Pulang kerja Lani mengajak Ria mampir ke sebuah kedai es krim.
"Loe gak papa,pulang kerja mampir mampir dulu. Vian gak marah??." Ria sadar jika sekarang status temannya ini sudah berubah.
"Nggak,dia gak akan peduli juga Ri."
"Loh loh emang kenapa." tanya Ria dengan nada seru.
"Loe tau kan Ri, Vian itu gimana."
"Gimana maksudnya??".
"Ya gaya hidupnya, kebiasaan dia,kesenangan dia. Loe tau kan."
"Ya tentu,siapa sih yang gak tau Vian Dirtha. Emang kenapa..??" tanya Ria seperti orang bodoh.
"Wah jangan jangan dia masih..." Ria tentu saja tak berani melanjutkan kata katanya.
"Ya." Rasanya Lani membutuhkan tenaga lebih untuk membicarakan semua kesakitan hatinya saat ini.
"Dia bilang belum siap untuk berumah tangga,dia masih ingin bebas Ri. Dia masih ingin berkelana kesana kemari mencicipi bunga yang lain padahal gue kan..." Lani tak kuat lagi melanjutkan kata katanya.
"Sabar ya Lan,sabar gue yakin loe kuat.."Ria membawa Lani ke pelukannya. Dia seakan ikut merasakan kesedihan sahabatnya.
Syukurlah Lani memiliki sahabat seperti Ria saat ini. Karena siapa lagi yang akan memeluknya jika bukan Ria,disaat sahabat yang satunya tak mungkin lagi menjadi tempat untuk bersandar.
Satu hal yang Lani sadari sekarang,yaitu hubungannya bersama Vian tak bisa sama lagi seperti dulu. Lani rasa ada jarak yang cukup jauh diantara mereka.
"Sekarang gue harus gimana,Ri."
"Gue harus gimana." tangis Lani kembali pecah, begitu mengingat kembali jika jalan keluar dari semua ini tidak ada. Dan jika pun ada jalannya itu pasti menyakitkan.
"Lan, denger gue. Apa yang dikatakan Vian itu semata mata hanya karena ia belum terbiasa dengan keadaan sekarang,gue yakin kok dia gak mungkin bermaksud untuk mempermainkan loe apalagi pernikahan ini.Jadi gue yakin Vian hanya perlu waktu, percaya sama gue."
"Tapi Ri,loe taukan gue paling gak suka di bagi. Ngebayanginya aja gue gak sanggup Ri,"
"Dulu gue gak membenci Vian dengan alasan dia hanya sahabat gue, gue gak perlu merasa takut disakiti dan diduakan karena hubungan kita hanya sebatas sahabat.Tapi sekarang..."
Ria memegang tangan Lani kuat. "Loe harus yakin Vian bisa berubah Lan. Loe mau berjuang untuk hubungan ini kan. Gue tau kalian itu sudah saling menyayangi satu sama lain jadi gue yakin untuk membuat perasaan itu berubah menjadi cinta itu gak akan sulit."
Lani menggeleng lemah, ia sungguh tak yakin bisa merubah semua ini.
"Perpisahan itu menyakitkan Lan, walaupun saat ini loe dan Vian berpisah secara baik baik tapi tetap saja itu akan menjadi hal yang menyakitkan untuk loe maupun untuk Vian sendiri."
"Mending sekarang loe pulang, bicarakan semuanya secara baik baik dengan hati dan kepala yang dingin." Ria menarik Lani untuk mengikutinya, diberhentikannya sebuah taksi yang akan mengantar mereka pada rumah dimana Vian dan Lani tinggal.
"Udah sana turun," ucap Ria begitu mereka sampai disebuah gedung apartemen mewah.
Lani turun dengan langkah berat, jujur saja saat ini ia sedang tak mau melihat wajah suaminya. Karena dia tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Entah kenapa lift yang biasanya terasa sangat lama kini terasa begitu cepat. Ingin sekali Lani pergi dan tak pulang malam ini,tapi ia tak bisa melakukan itu. Dengan berat hati ia menggenggam gagang pintu itu dengan ekspresi wajah yang penuh kepalsuan. Ia tak boleh terlihat menyedihkan dihadapan Vian, ia kan wanita kuat.
"Loh tumben kamu udah pulang." kejut Lani melihat Vian yang tengah berkacak pinggang tepat menghadap pintu.
"Dari mana." tanya Vian ketus.
"Dari kantor lah,aku lembur tadi." Lani tahu aura Vian kali ini berbeda. Tapi ia mencoba cuek dilewatinya Vian begitu saja dan langsung menuju kamar.
"Aku mandi dulu ya." ijin Lani begitu ia sampai dipintu kamar.
Vian tak menjawab tapi matanya terus mengekor kemana Lani pergi. Wajahnya terlihat kesal dan semakin kesal begitu tahu jika Lani mengabaikannya.
"Gue nungguin dia tiga jam loh.Tiga jam," gerutu Vian dalam hati .
Karena kekesalannya semakin menjadi Vian langsung mengikuti Lani memasuki kamar tidur mereka.
"Harusnya loe bilang donk kalo lembur." protes Vian yang menghentikan langkah Lani yang tengah menuju kamar mandi.
Lani menarik nafas dalam. Ia tak suka Vian berkata begitu terdengar seakan-akan ia memang istrinya.
"Aku lupa,maaf ya." jawab Lani dengan sedikit senyuman di bibirnya.
"Kalo gue punya salah loe bilang donk." Vian melangkah mendekati Lani.
"Jangan diem gitu,loe biasanya juga kan tukang protes."
Lani kikuk. Vian sepertinya sadar jika saat ini ia tengah menghindarinya.
"Kita bicarakan semuanya nanti ya, gue mandi dulu." Lani memilih kabur sebelum Vian semakin dekat.
Bibir Vian sedikit menyimpul, merasa lucu melihat sikap Lani yang ketakutan karenanya. Jujur itu adalah sikap yang jarang Vian lihat dari seorang Lani. Biasanya mau sedekat apapun jarak mereka Lani selalu meladeninya dengan santai tak ada rasa takut ataupun malu,tapi tadi jelas terlihat jika Lani takut ia terlalu dekat mengikis jarak diantara mereka.
Selama Lani mandi Vian tak beranjak sedikitpun dari tempatnya tadi. Ia terus berdiri mematung didepan pintu kamar mandi dengan harapan bisa melihat ekspresi ketakutan Lani lagi. Entah kenapa rasa kesalnya sirna begitu saja setelah melihat hal itu. Sepertinya menggoda Lani akan menjadi kebiasaan baru untuk Vian sekarang.
"Sudah mandinya." sapa Vian yang berjarak hanya beberapa langkah dari pintu kamar mandi tepat dimana Lani sekarang berdiri mematung.
"Aaaaaa." teriak Lani kaget.
"Loe apaan sih." protes Lani tak suka.
Vian kembali melangkah mendekat. "Loe yang apaan, kalo marah bilang donk kalo gue punya salah tuh ngomong. Jangan ngehindar begini."
Lani kembali terlihat kikuk, ia terlihat bingung. Ingin ia lari tapi itu tak mungkin karena kanan kirinya tembok, mundur juga tak mungkin sebab ia tak mau kejadian kejadian dalam novel yang ia baca terjadi juga padanya.
"Oke. Ayo kita bahas itu sekarang." Lani langsung menarik tangan Vian begitu posisinya mulai terancam. Lani membawa Vian keruangan tamu mereka.
"Mari kita bicarakan semuanya sekarang."
Lani ingin semuanya jelas sekarang,mau dibawa kemana hubungan ini atau mau berakhir bagaimana hubungan ini. Lani ingin semuanya jelas.
"Apa semalam aku salah bicara." tanya Vian karena tahu sikap Lani berubah pasti karena perkataannya semalam.
"Gak, gak ada yang salah kok. Aku ngerti perubahan status kita yang cepat membuat kamu sulit untuk menerima. Tapi bisakah kita pastikan bagaimana hubungan ini kedepannya."
Vian tahu Lani pasti membutuhkan sebuah kepastian tapi mengapa harus secepat ini.
"Ian aku butuh sebuah kepastian untuk menentukan bagaimana aku harus bersikap.Ya aku ingin kita sama sama enak aja ngejalanin hubungan ini." sambung Lani lagi.
Lani tak mau berharap macam macam karena bisa memiliki Vian seperti dulu saja itu sudah lebih dari cukup untuk Lani.
"Bisakah kita lupakan sejenak tentang pernikahan ini." Vian menjeda bicaranya, ia mencoba memperhatikan sejenak ekspresi Lani.
"Ya seperti apa yang aku bicarakan kemarin. Aku ingin kita tak harus hidup seperti pasangan yang menikah, seperti yang kau bilang anggap saja kita seperti hidup dalam kos an yang sama. Kau tak perlu menjalankan tugas seorang istri dan kau pun tak perlu menganggap ku suami mu."
"Baiklah aku setuju." jawaban Lani membuat Vian terperangah.
"Lalu bila kamu setuju mengapa kamu marah saat aku mengatakan hal yang sama kemarin,Lani ailani."
"Ya kemarin aku menganggap omongan mu itu jahat tapi setelah aku memikirkannya,ini bisa jadi jalan keluar yang terbaik untuk kita saat ini. Yang pasti aku hanya tidak mau hubungan kita hancur hanya karena status kita sudah berubah." Bagi Lani yang penting sekarang bukan tentang pernikahan ini tapi bagaimana menjaga hubungan mereka tetap baik dan dekat seperti sebelumnya. Karena jujur Lani pun belum siap bersuamikan laki laki seperti Vian.
"Lan jika suatu saat nanti status hubungan kita kembali berubah. Loe harus janji akan tetap menjadi sahabat gue ."
Tuh kan bagaimana Lani bisa berharap Vian menjadi suami baginya. Belum apa apa dia sudah membicarakan akhir hubungan ini yang sudah jelas takkan happy ending.
"Harusnya yang ngomong gitu tuh gue kali." protes Lani tak suka, sebab kenyataannya Vian lah yang selalu melupakan dirinya dan persahabatan mereka.
"Aku kamu lagi donk ngomongnya, terdengar romantis tau." canda Vian yang langsung mendapat tatapan tajam dari Lani.
Setelah malam itu Lani dan Vian tidur secara terpisah, awalnya Vian menolak melakukan itu tapi karena berbagai alasan yang di utarakan Lani membuatnya menyetujuinya.
Hubungan mereka berjalan baik seperti biasanya.Mereka menikah,hidup dalam satu atap tapi hubungan mereka tetap berjalan dalam sebuah status dan rasa persahabatan.
Vian melanjutkan hidupnya seperti dulu kerja,senang senang,menghamburkan uang dan tidur dengan wanita yang berbeda disetiap malamnya. Sedangkan Lani menjalankan hidupnya dengan lebih keras dari sebelumnya,dia menjadi wanita penggila kerja hampir setiap hari ia lembur dan pulang larut malam