NOTE; 19+
•-----•
Tepat hari ini, Arnan dan Aisyah menjalani hari-hari sebagai pasangan suami-istri selama satu minggu. Banyak yang terjadi dalam kurun waktu singkat itu. Salah satunya adalah, Arnan yang selalu setia mendampingi Aisyah ketika wanita itu tengah mengalami efek akibat obat-obatan yang dikonsumsinya.
Aisyah harus mengkonsumsi obat selama masa pengobatan —cuci darah. Dan itu memikiki efek samping seperti muntah-muntah atau pusing. Saat itulah peran Arnan sangat membantu Aisyah melewati itu semua.
Mereka berdua —Arnan dan Aisyah tengah menyantap makan malam berdua di ruang makan. Walau Arnan sudah sah menjadi suaminya, Aisyah tetap merasa canggung saat mendapat perhatian dari suaminya itu.
"Habiskan sayurnya, kamu harus makan banyak Aisyah..." titah Arnan dengan suara lembut.
Biarpun usia Arnan dan Aisyah terpaut dua tahun. Di mana Arnan lebih muda dari Aisyah, tapi sebagai kepala rumah tangga dan juga imam sudah kewajiban Arnan untuk memerhatikan sang istri.
Aisyah mengangguk tapi tindakannya bertolak belakang dari jawabannya. Sebab sedaritadi ia hanya mengaduk-aduk sup yang ada di hadapannya, tanpa berniat untuk memakannya.
Melihat itu pun membuat Arnan gemas. Mau tak mau, Arnan beranjak dari duduknya dan menghampiri Aisyah. Lalu duduk tepat di samping kiri Aisyah.
"Ada apa?" tanya Arnan sambil meraih tangan Aisyah dan menautkan jari-jemarinya di sela-sela jari Aisyah.
Tersentak dengan perlakuan Arnan, Aisyah hendak menarik tangannya tapi ditahan oleh Arnan. "Ceritakan padaku kalau kamu udah siap."
"Sekarang kamu harus makan, ini demi kesembuhan kamu. Lihatlah... kamu semakin kurus...
... tapi kamu tetap keliatan cantik di mata aku."
Lihatlah, betapa Arnan bisa diandalkan. Ucapannya barusan membuat Aisyah mau tak mau tersipu malu dan tersenyum.
"Nah, kalau senyum gitu kan makin cantik. Yaudah, sini aku suapin. Abis itu minum obatnya ya..."
Aisyah mengangguk. Ia membiarkan Arnan memperlakukannya seperti tuan putri. Arnan mengambil alih sup dan menyuapkannya dengan pelan ke mulut sang istri.
"Udah, aku enek..." ucap Aisyah pada suapan ketiga.
"Kamu baru makan tiga suap. Gimana mau cepet sembuh, hm?"
Aisyah memasang wajah memelasnya bermaksud memohon agar tak melanjutkan makannya. Melihat itu pun, membuat Arnan mengembuskan napas pasrah dan meletakkan mangkuk supnya.
"Ya udah, sekarang minum obatnya ya." Arnan menyodorkan beberapa pil obat pada Aisyah.
Selain sebagai seorang suami, bisa dibilang Arnan adalah dokter pribadi Aisyah. Bahkan ia sampai membawa obat-obatan Aisyah di dalam tas atau sakunya saat mereka bepergian ke luar rumah. Benar-benar suami siaga.
Setelah meminum semua obatnya, Aisyah membersihkan meja makan dibantu oleh Arnan. Beberapa menit telah berlalu, seperti tahu akan jadwal efek samping obat yang Aisyah minum, Arnan bergegas mengambil air hangat.
Benar saja, setelah selesai dengan kegiatan mencuci piring Aisyah mulai merasakan mual. Tak bisa lagi ditahan, akhirnya Aisyah memuntahkan semua yang ia makan barusan di wastafel.
Sedangkan Arnan setia mendampinginya sambil memijat pelan tengkuk leher Aisyah. "Kamu kuat Aisyah, ada aku di sini."
Aisyah terus-terusan memuntahkan sampai tersisa hanya air yang keluar. Sekiaranya sudah kelelahan, Arnan memberikan air hangat yang ia ambil tadi pada Aisyah.
"Minum dulu air hangatnya. Pelan-pelan..."
Dalam hati, Arnan sangat tidak tega melihat istrinya mengalami penyakit itu. Tapi ia tak mau menunjukkannya di depan Aisyah. Itu akan membebani Aisyah. Kalau ia terlihat sedih, lalu siapa yang akan menguatkan Aisyah? Pikir Arnan.
"Gimana? Udah enakan? Mau aku pakein minyak angin?"
"Aku udah nggak apa-apa, Nan. Aku mau istirahat aja," sahut Aisyah.
Dengan segera Arnan memapah Aisyah menuju kamar mereka berdua. Tanpa Aisyah sadari, Arnan sempat menitikkan air mata saat menyadari kalau Aisyah sangat tersiksa dengan semua ini.
Namun, sekali lagi... Arnan harus menunjukkan sisi terkuatnya di depan Aisyah. Ia tak akan membiarkan Aisyah melihatnya sedih apalagi merasa iba, karena itu akan membuat Aisyah merasa tak nyaman. Arnan benar-benar tahu bagaimana tabiat Aisyah.
Arnan membantu Aisyah membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menyelimuti istrinya itu. "Istirahatlah, makasih udah bertahan sampai saat ini. Percayalah, Allah SWT akan mendengar doaku. Aku percaya kamu akan sembuh Aisyah..."
"Nan... maaf kalau aku malah jadi beban buat kamu. Kadang aku mikir, apa keputusanku nerima kamu waktu itu salah? Karna kamu berhak bahagia, Nan...
... bukannya malah ngurusin cewek sakit-sakitan kayak aku," ucap Aisyah dengan mata berkaca-kaca.
"Sssttt... kamu ngomong apasih? Nggak ada yang namanya istri nyusahin suami. Kalau pun saat itu kamu nolak, aku nggak akan berhenti sampe kamu nerima aku. Aku akan terus perjuangin kamu, Aisyah."
Arnan menyapu air mata yang membasahi kedua mata serta pipi Aisyah. Laki-laki itu benar-benar tulus mencintai Aisyah. Bahkan Aisyah jadi memiliki semangat hidup karena melihat Arnan yang tak menyerah atas kesembuhannya.
"Aku nggak tau lagi harus ngomong gimana. Makasih pun, nggak akan bisa ngebayar semua yang udah kamu lakuin buat aku, Nan."
Arnan tersenyum. "Kamu mau tau, bukan kata makasih yang aku harapin dari kamu."
"Terus apa?" Aisyah menatap Arnan yang kini duduk di sisi ranjang.
"Aku cuma mau, kamu lebih menghargai hidup kamu. Kamu pasti sembuh, karna nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhin atas izin Allah."
Setelah mendengar penuturan Arnan, Aisyah tak lagi bisa menyembunyikan rasa haru sekaligus bersyukurnya memiliki suami seperti Arnan. Aisyah mengubah posisinya menjadi duduk, dan kini mereka berdua saling berhadapan.
"Nan, aku udah siap untuk menjalani kewajibanku sebagai istri... Maaf, udah buat kamu nunggu selama ini."
Arnan terkesiap. "N-nggak, kalau emang kamu belum siap aku nggak apa-apa. Aku nggak mau kamu kecapean karna efek obat itu belum ilang."
"Aku udah nggak apa-apa. Udah seminggu sejak pernikahan kita, dan aku belum menjalankan kewajibanku sebagai istri. Aku tau selama ini kamu nahan dengan mandi malam. Aku nggak tidur saat itu, dan aku ngerasa bersalah banget sama kamu."
"Aku— aku milik kamu sepenuhnya malam ini, Nan."
Tak ingin membuang kesempatan, Arnan langsung membaca doa sebelum melangsungkan ritual hubungan suami-istri. Lalu menekan tombol off lampu tidur yang menyala. Dan malam ini, akan menjadi malam yang panjang bagi pasangan suami-istri itu.
•-----•
"Selamat pagi..." ucap Arnan ketika mendapati Aisyah membuka matanya.
Aisyah tersenyum. "Pagi... ada apa? Kenapa wajahnya berseri-seri gitu?"
"Aku teringat semalam, kenapa kita nggak ngelakuin itu dari awal?"
Oh ya ampun, Arnan! Sisi lainnya saat masih sekolah masih saja tersembunyi dalam dirinya. Di mana Arnan benar-benar seorang bad boy saat sekolah.
Aisyah menepuk pelan dada bidang milik Arnan. "Kamu mesum banget sih!"
"Sama istri sendiri kenapa emangnya? Udah halal lagian kan?" jawabnya sambil terkekeh.
Arnan benar-benar membuat Aisyah tersipu malu. "Arnan..."
"Apa sayang?"
Ya Allah, kerasukan apa Arnan pagi ini?
"Apasih, Nan. Udah sana mandi. Aku mau siap-siap kerja juga."
Arnan tersenyum jahil. "Yakin mau ngantor?"
"Kenapa emangnya?"
"Bisa jalan? Hebat kalau bisa."
Hah? Memangnya kenapa?
Aisyah mengabaikan ucapan Arnan dan bergegas menuju kamar mandi. Ingat, Aisyah sudah berpakaian lengkap. Tapi, baru saja satu langkah wanita itu sudah mengeluarkan suara rintihan.
"Nah kan." Arnan terkekeh melihatnya.
Menoleh ke arah Arnan sambil menatap tajam, Aisyah mengerucutkan bibirnya. "Arnaaaaan! Kamu apain aku semalem? Ini kenapa sakit banget pas ngelangkah."
"Makanya, udah libur aja dulu ngantornya. Aku juga mau bolos kuliah. Kita di rumah aja, lanjutin yang semalem ya..."
Arnan benar-benar kerasukan sesuatu!
•-----•