menyentuhnya, "terus gimana kabar bayi kamu ini, Khuma? Semoga sehat terus ya."

Khuma mengangguk lalu tersenyum. "Aamiin Allahumma aamiin, makasih banyak kak."

"Boleh aku elus?" tanya Aisyah tiba-tiba.

Mengangguk. "Rasain deh kak, Jeju seneng disapa sama tantenya. Dia lagi nendang-nendang," ucap Khuma antusias.

Aisyah merasakannya, betapa lucunya ketika telapak tangannya bersentuhan dengan kaki mungil bayi yang belum lahir itu. "SubhanaAllah... Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Cowok kan ya? Semoga mengambil sifat Ayahnya dan sikap Omnya ya."

"Aamiin..." Khuma tersenyum dan dibalas oleh Aisyah.

"Ekhem! Aku diabaikan ya daritadi hm?" protes Arnan tiba-tiba.

Khuma terkekeh. "Ya Allah, Arnan. Gimana kabar kamu?"

"Alhamdulillah baik, di mana Jeffry dan Kak Fathan?" sahut Arnan sambil tersenyum.

Aisyah mengangguk. "Iya, di mana mereka? Bunda sama Ayah kamu?"

"Mereka ada di ruang tengah. Ayo masuk, ya Allah maaf sampe lupa." Khuma mengajak Aisyah dan Arnan masuk ke dalam rumah.

Mereka bertiga melangkahkan kaki menuju ruang tengah, di mana ada keluarga besar Khuma; Bunda Fatmah, Ayah Adnan, Jeffry, Fathan bahkan ada Jafar.

"Assalamu'alaikum..." ucap Aisyah dan Arnan bersamaan.

Keluarga besar Khuma menjawabnya dengan serentak.

"Alhamdulillah, Aisyah ... Arnan. Sini 'nak," sahut Bunda Fatmah.

Aisyah dan Arnan mengangguk lalu menyalami semua yang ada di sana tak terkecuali Jeffry dan Fathan. Sedang Khuma yang melihat interaksi mereka, tersenyum bahagia. Bagaimana pun sudah sangat lama mereka tak kumpul seperti ini.

"Bun, kenapa diam di sini?" tanya Jeffry yang menghampiri istrinya itu. "Ayo duduk, jangan lama-lama berdiri."

"Nggak apa-apa mas. Aku bersyukur kita masih bisa kumpul kayak gini. Kamu liat deh kak Fathan, nggak ada raut wajah sedih pas ketemu kak Aisyah. Aku rasa kak Fathan udah bisa nerima semuanya," sahut Khuma.

Jeffry setuju dengan ucapan Khuma. Mungkin Allah SWT sudah membuka hati Fathan untuk menerima segala ujian yang tengah dihadapinya. Tapi, soal Nabila sepertinya Fathan belum bisa melupakan wanita itu.

"Astaghfirullah," rintih Khuma sambil memegangi perutnya.

Seketika semua orang yang ada di sana memfokuskan atensinya pada Khuma, tak terkecuali Jeffry yang raut wajahnya sudah sangat panik.

"Sayang, kamu kenapa? Apa yang sakit? Ayo kita ke Dokter sekarang," ocehnya tanpa jeda.

Bunda Fatmah menghampiri putrinya. "Dibawa duduk dulu 'nak Jeffry, Khumanya. Biar Bunda ambilkan air hangat."

"Nggak usah Bun. Khuma nggak apa-apa, cuma kaget aja barusan Jeju nendangnya kenceng banget. Jadi kayak keram perut Khuma sekarang," sahut Khuma.

"Itu wajar sayang, kehamilan kamu udah sembilan bulan. Jeju udah nggak sabar mau liat Bunda sama Abinya. Sabar ya anak Bunda..." sahut Bunda Fatmah.

Jeffry yang tengah memapah istrinya itu pun berkata, "yaudah kalau gitu istirahat di kamar aja ya. Acara juga udah selesai, kamu nggak boleh kecapekan."

"Iya bener mbul, dengerin kata suami kamu tuh," celetuk Jafar.

Fathan mengangguk. "Udah dek nggak apa-apa, masih ada kita yang ngurusin tamu-tamu. Utamain kamu sama bayi kamu."

"Ya udah, kak Aisyah dan Arnan maaf ya Khuma tinggal." Khuma tak enak sama mereka berdua. Setelah sekian lama tidak bertemu, Khuma harus melewati acara mengobrol.

Aisyah mengangguk, dan tersenyum. Wanita itu tahu kalau Khuma masih ingin berbicara dengannya. "Iya nggak apa-apa. Yang penting keponakan aku baik-baik aja, kamu juga kalau ngerasa ada yang sakit jangan diam aja ya."

Mengangguk pelan, sambil menahan sakit yang semakin terasa Khuma menggenggam tangan Jeffry dengan erat. "Maaf ya semuanya, Khuma tinggal."

Jeffry memapah Khuma sampai tiba di kamarnya. Lalu, ia membantu Khuma agar merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Kamu istirahat, mas temenin."

Khuma hampir menangis tapi ia urungkan. "Mas..."

"Kenapa, hm? Sakit banget ya? Kita ke Dokter yuk. Kamu nggak usah takut, mas selalu ada di sisi kamu," ucap Jeffry membuat Khuma tenang.

Ya, yang namanya kehamilan pertama, selain perasaan senang karena akan lahir bayi yang tengah dikandungnya, Khuma juga merasa takut dan khawatir apalagi belum lama ini ia dirawat karena kecerobohannya sendiri.

Khuma terdiam, Jeffry tahu ia tak boleh panik. Jadi dengan penuh kasih sayang, Jeffry melantunkan sholawat sambil mengelus pelan perut Khuma.

MasyaAllah...

Suara merdu Jeffry, membuat Khuma menjadi lebih tenang. Lihatlah betapa ikhlasnya Jeffry menyayangi Khuma dan calon anaknya.

Hingga menit selanjutnya, Khuma yang sempat merasakan kalau keramnya hilang, tiba-tiba kembali menyerang rasa sakit itu. Membuat Khuma tak lagi bisa menahannya.

"Mas, ini rasa sakitnya beda. Kayak mau lahiran," ucap Khuma tiba-tiba.

Jeffry mengangguk sambil melanjutkan shalawatnya. Tapi detik berikutnya ia mematung di tempat. "Hah?!"

"Kamu mau lahiran, Bun? Beneran? Ya Allah mas harus gimana? Tunggu sebentar," sahut Jeffry yang baru menyadari ucapan istrinya.

Berlari keluar kamar dan berteriak memanggil Bunda Fatmah. "Bundaaa! Maafin Jeffry, ini Khuma mau lahiran katanya. Jeffry harus gimana?"

"HAH? YANG BENER?" teriak Fathan tak kalah heboh. "Bukannya baru jalan sembilan bulan?"

Jafar pun ikut panik. "Bang! Kak Khumanya sekarang mana? Saya panggilin dokter? Apa gimana?"

"Bawa ke rumah sakit aja. Siapin mobil sekarang," sahut Fathan.

Mengangguk cepat, Jafar menuruti perintah Fathan. Dengan berlari ia menyiapkan kendaraan untuk membawa sepupunya ke rumah sakit.

Jeffry mondar-mandir tak jelas. Membuat Fathan bertanya-tanya. "Istri ente di mana?"

"Astaghfirullah, saya tinggal di kamar." Jeffry berlari menuju kamarnya diikuti beberapa orang termasuk Aisyah dan Arnan.

Setibanya di sana --kamar, Khuma yang tengah merintih menatap Jeffry. "Mas... sakit."

"Ya Allah maafin mas, ayo kita ke rumah sakit." Jeffry hendak menggendong Khuma tapi sang istri tidak mau.

"Aku mau jalan aja mas, kalau beneran mau lahiran harus banyak jalan," kata Khuma.

Bunda Fatmah mengangguk setuju. Jadi, Jeffry memapah istrinya sampai ke mobil. Jafar yang menyetir, dengan Jeffry dan Khuma di kursi penumpang dan di sisinya ada Fathan.

Mengantar Khuma ke rumah sakit, seperti ingin mengantar Fathan lamaran. Hampir seluruh keluarga yang hadir di acara tujuh bulanan ikut. Benar-benar ramai sekali.

"Perbanyak dzikir ya Bun, insyaAllah segalanya lancar. Tapi, masa sih kayak mau lahiran? Kan baru jalan sembilan bulan?" tanya Jeffry sambil mengelus-elus perut Khuma.

Khuma yang tengah menahan sakitnya menggeleng pelan. "Mas mau cobain rasanya gimana? Ini sakit banget tau!" serunya.

"Ya Allah, maafin mas. Mas salah nanya kayak gitu," sahut Jeffry panik.

Fathan yang menyaksikan mereka berdua hanya bisa terkekeh dalam diam. Memang benar kata bunda Fatmah, ketika seorang wanita ingin melahirkan akan berubah menjadi galak. Itu terbukti pada Khuma.

Khuma kembali menggigit bibir bawahnya. "SubhanAllah, maafin Khuma Bunda... Khuma banyak salah sama Bunda. Sekarang Khuma tau gimana rasanya pas Bunda ngelahirin Khumua dulu." Wanita hamil itu menangis.

Jeffry memeluknya dari samping, dan terus melantunkan shalawat untuk menenangkan Khuma.

"Bang, kita ke rumah sakit mana?" tanya Jafar.

Fathan memberikan alamatnya pada Jafar. "Cepetan Jaf, tapi jangan ngebut. Khuma udah kesakitan banget itu."

"Gimana ceritanya Bang? Cepetan tapi nggak ngebut? Udah tenang aja, bismillah pegangan semuanya," ucap Jafar lalu melajukan kecepatan mobil.

Setibanya mereka di rumah sakit, benar saja Khuma akan lahiran di usia kandungan awal sembilan bulan. Lebih tepatnya sang bayi terlahir lebih awal. Menurut Dokter diusia itu sudah cukup. Karena bayi sudah terbentuk dengan sempurna. Tapi, Khuma harus menjalani operasi sesar.

Beberapa jam selanjutnya.

"Maaf, suami Ibu Khuma?" tanya Dokter.

Jeffry maju menghampiri sang Dokter. "Iya, saya Dok. Ada apa?" sahutnya dengan kekhawatiran yang mendalam.

"Sebelumnya kami minta maaf..."

•-----•