Ada pepatah yang mengatakan jika laki laki dan perempuan tak mungkin bisa berteman apalagi bersahabat. Sebab tak mungkin salah satu diantara mereka tak memiliki perasaan yang lebih dari teman.
Begitupun hubungan Lani dan Vian, banyak yang tak percaya jika hubungan diantara keduanya hanya sebatas persahabatan.
Walaupun diantara keduanya tak pernah ada yang mengakui akan hal itu.Tapi setiap wanita dan lelaki yang mendekati Vian ataupun Lani mereka selalu merasa hubungan diantara mereka lebih dari itu.
Dan tak jarang pula alasan kandasnya hubungan percintaan Lani dan percintaan Vian itu karena hubungan persahabatan mereka.
"Kamu itu lebih mentingin sahabat kamu daripada aku."
"Kamu batalin janji makan malam kita hanya untuk jemput dia."
"Lani,Lani aja terus. Yang pacar kamu itu aku."
"Aku gak suka kamu lebih perhatian pada Vian sahabat kamu itu."
Kira kira begitulah bentuk protes yang dilayangkan oleh pacar Lani dan pacar Vian saat menjalan kasih dengan keduanya.
"Kamu udah mandi." Tanya Vian begitu ia memasuki kamar.
Via yang tengah fokus pada handphonenya pun menoleh. "Udah,gimana Via."
Ya Vian baru saja membujuk sang adik untuk memaafkannya karena kejadian tadi sore membuat Via takut padanya. Ekspresi marah yang belum Via lihat pada Vian membuatnya takut.
"Setelah aku bujuk dan menyogoknya dengan beberapa mainan akhirnya ia luluh."
Untungnya Vian tadi mendengarkan saran dari Lani untuk membeli beberapa mainan untuk Via saat dijalan pulang tadi.
"Bagus deh jadi setidaknya Via bisa tidur dengan nyenyak malam ini." Ledek Lani seakan akan menyiratkan jika ekspresi marah Vian itu sangat menyeramkan.
"Oh jadi maksudmu aku tadi itu nyeremin gitu." Vian melemparkan sebuah bantal sofa pada Lani.
"Mending loe mandi sana." Lani melempar balik bantal itu pada Vian.
"Bisa gak sih panggilan loe itu diubah selamanya jadi kamu. Terdengar lebih romantis gitu." Protes Vian dengan melayangkan bantal itu kembali pada Lani.
"Udah akh mainnya,aku mandi dulu oke."
Vian meninggalkan Lani yang sudah siap untuk meneruskan perang bantal itu.
"Romantis...?? Romantis apanya." Gerutu Lani dengan wajah yang bersemu merah.
. . . . .
"Kakek mau aku buatkan wedang jahe."
"Gak usah, kakek memanggil kamu bukan untuk itu."
"Duduk sini." Kakek Joko meminta Lani duduk dibangku sebelahnya.
Lani tentu tahu jika tujuan kakek memanggilnya bukan untuk menemaninya mengobrol ataupun menemaninya bermain catur. Kakek memanggilnya pasti ingin memastikan sesuatu yang menyangkut hubungannya dengan Vian.
"Gimana rasanya hidup dengan cucu kakek yang nyebelin itu, menyenangkan??." Tanya kakek membuka obrolan diantara mereka.
"Haha, ya tentu saja menyenangkan. Hidup satu atap dengan cucu kakek yang nano nano itu."
"Nano nano..?"
"Iya kek nano nano, sikapnya tuh selalu gak bisa ditebak gitu. Kadang sikapnya dingin,kadang sejuk, terkadang hangat tapi tak jarang pula terasa panas."
Kakek sedikit tertawa mendengar penuturan Lani. "Jadi kayak cuaca donk,Lan."
"Kok kayak cuaca kek."
"Iya kayak cuaca, cuacakan kalo lagi pancaroba gitu. Bentar bentar panas bentar bentar hujan eh bentar bentar panas terik."
"Haha iya ya.Ternyata cucu kakek punya banyak julukan ya."
Begitulah keakraban yang terjalin antara kakek dan Lani. Setiap kali mereka mengobrol selalu saja seru, bahkan Lani tak pernah menutupi apapun dari kakek. Perihal urusan asmara yang selalu saja berakhir pahit pun selalu Lani ceritakan pada kekeknya Vian itu.
"Kakek tahu hubungan kalian sekarang dalam fase peralihan, pasti akan banyak hal yang membuat kalian tak nyaman satu sama lainnya. Tapi kakek yakin hubungan pernikahan kalian akan berhasil sama dengan hubungan persahabatan kalian selama ini."
Kakek memang menaruh harapan besar pada hubungan Vian dan Lani. Walaupun ia sadar bahwa ia lah yang sudah memaksa mereka berdua untuk hidup bersama tapi kakek yakin keputusannya ini adalah keputusan yang tepat.
"Ya awalnya aku pikir hubungan pernikahan itu berbeda dengan persahabatan. Di awal awal aku merasa aku gak bisa ngejalanin hubungan ini, apalagi mimpi ku tentang pernikahan itu tinggi. Tapi setelah aku jalanin ternyata hubungan pernikahan dan persahabatan itu tak jauh berbeda hanya saja saat ini kita belum terbiasa dengan hal hal yang berbau keintiman ataupun waktu yang lebih banyak dihabiskan bersama."
Kakek Joko tentu tahu jika sekarang hubungan Vian dan Lani masih berproses, tapi dengan Lani menyembunyikan fakta yang ada membuatnya yakin. Jika yang Lani katakan barusan adalah sebuah kebohongan.
"Kamu tahu kan,kakek tak meminta mu untuk berusaha dengan keras mengubah apa yang ada. Kakek yakin dengan ada disamping Vian setiap waktu hubungan kalian akan berubah ke arah yang semestinya. Tapi tentu kamu ingat kamu bisa menyerah kapanpun kamu mau, karena kakek tahu hidup bersama dengan orang yang kita benci itu pasti sulit."
Ya sebenarnya dari awal kakek tak pernah memaksakan pernikahan ini kepada Lani. Jika Lani menolakpun tak apa, karena kakek tahu Vian adalah tife laki laki yang Lani benci.
"Aku akan berusaha,kakek tenang saja. Begitu aku lelah pasti aku akan meminta pertolongan kakek."
"Kakek yakin kamu akan berhasil."
"Sudah malam,kakek masuk ke kamar dulu ya." Sambung kakek dan meninggalkan Lani dikursi tepi kolam itu sendiri.
"Aku akan menyerah jika harapan itu benar benar sudah tak ada." Ucap batin Lani seraya menikmati hamparan bintang di atas sana.
. . . .
Krieett...
"Kamu dari mana aja sih." Tanya Vian dari arah balkon kamar.
"Biasa,kakek."
"Abis ngapain sama kakek."
"Main catur di halaman belakang."
Vian tentu tak tahu jika Lani dan kakek pasti bukan sekedar main catur bersama. Vian yakin kakek pasti menanyakan hal yang sama pada Lani, pertanyaan yang menyangkut hubungan mereka sekarang.
"Oh iya tadi mamah nelpon,ke hp kamu. Aku jawab dan bilang kamu lagi gak ada, sepertinya mamah juga ngirim pesan tapi belum aku buka."
"Terus hp nya mana."
"Nih, masih sama gue eh aku."
Akhirnya Lani mau tak mau menghampiri Vian ke balkon kamar yang dingin.
"Aku gue aku gue. Gak enak didenger tau,mana sini hp nya."
Lani mengambil hp ditangan Vian cepat dan langsung duduk di kursi panjang yang ada disana.
"Waw so sweet banget. Lihat deh Ian." Lani terperangah melihat pesan yang dikirim oleh ibu mertuanya itu.
"Apaan sih." Vian akhirnya mendekat karena penasaran.
"Lihat donk." Pesan itu berisi beberapa foto romantis antara mamah dan ayahnya Vian. Ada foto dipantai,makan malam romantis sampai ranjang yang dihiasi banyak dengan bunga mawar. Perlu diketahui saja mamah dan ayahnya Vian sedang berlibur di Bali saat ini.
"Akh ada voice note nya juga."
"Masa pengantin baru kalah sama pengantin lama, ayo donk buruan bulan madu." Isi voice note itu terdengar seperti suara ayahnya Vian,ayah Ardi.
Mendengar isi voice note itu Vian dan Lani hanya bertatapan sekilas. Sepertinya mereka sepakat jika itu bukan hal yang harus dibahas sekarang.
"Iri deh aku sama mereka. Nikah udah puluhan tahun tapi selalu mesra," ungkap Lani merasa kagum.
Vian duduk dengan lemas menatap langit yang cerah. "Hmm kamu tahu Lan, terkadang aku berharap lahir dari pasangan seperti mereka. Andai aja ayah kandung aku itu ayah Ardi bukan si bajingan itu pasti aku gak akan begini."
"Vian tak ada manusia didunia ini yang bisa memilih lahir dari siapa atau siapa ayahnya. Andai itu bisa akupun pasti akan memilih terlahir dikeluarga baik baik yang selalu menyayangiku dan tak pernah membuangku begitu saja dijalanan."
Di dunia ini bukan hanya Vian saja yang memiliki penyesalan,Lani dan semua orang didunia ini pasti pernah menyesal. Dan banyak juga yang menyesali takdir mereka yang memang sudah digariskan oleh sang pencipta.
"Boleh peluk gak." Tanya Vian meminta persetujuan Lani.
"Sejak kapan kamu minta ijin dulu untuk melakukan itu." Jawab Lani yang langsung membuat Vian memeluknya erat. Dan semakin terasa erat begitu Vian sadar jika Lani belum membalas pelukannya.
"Mungkin jika kamu ayah kandungmu ayah Ardi, mungkin takkan ada Vian yang sekarang. Vian yang menyebalkan dan selalu bersikap seperti cuaca."
"Kok seperti cuaca??" Tanya Vian tanpa menguari pelukannya.
"Ya kamu kan kadang gak bisa ditebak. Bisa paginya hujan terus siangnya cerah eh malamnya bisa hujan petir malah."
Haha perkataan Lani membuat Vian tertawa renyah.
"Ian,laper." Rengek Lani dengan nada manja.
"Maunya makan apa." Lagi lagi Vian bertanya tanpa melepaskan pelukannya.
"Pizza kayaknya enak deh, kalo gak martabak manis."
"Oke kita delivery aja gimana."
"Oke." Dan barulah Vian mengurai pelukannya karena harus memesan makanan yang Lani minta.
Seraya menunggu pesanan datang Lani menyiapkan minuman teh hangat untuk mendampingi nyemil mereka.
"Dingin tau, kenapa makannya harus disini sih." protes Lani pada Vian saat langkah Vian kembali menuju balkon kamar.
"Ini udah mau hampir tengah malam loh Ian."
"Gak dingin kok, aku yang pake kolor aja biasa aja tuh. Kamu malah enak baju sama celana serba panjang semua."
"Teutep ajha dingnin tau." Lani tetap protes walaupun kini mulutnya terisi penuh dengan sepotong pizza.
"Coba deh rambut loe digerai jangan dicepol gitu.Sini gue bukaain."
Vian tak keberatan menunda makannya dan lebih memilih membuka ikatan rambut Lani terlebih dahulu. Vian yang duduk berhadapan dengan Lani otomatis harus mengikis jarak diantara mereka.
"Nah, terasa lebih hangat kan." Vian merapikan rambut Lani yang panjang agar bisa menutup bagian lehernya.
"Udah akh jangan deket deket, rambut gue bau belum di cuci." Lani sedikit mendorong tubuh Vian agar menjauh.
"Masa coba gue cium." Vian terlihat semakin mengikis jarak diantara mereka dan Lani semakin berusaha menjauhkan Vian dari rambutnya.
Setelah mengelak beberapa kali akhirnya...
"Ian,jidat gue bau pizza donk sekarang." protes Lani begitu Vian malah mendaratkan bibirnya itu dikeningnya.
Vian terlihat tak mendengarkan protesan Lani.Ia malah terlihat memejamkan matanya seakan akan ia sangat menghayati apa yang tengah ia lakukan sekarang.