•-----•
Keesokan hari.
Memang benar, ketika sudah menikah semua bisa berubah. Begitu juga dengan kebiasaan, biasanya Khuma selalu susah untuk bangun tengah malam kini perempuan itu sudah sibuk di meja makan --menyiapkan sahur untuk dirinya dan Jeffry.
Masih dengan drama tadi malam, Khuma sampai meminta Jeffry menemaninya memasak. Terlihat Jeffry yang tengah menopang dagunya sambil duduk di kursi --meja makan.
Mata yang masih terpejam, karena mengantuk tak masalah bagi Jeffry. Baginya yang terpenting adalah Khuma tidak lagi menangis. Benar-benar membuatnya panik kalau Khuma sudah uring-uringan.
"Mas, kamu masih ngantuk?" tanya Khuma yang telah selesai menyiapkan minum di atas meja.
Jeffry tersentak dan tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak kok sayang... tadi mas cuma lagi mikir aja, enaknya nanti buka puasa diluar atau di rumah aja? Kita kencan sesekali, gimana?"
Percayalah, ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Jeffry itu tanpa rencana --lolos begitu saja. Tapi tak apa, memang benar sudah lama sejak menikah mereka berdua belum berkencan.
"Hmm... aku mau aja sih mas. Tapi nggak tau kenapa, aku males ke mana-mana."
"Ya udah nggak apa-apa. Lain kali aja ya. Oh iya kamu bulan ini kuliahnya libur kan? Gimana kalau ikut mas ke luar kota?" sahut Jeffry.
Khuma duduk di hadapan suaminya itu. "Luar kota?"
"Iya, besok senin mas harus ke luar kota karna ada kerjaan. Ada yang minta design langsung, jadi mau nggak mau mas harus terjun sendiri."
"Kok mas baru bilang sekarang? Tiba-tiba banget sih mas... kan semalem aku minta kamu nggak usah kerja hari ini. Besok juga..." sahut Khuma sambil mengerucutkan bibirnya.
Mulai lagi.
Khuma terlihat merajuk. Lihat saja detik berikutnya pasti perempuan itu langsung menitikkan air mata.
"Aku nggak mau kamu kerja..." ucap Khuma sambil menggigit bibir bawahnya.
Benar kan? Perempuan itu menangis lagi. Tapi kali ini tak ada tindakan seperti lari dari Jeffry. Justru malah seperti merengek.
"Iya, mas hari ini nggak ngantor. Tapi besok mas harus ke luar kota sayang. Kamu bisa ikut mas kan?" Jeffry mengatakan itu dengan hati-hati.
Tak mendapat jawaban dari Khuma, membuat Jeffry beranjak dari duduknua dan mengahmpiri istrinya itu.
"Sayang... maafin mas ya. Mas nggak tau salah mas di mana, tapi mas minta maaf. Udah jangan nangis, nanti muntah lagi gimana?" ucapnya sambil memeluk Khuma sambil berdiri dan perempuan itu duduk di kursinya.
Khuma mengangguk di perut suaminya itu. "Aku juga nggak ngerti kenapa perasaan aku sensitif banget mas. Maafin sikap aku ya..."
"Iya sayang nggak apa-apa. Ya udah, nanti mas minta sekertaris mas buat ngurus besok ya."
"Nggak mas." Khuma melepaskan pelukannya. "Aku mau ikut kamu besok. Tapi hari ini nggak usah masuk kerja ya," lanjutnya sambil memasang wajah sedih.
Jeffry tersenyum. "Iya sayang..."
"Ya udah, sekarang kita sahur dulu ayo. Makan yang banyak ya."
Khuma mengangguk, lalu Jeffry kembali ke tempat duduknya.
"Sayang, kamu udah enakan? Semalem muntah-muntah gitu, kamu masuk angin ya? Ke dokter ya nanti..."
"Nggak perlu mas. Aku cuma kecapean nangis aja semalem. Maaf ya udah buat kamu khawatir."
Jeffry mengangguk. Sebenarnya dalam hati, dia sangat mengkhawatirkan Khuma. Ditambah semalam Ibunya mengirim pesan dan isinya membuat Jeffry tak bisa tidur karena memikirkannya terus.
"Apa benar, kemungkinan Khuma hamil?" batin Jeffry.
Baru saja Jeffry ingin menanyakan hal itu. Khuma sudah berlari ke kamar mandi yang ada di lantai utama dekat dengan dapur.
"Tuhkan.. pasti muntah lagi," gumam Jeffry lalu menyusul Khuma.
Sesampainya di kamar mandi, Khuma masih di depan wastafle dan mengeluarkan isi perutnya. Jeffry bukannya merasa jijik, justru dia membantu memijat tengkuk leher Khuma dengan pelan.
"Sayang... kita ke dokter ya," ucap Jeffry khawatir.
Sebab kalau memang benar Khuma hamil, dia tak bisa sembarangan memberikan obat untuk istrinya itu. Karena bisa membahayakan janinnya.
Khuma selesai dan mencuci mulutnya. Lalu dia menghadap Jeffry dan memeluknya. Khuma merasa baik-baik saja saat di dekat suami tercintanya. Khuma hanya butuh Jeffry.
Jeffry mengusap surai hitam istrinya itu dengan sayang. Dia semakin yakin kalau sang istri sedang isi. Sebab tingkahnya benar-benar berbeda dari biasanya. Ditambah sudah beberapa hari Khuma terlihat lesu.
"Sayang, mas mau nanya..."
Khuma mengangguk dalam dekapan Jeffry.
"Terakhir kamu pms kapan?"
Melepaskan pelukan, juga menautkan kedua alis matanya, Khuma heran kenapa Jeffry menanyakan hal itu.
"Hm, harusnya bulan ini udah tapi kayaknya telat deh mas..."
Terdiam beberapa detik, untuk mencerna maksud pertanyaan Jeffry. Khuma langsung membungkam mulutnya.
"Mas.."
Jeffry mengangguk, lalu tersenyum sangat manis. "Kita ke dokter ya sayang..."
"Tapi... kenapa cepet ya mas?"
"Mungkin Allah percaya sama kita, sayang. Bismillah aja semoga harapan kita terkabul. Ya udah sekarang kita sahur dulu yuk..."
Sejujurnya perasaan Jeffry saat ini sangat deg-degan dan juga penasaran. Bagaimana tidak? Kalau benar Khuma hamil, dia akan menjadi calon Ayah. Jeffry sangat bahagia akan hal itu.
Tapi, berhubung belum pasti jadi Jeffry berusaha untuk tenang agar Khuma juga tak merasa cemas akan hasilnya. Dan memang sudah seharusnya, menghadapi hal seperti ini jangan terlalu antusias. Berharap boleh, tapi dengan diiringi doa.
•-----•
"Jadi gimana Dok?" tanya Jeffry harap-harap cemas.
Begitu juga dengan Khuma yang sedaritadi merapalkan doa untuk hasil yang baik. Dia takut sekaligus penasaran.
Mereka berdua memutuskan untuk ke rumah sakit pagi ini, dibandingkan menggunakan alat tes kehamilan Jeffry lebih ingin pasti jadi dia memutuskan membawa Khuma untuk diperiksa langsung oleh dokter.
Dokter perempuan itu tersenyum. "Selamat pak Jeffry, Anda akan segara menjadi seorang Ayah. Istri Anda positif hamil."
"Alhamdulillah, Ya Allah." Jeffry sampai sujud syukur di lantai ruang dokter tersebut.
Khuma tak kalah bersyukur, sampai meneteskan air mata saking bahagianya. Dia menatap Jeffry yang sudah berdiri. Mereka saling tatap, dan berakhir dengan berpelukan.
"Makasih banyak sayang. Ya Allah, mas bahagia banget..."
Tak bisa mengatakan apa-apa saking bahagianya, Khuma hanya bisa menganggukkan kepala dan tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati.
Jeffry melepas pelukannya dan menghadap ke arah dokter. "Dok, terima kasih banyak."
"Iya pak, selamat ya bu. Dijaga kandungannya. Jangan terlalu capek. Kalau dirasa nggak kuat, boleh tidak puasa dulu. Jangan lupa asupan vitaminnya ya." Sang Dokter menjelaskan dengan detail apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh ibu hamil.
Jeffry dan Khuma mendengarkannya dengan seksama. "Baik Dok, terima kasih banyak," sahut Khuma.
Mereka berdua berpamitan pada Dokter perempuan itu dan keluar ruangan. Lalu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Jeffry yang masih memasang wajah bahagianya dengan segera membuka pintu mobil dan mempersilakan Khuma.
"Hati-hati sayang..." ucap Jeffry yang mulai protektif.
Khuma tersenyum. "Ya Allah mas... biasa aja jangan begitu ah."
"Nggak bisa. Mulai sekarang mas akan lebih menjaga kamu, dan calon anak kita," sahutnya sambil menyentuh perut Khuma yang masih rata.
"Baik-baik ya sayang di sana. Jangan buat bundanya muntah-muntah terus ya..." lanjutnya.
Benar saja, Khuma mulai mual lagi dan segera berlari ke kamar mandi. Dan diiringi oleh teriakan dari Jeffry untuk jangan lari-larian.
"Sayaaang, jangan lari-lari gitu..."
Ternyata perubahan sikap yang terjadi pada Khuma karena hormon yang biasa terjadi pada wanita hamil. Perasaan lebih sensitif dan kebiasaan yang tak pernah dilakukan akan menjadi kebiasaannya mulai saat ini.
Yang jelas, Jeffry sangat bahagia atas kehamilan pertama Khuma ini. Allah SWT mempercayai Jeffry dan Khuma untuk menjaga titipan-Nya, berupa buah hati. Semoga keluarga kecil mereka akan semakin harmonis dengan bertambahnya anggota baru.
•-----•