Chapter 10 - Kembali Tergoda

Hari ini Vian sangat tak sabar menunggu waktu untuk cepat sore, rasanya tak sabar ingin menghabiskan waktu bersama Lani malam ini.

"Ki, keruangan saya sekarang." Titah Vian melalui sambungan telepon pada Diki.

Vian pikir pasti akan menyenangkan melihat ekspresi Lani jika ia sedikit memberinya kejutan kecil.

Tok..tok...

"Masuk Ki."

"Ya pak bos,ada yang bisa saya bantu." Diki tahu jika suasana hati Vian sedang bagus saat ini, terlihat jelas dari gerak geriknya.

"Tolong belikan saya, satu buket bunga mawar merah untuk sore ini. Kamu bisa kan."

Tebakan Diki tepat bukan, ya walaupun ini jauh sekali dari dugaannya dan membuatnya sedikit terkejut. Tapi Diki ikut senang jika suasana hati Vian senang, apalagi jika kebahagiaan Vian itu berhubungan dengan Lani pasti Diki akan sangat senang.

"Iya pak bos, bisa. Hanya itu atau masih ada yang lain pak bos ."

"Lani itu suka sama makanan maniskan." Pertanyaan Vian membuat Diki tersenyum senang.

"Kalo boleh saya kasih saran pak bos. Gimana kalo saya pesankan satu buket lagi, yang isinya cemilan yang kak Lani suka."

"Ya boleh boleh. Kamu pasti tahu cemilan kesukaan Lani jadi saya akan serahkan semuanya sama kamu."

"Siap pak bos. Apa masih ada lagi pak bos." Entahlah Diki berharap jika hadiah untuk kakaknya itu akan lebih dari ini.

"Gak itu saja. Harus siap sore ini,ok."

"Siap pak bos. Kalo begitu saya pamit."

Diki meninggalkan ruangan kerja Vian dengan langkah penuh harapan. Ia sangat berharap jika ini adalah pertanda yang baik untuk hubungan Vian dan Lani.

Vian tahu Diki takkan mengecewakannya, selain sekertaris yang baik dan selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna. Vian yakin apapun yang berhubungan dengan Lani,Diki akan melakukannya lebih baik lagi dari biasanya.

"Heuh,Baru jam dua." Keluh Vian yang merasa jika hari ini berjalan begitu lambat.

Sebenarnya apa yang Vian rasakan saat ini adalah perasaan yang tak asing untuknya. Selalu ada kalanya ia sangat merindukan Lani, selalu ada rasa ingin selalu didekatnya.

Biasanya kalo sedang begini,dulu semasa mereka masih bersahabat Vian akan mengajak Lani untuk menginap dirumah kakek beberapa hari. Karena Lani berbeda dengan wanita diluar sana yang jika ingin bertemu Vian bawa ke hotel, sedangkan Lani hanya ia bisa bawa kerumah kakek.

Saat rasa ingin bertemu itu menggebu gebu,Vian bahkan tak sungkan membawa Lani pergi begitu saja walaupun perempuan itu tengah bersama kekasihnya.Bahkan Vian tak segan segan melarang Lani pergi menunaikan janjinya, entah itu pergi dengan teman,gebetan ataupun kerabatnya.

Tak sedikit orang yang berkata jika Vian terlalu posesif sebagai sahabat. Tapi Vian tak peduli selama Lani tak protes itu bukanlah sebuah masalah baginya. Ya, bukannya Lani tak protes tapi ia tak pernah mengatakannya secara langsung saja ke Vian, yang Lani lakukan hanya diam saat laki laki itu mengekangnya.

Dan jika ada yang berkata mereka lebih cocok sebagai pasangan. Jujur Vian tak menyangkalnya, karena mau bagaimanapun hanya Lani yang selalu ia punya didalam kondisi apapun.

Pikiran ingin berubah pun selalu ada, ingin rasanya memantaskan diri untuk Lani sebagai seorang laki laki. Tapi entah mengapa godaan itu selalu datang.

Dan Lani yang selalu menganggap hubungan diantara mereka tak bisa lebih dari sahabat membuat Vian selalu memiliki alasan untuk tak melawan godaan yang datang.

"Gimana Ki, sudah siap semuanya." Tanya Vian memastikan, padahal ini baru jam tiga.

"Sudah pak bos, buketnya sudah saya taruh di mobil pak bos."

Waktu pulang kantor masih satu jam lagi, sedangkan Lani keluar kantor jam lima. Itu artinya ia masih memiliki banyak waktu untuk bersiap siap dan menyelesaikan pekerjaannya.

Karena terlalu bersemangat atau memang ia sudah tak sabar, kerjaan yang menumpuk di mejanya satu persatu selesai dengan lebih cepat dan akhirnya Vian memutuskan untuk pulang setengah jam lebih awal.

"Ki,kunci mobil." Vian meminta kunci mobilnya saat melewati meja kerjanya Diki.

"Loh,pak bos...."

"Saya takut jalanan macet,kamu gak mau kan kakakmu itu sampai menunggu Lama." Potong Vian cepat begitu tahu apa maksud Diki.

"Iya,ini pak bos kuncinya. Hati hati dijalan." Pesan Diki yang hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri, Vian.

Ekspresi wajah Vian masih sama, walaupun suasana hatinya tengah senang tapi itu hanya terlihat dan terasa dari auranya saja. Tak ada perubahan apapun diwajahnya. Tapi bagi sebagian karyawan kantor wajah Vian akan terlihat lebih tampan saat tengah bahagia dan sangat terlihat menyeramkan jika tengah marah.

"Oke,aku akan merubah semuanya mulai malam ini. Dengan status kita yang sekarang aku yakin hanya Lani yang aku inginkan." Gumam Vian begitu melihat buket bunga dan camilan untuk Lani.

Didalam mobil Vian tak henti hentinya, tersenyum senyum sendiri. Tak sabar rasanya membuat hal yang menjadi angan-angannya selama ini akan segera terwujud.

Mobilnya Vian melaju dengan kecepatan sedang, jalanan yang belum terlalu ramai membuatnya sedikit bisa bersantai. Sesekali Vian terlihat merapikan tatanan rambutnya, berkali-kali memastikan penampilannya rapih dan tampan tentunya.

Saat Vian sedang bersenandung ria dan merapikan rambutnya melalui kaca mobil,tiba tiba...

Aaaaaa....

Sebuah teriakan mengagetkan Vian dan membuatnya menarik rem darurat untuk menghentikan laju mobilnya. walaupun laju mobil tak terlalu kencang tapi jarak yang sudah terlalu dekat membuat tabrakan itu tak terelakkan.

Tapi masih untung Vian mengerem mobilnya dengan sigap, membuat tabrakan itu tak bertambah parah.Begitu mobil berhenti Vian langsung bergegas turun, menghampiri seorang wanita yang tergeletak ditengah jalan. Untung jalanan tengah sepi.

Beberapa orang terlihat mulai mengerubungi wanita itu...

"Tolong masukkan kemobil saya pak.Saya akan bertanggung jawab. Cepat pak." Titah Vian pada beberapa orang yang menghampiri mereka.

Wanita muda itu ditempatkan dibangku penumpang,disamping Vian. Wanita muda itu sepertinya seorang mahasiswa terlihat dari beberapa barang yang ia bawa, ada beberapa buku dan tas laptop.

Vian yang panik dan takut wanita yang ia tabrak kenapa napa. Membuat Vian lupa untuk mengabari Lani, walaupun tak terlihat luka serius yang dialami sang wanita tapi tetap saja Vian takut.

Karena jarak rumah sakit terlalu jauh akhirnya Vian membawa wanita muda itu,kesebuah klinik.

"Tolong tangani dia, sekarang juga." Pinta Vian pada perawat yang ada disana.

Vian ingin pergi begitu saja tapi ia tidak bisa, apalagi ia belum tahu keadaan wanita yang ia tabrak itu.

Entah karena terlalu takut dan panik,Vian sampai tak ingat janjinya pada Lani bahkan handphonenya ia tinggalkan dimobil begitu saja.

"Permisi tuan. Pasien sudah sadar dan meminta saya untuk memanggilkan anda."

Vian mengikuti langkah sang perawat dengan penuh rasa takut, ia takut kejadian buruk dulu terulang lagi.

"Akhh,pelan pelan dok." Vian memasuki ruangan itu disambut dengan suara rintihan yang bisa Vian tebak itu pasti wanita yang ia tabrak tadi. Ada rasa sedikit lega yang Vian rasakan.

"Gimana dok, apa keadaan dia baik baik saja." Tanya Vian pada sang dokter.

"Ya Alhamdulillah hanya sedikit lecet dan terkilir saja pak." Mendengar penjelasan dokter membuat Vian bernafas lega.

"Terus kenapa dia sampai pingsan,dok."

"Karena terlalu shock saja,kaget. Jadi itu yang membuatnya pingsan." Vian benar benar lega sekarang.

"Kamu baik baik saja kan. Maaf,saya tadi sedikit meleng tadi." Vian memohon maaf pada wanita yang terlihat masih meringis itu.

"Iya pak. Gak papa kok,lain kali hati hati ya pak.Kalo nyetir tuh yang fokus." Omel wanita muda itu.

"Ya maaf saya benar benar minta maaf." Vian kembali memohon maaf.

Akhirnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, Vian menunggu wanita itu sampai selesai diobati dan mengantarkan wanita itu pulang.

"Pak,bapak gak ingat saya." Tanya wanita itu ditengah perjalanan mereka.

Vian tak menggubris pertanyaan wanita muda itu, ia tengah resah sekarang karena baru teringat janjinya dengan Lani.

Ingin menghubungi tapi sialnya handphone Vian mati, batrei nya habis. Ingin segera menemui tapi ia masih harus menyelesaikan tanggung jawabnya.

Parahnya lagi rumah wanita ini tak searah dengan arah rumahnya.

"Apartemen kamu disinikan." Tanya Vian begitu mereka sampai disebuah gedung apartemen yang cukup elite.

"Pak,maaf sebelumnya apa bisa bantu saya sekali lagi." Wanita itu tak bisa berjalan tadi saja keluar dari klinik ia dipapah oleh perawat dan kini dengan terpaksa Vian lah yang harus memapahnya.

"Lantai berapa." Tanya Vian yang mulai membantu wanita itu untuk berjalan.

"Lantai 21,pak."

Vian tak ada pikiran lain sekarang,selain ingin cepat cepat pulang dan menemui Lani. Kenapa disetiap Vian mau berubah semuanya berjalan tak sesuai harapan.

"Kunci nya berapa."

"Biar saya saja." Wanita itu menekan kunci kombinasi pintu apartemennya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan masih berada dipundak Vian.

Begitu pintu terbuka Vian menuntun wanita muda untuk duduk disebuah sofa. Ada satu hal lagi yang harus Vian urus.

"Jika barang anda ada yang rusak atau hilang bilang saja. Bila anda membutuhkan laptop yang baru katakan saja." Vian berdiri dengan sebuah cek yang siap untuk ia isi.

"Bapak benar tak ingat siapa saya." Lagi lagi wanita itu bertanya akan hal itu.

Vian sekilas memandang wanita itu, rambut yang panjang dan bergelombang, wajahnya terlihat cantik sempurna tapi Vian tahu itu hanya polesan make up tak cantik alami seperti Lani.

Dalam urusan wanita apalagi wanita yang hanya menjadi teman tidurnya, wajahnya saja tak pernah Vian lihat secara detail apalagi namanya. Dan sekarang Vian rasa wanita ini...

"Apa perlu saya ingatkan." Wanita itu mulai berdiri dengan susah payah.

"Saya bisa berterima kasih dengan ini,bapak sukakan. Yang sakit itu kaki saya pak bukan bagian tubuh yang bapak suka."

Wanita itu terus saja memepetkan tubuhnya sampai tubuh Vian diam membisu karena ulahnya.

"Dulu bapak bilang saya ini luar biasa, saya bisa loh melakukannya lagi. Saya jamin bapak akan puas." Tangan dan bibir wanita itu mulai bergerilya di tubuh Vian.

Wanita itu semakin menggila menyentuh tubuh Vian, satu tangannya merangkul leher Vian. Tapi Vian masih saja diam, sampai wanita itu menciumi leher Vian dan sedikit menggigit daun telinganya.

"Bapak tak perlu memberi saya uang, karena saya hanya butuh ini." Satu tangan wanita itu kini mengelus apa yang ada dibalik celana Vian.

Mendapati serangan seperti ini jujur saja Vian suka. Vian menyukai wanita yang agresif dalam hal bercinta.

Sebagai seorang laki-laki yang selalu haus akan sentuhan sexsual tentu saja sentuhan wanita ini sukses membangkitkan jiwa laki lakinya, tapi disisi lain Vian juga sadar jika saat ini ia ingin berubah. Vian ingin berhenti menjamah tubuh wanita yang berbeda setiap harinya karena Vian tahu Lani membenci hal itu.

Tubuh Vian tak merespon ataupun menolak setiap sentuhan wanita ini, ia hanya bisa memejamkan mata untuk meyakinkan diri apa pilihan yang harus ia ambil sekarang. Pulang dengan gairah yang tak tersalurkan atau tetap disini untuk kembali berpetualangan.