•-----•
Desir pasir di sebuah pantai yang terbilang cukup jauh dari kediaman Jeffry dan Khuma. Membuat pasangan suami-istri itu tak henti-henti mengembangkan senyum di wajah mereka. Kedua sejoli itu menamakan perjalanan kali ini dengan kencan halal.
"Mas, aku jadi ngerasa bersalah deh sama kak Fathan. Aku udah ngerjain dia." Khuma berjalan di atas pasir sambil bertelanjang kaki.
Jeffry yang ada di sisinya terkekeh pelan. "Ya lagian sih kamu. Udah nggak apa-apa, kan ada bibi juga di rumah jadi Fathan dan Nabila nggak berduaan."
"Ya tapi aku udah kelewatan nggak sih mas?" tanya Khuma yang merasa bersalah karena sudah mengerjai sang kakak.
Benar, pagi tadi Khuma meminta Nabila untuk ke rumah bunda Fatmah dan menemui Fathan. Dengan alasan mengajukan proposal yang harus ditandatangani oleh Fathan. Padahal isinya hanyalah permintaan konyol Khuma agar kakaknya itu mau keluar rumah.
Lantas bagaimana bisa Khuma dan Jeffry malah berakhir di pantai sekarang? Jawabannya ada pada wanita hamil satu itu —Khuma.
Ya, Khuma tiba-tiba ingin berjalan di atas pasir pantai setelah pulang check-up kandungannya. Awalnya Jeffry menolak, sebab Khuma tak boleh lelah menurut Dokter. Tapi, bukan Khuma namanya kalau tak bisa merayu sang suami.
Di sinilah mereka berdua —Khuma dan Jeffry. Berjalan di tepi pantai dengan santai, bersisian sambil bergandengan tangan. Diiringi oleh embusan angin yang menerpa wajah keduanya.

Khuma begitu senang, terlihat dari senyuman yang terus mengembang di wajah cantiknya itu. Memang benar, aura Ibu hamil sangat diluar dugaan. Menurut Jeffry, dikehamilan pertama Khuma ini membuatnya terlihat begitu menawan. Hingga Jeffry selalu ingin terus memandanginya.
"Nggak kok Bun.. kamu kan cuma mau membantu Fathan. Udah ya jangan dipikirin. Sekarang kan kita lagi kencan, jadi jangan bicarain hal lain dulu ya..." sahut Jeffry sambil menarik tangan Khuma pelan, lalu ia lingkarkan tangannya di pinggang wanita hamil itu.
"Sekarang waktunya kita berdua... dan Jeju," lanjut Jeffry lalu mengelus pelan perut Khuma yang masih rata.
Khuma menyentuh telapak tangan Jeffry yang ada di perutnya. "Mas, nggak malu? Di sini rame lho..."
"Kenapa harus malu?" Jeffry menatap intens Khuma. "Aku punya istri yang cantik, lagi hamil pula... aku mau nunjukin ke semua orang kalau kamu punya aku."
Khuma tak bisa menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya. Ia menepuk pelan lengan Jeffry. Sebenarnya ia malu tapi bahagia juga ketika mendengarnya.
"Apaan sih kamu mas..." ucapnya sambil menggandeng lengan kekar Jeffry.
Jeffry pun hanya tersenyum. "Kamu laper nggak Bun?"
"Hmm... sedikit. Aku pengen makan seafood mas," jawab Khuma.
"Sayang... inget kata Dokter tadi?"
Khuma menghela napas pasrah. "Nggak boleh makan makanan laut...
... tapi aku pengen banget mas. Gimana dong? Nyium aromanya aja nggak apa-apa deh, serius mas."
"Ya udah kalau gitu, ayo."
Mereka berdua akhirnya memutuskan makan sore di restoran pinggir pantai. Dengan ditemani cuaca yang sedikit mendung dan juga angin sepoi-sepoi, Jeffry dan Khuma kencan seperti pasangan kekasih.
Setelah pesanan mereka datang, Khuma tiba-tiba terdiam dan seperti ingin mengatakan sesuatu. Hal itu tak luput dari perhatian Jeffry. Padahal sebelumnya, Khuma sangat antusias ketika makanannya datang. Ibu hamil satu itu langsung menghirup aromanya dalam-dalam.
"Ada apa sayang?"
"Mas... aku mau kamu makan cumi-cuminya. Makannya sambil liat aku ya. Aku pengen ngerasain gimana enaknya. Aku kan nggak bisa makan itu jadi kamu wakilin ya mas..." ucap Khuma dengan wajah memelas.
Jeffry tak bisa untuk menolak kalau sudah seperti itu. Tapi, Jeffry juga takut karena ia tidak suka dengan cumi-cumi. Dengan memantapkan tekad, demi istri tercinta dan buah hati Jeffry mengiyakan permintaan Khuma.
Satu porsi cumi-cumi hampir habis dimakan oleh Jeffry. Sedangkan Khuma sedaritadi memandangi suaminya yang makan sambil menyerngit karena tubuhnya mulai terasa mual.
"Kamu kenapa mas? Cumi-cuminya nggak enak ya?" tanya Khuma khawatir.
Jeffry menggelengkan kepalanya sambil berusaha tersenyum. "Enak kok. Kamu tunggu sebentar ya, mas mau ke toilet."
"Iya mas..." jawab Khuma sekenanya.
Setelah mendapat persetujuan Khuma, Jeffry langsung bergegas menuju toilet yang ada di restoran tersebut. Meninggalkan Khuma yang tak menyadari kalau Jeffry tengah menahan rasa mualnya.
Di dalam toilet, Jeffry langsung mengeluarkan seluruh makanan yang ia makan tadi. Ia benar-benar merasa pusing sebab cumi-cumi itu sangat menyiksanya. Tapi, demi sang istri dan calon anaknya Jeffry rela menahan itu semua.
"Ya Allah, sungguh nikmat memiliki istri yang sedang hamil. Ada aja yang dipengenin." Jeffry berkaca pada cermin yang ada di wastafle.
Sekiranya sudah lebih baik, Jeffry kembali ke meja di mana ada Khuma. Tapi, saat sampai di sana ia tak melihat keberadaan istrinya itu. Di mana Khuma?
"Khuma? Bun..." panggil Jeffry sambil celingak-celinguk.
Jeffry panik. Ia berlari keluar restoran untuk mencari Khuma setelah membayar pesanannya. Bahkan ia sempat bertanya pada pelayan di sana tapi tak ada yang tahu.
"Astaghfirullah, kamu di mana bun?" gumamnya.
Berlarian tak tentu arah, Jeffry hampir saja seperti orang gila mencari keberadaan istrinya itu. Baru saja ingin melaporkan pada bagian informasi di pantai tersebut, ia melihat sosok Khuma tengah duduk di tepi pantai.
Mengembuska napas lega, Jeffry mengucap syukur pada Allah SWT karena masih dipertemukan dengan Khuma. Dengan langkah ringan, ia menghampiri istrinya itu.
Ingin marah karena khawatir tapi Jeffry urungkan. Ia lebih memilih menyapa Khuma dalam diam. Jeffry menyentuk pundak Khuma pelan.
"Sayang... kamu di sini ternyata. Mas panik nyariin kamu."
Tak ada jawaban dari Khuma. Perempuan itu diam memunggungi Jeffry.
Merasa ada yang tak beres, Jeffry bergegas menghadap ke arah Khuma. Dan ternyata benar, Khuma sedang menangis.
Tanpa banyak bicara, Jeffry yang menarik Khuma ke dalam pelukannya. Tak ada penolakan dari Khuma, justru ia malah semakin menangis di dada bidang milik Jeffry.
"Maafin aku mas..." lirih Khuma.
Jeffry mengusap pelan punggung Khuma. "Ada apa sayang? Kamu nggak salah, kenapa minta maaf hm?"
Direnggangkannya pelukan mereka. Terdapat jarak di antara Jeffry dan Khuma. Tak tahan, Jeffry menyapu air mata yang ada di pipi Khuma dengan ibu jarinya.
"Kamu kenapa? Terus kenapa pergi gitu aja? Hm...
... mas khawatir sama kamu. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Mas nggak akan bisa maafin diri mas."
Khuma mendongakkan kepalanya dan menatap Jeffry. "A-aku baru inget kalau mas nggak suka cumi-cumi. Makanya mas ke toilet kan tadi... maafin aku," sahutnya lalu menangis lagi.
Ya Allah Khuma, kelakuan perempuan itu malah membuat Jeffry gemas. Laki-laki itu mengira ada sesuatu yang terjadi sampai Khuma menangis, tapi ternyata karena ia baru menyadari kalau Jeffry tak suka cumi-cumi.
Terkekeh pelan, Jeffry kembali memeluk Khuma. Lalu berbisik. "Ya Allah sayang... mas baik-baik aja. Apapun akan mas lakuin buat kamu dan calon anak kita."
"Maafin aku mas..." Khuma kembali merengek. Perasaan Ibu hamil itu memang sangat sensitif.
Jeffry mengangguk pelan. "Iya sayang. Udah ya jangan nangis lagi. Nanti dikira orang, mas ngapa-ngapain kamu lagi."
Khuma melepaskan pelukannya dan mengangguk. "Ya udah, aku udah berenti nangisnya. Tapi, kamu beneran nggak apa-apa kan mas?"
"Nih kamu liat, mas baik-baik aja kan? Cuma mual aja tadi sedikit. Bawaan Jeju kali ya," jawabnya sambil terkekeh lalu mengusap pelan perut Khuma.
"Udah ya jangan nangis lagi, kita cari masjid yuk sebentar lagi maghrib.." lanjut Jeffry.
Khuma mengangguk. "Makasih ya mas buat kencan halalnya hari ini. Maaf aku ngerusak semuanya."
"Sstttt kamu ngomong apa sih. Setiap hari juga kita kencan kan. Berduaan sama kamu itu buat mas kayak kencan. Jadi jangan jauh-jauh dari mas ya, kalau ngidamnya nggak mau deket-deket sama mas bikin sedih tau," sahut Jeffry sambil mengerucutkan bibirnya.
Aaaaa... Khuma sangat gemas dengan suaminya itu. Ia tanpa sadar menyubit pipi Jeffry. "Aku gemes banget ya Allah."
"Jadi malu..." jawab Jeffry sambil menyentuh pipi yang Khuma sentuh.
Akhirnya mereka berdua pergi mencari masjid terdekat. Dan kencan halal pertama mereka berjalan dengan baik walau ada kejadian yang membuat Khuma merasa bersalah, tapi Jeffry mengatasinya dengan sabar.
•-----•
Di kediaman Jeffry dan Khuma, terlihat Fathan menggerutu tak jelas di dapur. Ia tengah menghubungi adiknya yang mengundangnya ke rumahnya itu tapi tak ada respon sama sekali.
"Ck, ke mana sih mereka? Ngundang tapi nggak ada orangnya di rumah!" gerutu Fathan.
Bi Sumi selaku pembantu rumah tangga di sana menghampiri Fathan. "Pak, kata Ibu tadi kalau Pak Fathan sudah sampai bisa langsung ke ruang makan. Bu Khuma sudah menyiapkan makanan untuk Bapak dan temannya."
"Sebenernya Khuma sama Jeffry ke mana sih, Bi?" tanya Fathan.
Bi Sumi menggelengkan kepalanya. "Saya nggak dikasih tau Pak. Bu Khuma cuma bilang kalau beliau akan ke rumah sakit untuk cek kandungan dengan Pak Jeffry."
"Astaghfirullah... dia ngerjain saya lagi! Ya udah Bi, tolong buatkan minum untuk tamu di ruang tamu ya. Makasih Bi."
Tanpa menunggu jawaban Bi Sumi, Fathan melangkahkan tungkainya menuju ruang tamu.
"Maaf, Khuma sama Jeffrynya nggak ada di rumah. Kamu bisa nyelesaiin kerjaan di sini, abis itu makan malam. Saya tunggu di ruang makan," ucap Fathan pada akhirnya.
Nabila mengangguk. "Baik Pak, saya mengerti."
Lalu bagaimana caranya Fathan mengajak Nabila untuk ke rumah Khuma?
1 jam sebelumnya.
"Hmmm... kamu ada acara abis ini?" tanya Fathan setelah berpikir matang.
Fathan masih tak percaya kalau adiknya memintanya mengajak Nabila makan di rumahnya.
Nabila yang sedaritadi diam, tersentak kaget. Sebab Fathan menanyakan hal seperti ingin mengajaknya berkencan.
"Saya akan pulang ke rumah Pak."
"Bagus, kamu ikut saya dulu ke rumah Khuma dan Jeffry." Baru saja Nabila ingin menyahut, tapi Fathan langsung mengatakan hal yang tak bisa dibantah. "Saya nggak nerima penolakan!"
Mutlak sudah ucapan Fathan. Mau tak mau, Nabila menurutinya. Akhirnya mereka berdua bergegas menuju rumah Khuma. Tapi, sesampainya di sana pemilik rumah itu tak ada.
Di ruang makan, Fathan dan Nabila terlihat begitu canggung. Terlihat dari Fathan yang hanya diam, begitu pun dengan Nabila. Mereka berdua akan makan malam yang seharusnya menjadi makan siang.
"Maaf Pak. Kerjaan yang Pak Fathan minta sudah saya kerjakan. Boleh saya izin pamit pulang?" ucap Nabila pada akhirnya. Ia sungguh tak enak hanya makan berdua dengan atasannya.
Fathan langsung mencegahnya. "Kamu nggak menghargai adik saya yang sudah masak semua ini?"
"B-bukan begitu Pak. S-saya—"
"Ya udah, makan dulu baru pulang. Makanan ini akan mubazir kalau saya makan sendirian," potong Fathan.
Nabila mengembuskan napas pelan. Mau tak mau ia menyetujui ucapan Fathan. Dan mereka berdua pun makan malam bersama. Walau dalam keheningan, setidaknya Fathan sudah mau berinteraksi lagi dengan orang lain apalagi itu lawan jenis.
Memang, patah hati itu bisa membuat seseorang yang ceria menjadi pendiam bahkan sampai menutup diri. Hal itu pun terjadi pada Fathan. Setelah akhir-akhir ini ia menjadi pendiam dan mengurung diri di kamar, berkat ngidam Khuma yang ajaib akhirnya Fathan bisa kembali menjadi dirinya sendiri.
•-----•