Chapter 9 - Tak sesuai harapan

Setiap kali Lani mengingat apa yang Vian lakukan tadi pagi membuat jantungnya selalu tak karuan dan tak terasa ia selalu tersenyum sendiri.

Bahkan saat istirahat makan siang,Ria dibuat heran olehnya.

"Loe kenapa sih, dari tadi gue perhatiin senyum manyun senyum manyun mulu." Tanya Ria.

"Gak kok gak papa, cuma lagi nginget hal hal yang lucu aja."

"Kayaknya hubungan loe sama Vian berkembang ya. Ada kemajuan." Tebak Ria dengan terus memainkan gelas ditangannya.

"Kemajuan sih belum ada,tapi ya setidaknya lebih baik dari kemarin."

"Syukurlah kalo hubungan kalian membaik gue ikut senang dengarnya." Ria terlihat tak bersemangat bahkan ia terlihat tak bernafsu untuk makan.

"Loe kenapa sih, dari tadi gue perhatiin kayak gak semangat gitu. Nah terus tuh makanan dianggurin doank gak dimakan."

"Gue lagi bingung,Lan." Ria meneguk sedikit gelas yang berisi air teh itu lalu diletakkannya dengan keras, membuat Lani dan beberapa orang dikantin kaget.

"Kenapa,cerita donk." Lani akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan makannya dengan cepat dan mencoba serius untuk mendengarkan Ria bercerita.

"Kemarin dia ngelamar,gue." Ungkap Ria dengan nada lesu.

"Wah bagus donk, harusnya loe seneng bukan malah murung gini."

"Bukannya gue gak seneng tapi gue takut."

"Takut kenapa," Lani sebenarnya tahu Ria masih trauma akan hubungannya yang kandas begitu saja.

"Ya gue takut,Lan. Memulai sebuah hubungan itu mudah tapi yang sulit itu mempertahankan hubungan itu sendiri untuk selalu terasa mesra, bahagia, saling percaya dan menguatkan hati saat godaan datang. Gue pernah gagal dan jujur gue takut hubungan kali inipun takkan berhasil."

Lani menghampiri sang sahabat dan memberinya pelukan hangat. Lani mengerti apa yang Ria takutkan,Lani mengerti rasa sakit yang Ria rasakan saat kesetiaan itu hanya sebuah omong kosong.

"Menurut gue, jika luka dihati loe belum sepenuhnya sembuh dan obatnya itu adalah kesendirian ya lebih baik sendiri aja dulu. Tapi jika luka loe itu membutuhkan obat yang lain mungkin saja ini saat yang tepat dengan orang yang tepat pula."

Karena bagi Lani sendiri obat luka pada hatinya adalah kesendirian, ia tak membutuhkan yang lain selain waktu untuk sendiri.

Memang membangun sebuah hubungan dengan status apapun itu,tak bisa hanya bermodalkan perasaan atau cinta. Harus ada kepercayaan, kesetiaan, dan selalu menerima kekurangan pasangan. Cinta saja tak cukup apalagi jika cinta mu tak cukup besar untuk menahan semua godaan yang ada.

"Makasih ya, loe emang sahabat gue yang paling the best."

Ria dan Lani adalah sahabat sejak masa SMA, Ria adalah teman seperjuangannya Lani. Dari semasa kuliah sampai bisa bekerja di perusahaan yang sama seperti sekarang adalah hasil dari perjuangan yang mereka lakukan bersama-sama.

Dua insan ini selalu saja memiliki kesamaan yang membuat persahabatan mereka semakin erat. Ria tak suka durian begitu juga Lani,Ria menyukai semua hal yang berbau buku entah itu komik atau novel Lani pun suka dengan semua itu.

Bahkan tipe laki laki yang mereka inginkan juga sama. Ria dan Lani sama sama pembenci playboy,suka laki laki yang selalu berpenampilan rapih dan selalu wangi tentunya.

Awalnya nasib kisah cinta mereka sangatlah berbeda. Kisah asmara Lani selalu berakhir tak menyenangkan, dimulai dari ditinggal menikah,ditipu, bahkan diselingkuhi. Sedangkan Ria sendiri memiliki kisah cinta yang manis sebelum semuanya berubah dan hubungan itu kandas dengan perceraian, Ria hanya pernah menjalani satu hubungan cinta dengan satu laki laki yaitu cinta pertamanya yang kemudian menjadi suaminya.

Ria pikir lamanya waktu dalam menjalani sebuah hubungan itu sudah cukup untuk kita bisa mengenal satu sama lain dan menerima setiap kekurangan pasangan. Ria selalu merasa sudah sangat mengenal laki laki itu tapi semenjak status mereka berubah dari pasangan kekasih menjadi suami istri banyak hal yang baru ia ketahui dari laki laki itu. Yang paling membuat Ria terpukul adalah ternyata laki laki yang ia jadikan suami bukanlah laki laki yang setia, bukanlah laki laki yang setia seperti ia kenal selama ini.

"Udah waktunya masuk nih,yuk akh." ajak Lani dengan menarik tangan Ria.

"Gue harap pernikahan loe gak berakhir seperti pernikahan gue ya,Lan." Ria menghentikan langkah Lani.

"Gue sedang berusaha untuk itu." Lani merangkul pundak Ria untuk sedikit memberikannya energi positif yang ia miliki sekarang.

"Hai tumben nih, seorang Lani gak lembur." sapa seorang rekan kerja Lani begitu melihat Lani menunggu lift turun.

"Tau nih pengen pulang cepat aja bawaannya." Jawab Lani denan wajah ceria.

"Hmm pasti kangen sama suaminya ya." Goda sang teman membuat bibir Lani tersenyum lebar.

Pukul lima sore adalah waktu Lani pulang kantor sedangkan Vian waktu pulang kantornya adalah jam empat sore. Harusnya sekarang Vian sudah menunggu Lani dibawah,tapi...

"Macet mungkin ya." Gumam Lani begitu tak melihat keberadaan mobil Vian didepan kantornya.

Padahal sudah dari jam setengah empat,Vian mengabarinya jika ia takkan telat.

Lima belas menit menunggu,tapi Vian tak juga datang.Ditelepon gak diangkat,di chat gak dijawab, akhirnya Lani memutuskan untuk menunggu Vian disebuah kedai kopi yang tak jauh dari sana.

Dua jam sudah berlalu, Vian tak kunjung datang memberi kabar juga tidak dan sungguh itu membuat Lani gelisah.

"Hallo,Ki..." Lani akhirnya menelpon Diki, sekertarisnya Vian.

"Ya,kak ada apa."

"Vian masih ada dikantor atau masih ada kerjaan diluar."

"Pak boss udah balik dari tadi kak, katanya mau jemput kakak."

Tuttutt...

Lani langsung menutup telponnya begitu tahu kebenarannya. Ia tak punya pikiran yang lain lagi selain Vian pasti tak jadi menjemputnya karena ada hal darurat yang ia temui ditengah jalan.

Lani akhirnya memutuskan untuk pulang, rasanya percuma jika ia terus menunggu. Karena Lani yakin Vian takkan pernah datang menjemputnya.

Disepanjang perjalanan pulang, bohong jika Lani benar-benar tak peduli dan tak mengkhawatirkan Vian. Dimulut berkata tidak tapi hati tetap saja resah.

Kriiieettt...

Rumah terlihat sepi, gelap gulita. Tak ada lampu yang menyala dan itu berarti Vian pun belum pulang.

"Sudahlah, lebih baik aku mandi terus tidur." Lani sudah tak lagi merasa lapar, perutnya seakan sudah kenyang dengan rasa bosannya menunggu.

Menyesal rasanya tadi Lani memutuskan untuk pulang lebih awal, padahal malam ini Ria lembur. Harusnya ia tak perlu merasa kegeeran akan perlakuan Vian tadi pagi dan merasa itu sebuah pertanda baik untuknya dan hubungan mereka.

. . . . .

Malam ini untuk yang kesekian kalinya kakek Joko menerima laporan yang tidak menyenangkan dari mata mata yang ia tugaskan untuk mengawasi Lani dan Vian.

Bagaimana kakek akan merasa senang saat ia tahu, Lani menunggu Vian dengan setia tapi Vian sendiri malah...

"Terus awasi saja, dan pastikan tak ada bukti yang terlewat." Titah kakek pada anak buahnya melalui sambungan telepon.

Saat ini kakek Joko masih ingin melihat bagaimana hubungan kedua cucunya itu akan berjalan, apakah bisa membaik dengan sendirinya atau perlu campur tangannya.

. . . . .

"Saya bisa berterima kasih dengan ini,bapak sukakan. Yang sakit itu kaki saya pak bukan bagian tubuh yang bapak suka."

Wanita itu terus saja memepetkan tubuhnya sampai tubuh laki laki itu diam membisu karena ulahnya.

"Dulu bapak bilang saya ini luar biasa, saya bisa loh melakukannya lagi. Saya jamin bapak akan puas." Tangan dan bibir wanita itu mulai bergerilya di tubuh sang laki laki.

"Puaskanlah aku..."