•-----•
Di sebuah Rumah Sakit Jakarta, lebih tepatnya di ruangan Lotus terdapat Khuma yang tengah terbaring lemah. Di tangan kanannya terpasang infus dan name tag.
Tak jauh dari ranjang tersebut, terlihat Jeffry yang baru saja selesai salat maghrib. Masih di atas sajadah, Jeffry melirik ke arah Khuma dengan ekspresi sendunya. Lalu kembali fokus untuk mendoakan sang Istri serta calon anaknya.
Jeffry mengangkat kedua tangannya. "Bismillahirrohmanirrohiim...
... ya Allah, tolong lindungilah Istri dan calon Anak hamba. Berikan mereka kekuatan dalam menghadapi semua ini. Dan semoga hamba selalu istiqomah dalam menjalankan ujian darimu, ya Allah."
Jeffry memejamkan matanya sekilas. "Aamiin ya Robbal'alamiin," singkatnya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Selesai berdoa, Jeffry langsung melipat sajadah yang ia pinjam dari musholah Rumah Sakit. Lalu ia letakkan di sisi ranjang yang ditempati Khuma.
Jeffry mengusap pelan permukaan hijab yang dipakai Khuma, sambil memerhatikan wajah sang Istri yang sangat teduh. Menenangkan bila Jeffry memandangnya lama.
"Sampai kapan kamu mau tidur Bun? Hm?" tanyanya.
"Kata Dokter... kamu banyak pikiran. Mas ngerasa bersalah atas itu. Maafin mas ya sayang belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu."
Jeffry benar-benar khawatir dengan keadaan Khuma. "Kamu selalu tegar di depan mas. Ternyata kamu nutupin semua yang kamu pikirin dengan sangat baik. Jangan kayak gitu lagi ya...
... mas ini suami kamu. Udah seharusnya kamu membagi beban kamu sama mas. Jangan dipendem sendirian."
Mengalihkan wajah, Jeffry menitikkan air mata. Ia sampai berbalik badan karena tak ingin menangis di depan Istri yang begitu ia cintai.
"Mas..." lirih Khuma.
Jeffry langsung menghapus air mata tersebut secepat kilat. "Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kamu bangun Bun..." Ia menciumi telapak tangan Khuma.
"Gimana? Apa yang sakit? Bilang sama mas -ah tunggu, mas panggil Dokter dulu ya. Tunggu sayang," ucap Jeffry yang seperti orang kebingungan.
Khuma menggeleng pelan, ia menggenggam tangan Jeffry hingga laki-laki itu terhenti saat hendak melesat pergi memanggil Dokter.
"Aku udah nggak apa-apa kok. Maaf ya buat kamu khawatir..."
"Beneran udah nggak apa-apa?" tanya Jeffry memastikan.
Mengangguk lalu tersenyum simpul. "Iyaaa mas... dari tadi kamu ngoceh juga aku denger kok. Maaf ya jadi buat kamu mikir kayak gitu."
"Aku cuma nggak mau nambah beban kamu aja. Kamu suami terbaik buat aku mas, jadi jangan ngomong kayak tadi lagi ya, janji?" Khuma tersenyum lebar kali ini.
Jeffry ingin memprotes tapi ia urungkan karena bersyukur kalau sang Istri sudah siuman dan baik-baik saja. Jadi ia tak mau mempermasalahkan hal lain dulu untuk saat ini.
"Iya sayang... kamu juga ya jangan mendem semuanya sendirian sekarang. Mas mau marah tadinya tapi nggak bisa," sahut Jeffry sambil mengerucutkan bibir.
"Kan kata orang kalau pasangan kita melakukan kesalahan itu harus ditegur jangan didiemin. Tapi mas nggak tau letak kesalahan kamu di mana. Eh ada sih satu, kamu selalu buat mas bangga punya Istri kayak kamu," lanjutnya lalu tersenyum lebar.
Khuma terkekeh pelan mendengarnya. "Iya bener, tapi marahnya itu bukan yang membentak. Melainkan teguran dengan kasih sayang. Aku sayang kamu mas..."
"Mas lebih sayang sama kamu dan Jeju," sahut Jeffry sambil mengecup dahi Khuma dan perutnya --di mana Jeju berada.
Khuma mengusap pelan perutnya." Maafin Bunda ya sayang... makasih udah kuat selama ini."
"Mulai sekarang, jangan banyak pikiran ya. Pikirin aja diri kamu sendiri dan calon Anak kita. Selebihnya biar jadi tugas mas..." ucap Jeffry.
Mengangguk, Khuma mengusap syukur dalam hati. Berterima kasih pada Allah SWT yang sudah merestui dirinya menjadi Istri dari Jeffry --suami dunia dan akhiratnya.
Tiba-tiba saja Khuma menyerngit. Membuat Jeffry bertanya-tanya. "Kenapa sayang? Ada yang sakit? Atau gimana?"
"Mas..."
"Apa?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Aku mau bubur ayam komplit pakai sate ati-ampela," sahut Khuma dengan wajah sendunya.
Jeffry menghela napas lega. "Ya Allah Bun... suka banget ya bikin mas panik?"
"Maaf, mas..." Khuma terkekeh. "Tolong beliin ya? Oh iya, Bunda sama Ayah udah tau aku di sini? Aku pingsan berapa lama sih?"
"Iya nanti mas cariin ya. Hm, Ayah dan Bunda udah tau kok. Mereka lagi jalan ke sini. Kamu pingsan udah cukup lama, sekarang udah malem jam 18.38." Jeffry masih betah mengusap perut Khuma.
Khuma mengangguk. "Ya udah, aku nggak apa-apa ditinggal. Kan sebentar lagi Ayah dan Bunda dateng. Aku udah pengen banget buburnya..." ucapnya sambil mengerucutkan bibir.
"Ya Allah... iya sayang sabar ya," jawab Jeffry sambil terkekeh karena gemas dengan Khuma.
"Ya udah, mas keluar sebentar. Nanti sekalian ke suster buat panggilin Dokter ya. Laporan kamu udah siuman. Ah iya jangan turun dari kasur dulu, kalau butuh apa-apa tekan aja tombol deket kamu."
"Iya-iyaaa, yaudah sana cepetan mas. Jeju udah nendang-nendang nih."
"Sabar ya jagoan Abi. Oke mas pergi dulu ya. Assalamu'alaikum." Jeffry mengecup singkat kening Khuma.
"Wa'alaikumsalam..."
Selepas kepergian Jeffry, Khuma tersenyum simpul. Ia masih memikirkan bagaimana kabar Fathan, sang kakak. Jadi ia hendak menghubunginya.
"Assalamu'alaikuuum..." Fathan tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruangan Khuma.
Khuma tersenyum lebar. "Wa'alaikumsalam kaaak."
Ternyata ada Ayah Adnan dan Bunda Fatmah juga di belakang Fathan. Mereka bertiga datang bersamaan.
"Ya Allah sayang, gimana keadaan kamu? Cucu Bunda gimana? Kalian baik-baik aja kan?" cecar Bunda Fatmah dengan segala pertanyaannya.
Fathan mengangguk. "Kakak juga mau nanya itu. Tapi bukan cucu, ponakan ya. Gimana bisa begini? Coba cerita."
"Sayang, tadi Ayah liat Jeffry masuk lift. Dia mau ke mana?" tanya Ayah Adnan.
Khuma terdiam, lalu berkata, "Bun, Yah, kak. Khuma bingung jawab yang mana dulu. Satu-satu dong." Wanita hamil itu memprotes.
Bunda Fatmah tertawa, begitu juga Fathan dan Ayah Adnan. "Kalau respon kamu begitu, berarti udah sehat nih," goda Fathan.
"Iya Yah, mas Jeffry keluar mau beliin ngidamnya Khuma. Dan Khuma sama bayi Khuma baik-baik aja kok Bun, kak. Jadi nggak usah khawatir ya. Dokter bilang semuanya stabil, Khuma cuma kecapean aja."
"Alhamdulillah..." sahut mereka bertiga serempak.
Fathan masih setia berdiri di sisi ranjang Khuma, sedangkan Ayah Adnan dan Bunda Fatmah duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
"Kamu pasti banyak pikiran deh. Kenapa sih?" tanya Fathan. Jangan lupakan, Fathan yang paling tahu bagaimana tabiat Khuma.
Khuma menggeleng pelan, dan secara ajaib ia menjadi sedih bila mengingat bagaimana Nabila meninggalkan kakaknya itu. Ia merasa bersalah pada Fathan.
"Jangan bohongin kakak ya. Kamu tuh nggak pernah pinter soal itu. Ayo cerita sama kakak," paksa Fathan.
Sebab, kalau Fathan tidak berbuat begitu, pasti Khuma akan selalu memendamnya sendiri. Khuma itu agak keras kepala, jadi harus dengan sikap tegas dalam menghadapinya dan hanya Fathan yang tahu.
Khuma memasang senyum terbaiknya, setidaknya agar Fathan tidak selalu bertanya. "Ih, kakak pemaksa deh. Khuma nggak banyak pikiran sih. Kakak kan tau, kalau sahabat kakak itu memperlakukan Khuma kayak ratu."
"Bener? Pokoknya kalau kamu kayak gini karena Jeffry, awas aja kakak yang akan turun tangan langsung," sahut Fathan lalu mengusap pelan pucuk kepala Khuma.
"Udah makan?"
"Belum, makanya mas Jeffry lagi keluar buat nyari bubur. Khuma lagi pengen itu kak."
Khuma bersyukur memiliki keluarga yang benar-benar luar biasa seperti Ayah Adnan, Bunda Fatmah dan Fathan. Bunda Fatmah dan Ayah Adnan tidak banyak bertanya, tapi mereka tahu bagaimana putrinya itu. Dan Fathan yang begitu menyayanginya.
Sedangkan di sisi lain, Jeffry masih berada di lobi Rumah Sakit. Ia baru selesai dari ruang administrasi. Saat hendak berjalan, ia tak sengaja berpapasan dengan Arnan.
"Arnan?" sapa Jeffry lebih dulu.
Arnan dengan raut wajah sedih menghampiri Jeffry. "Hai, Jeff."
"Kamu ngapain di sini? Sendirian aja?" Jeffry bertanya seperti itu karena ia tak tahu kalau Aisyah sakit.
Arnan terdiam, sepertinya laki-laki itu menyimpan kesedihan yang mendalam dan matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Membuat Jeffry penasaran.
"Maaf kalau saya lancang, ada apa denganmu?" tanya Jeffry.
Arnan menundukkan kepalanya. "Aisyah..."
•-----•