Hari sedang cerah. Awan berarak sesekali. Sisanya hanya langit biru dengan hembusan angin. Aku berjalan menuju salah satu restoran yang menyediakan makanan khas Indonesia. Seperti nasi goreng, sate,mie kering atau bahkan nasi kuning yang tersedia pada pagi hari.
''Kau datang bekerja hari ini?'' tanya Parman, salah satu pegawai restoran itu. Ia menghampiriku yang baru akan masuk ke dalam.
Aku mengangguk. ''Semester baru telah dimulai. Aku hanya harus menjadi mahasiswi selama sabtu-minggu. Melelahkan bukan?''
Parman terkekeh menanggapi. ''Kau mau pesan apa? Seperti biasanya?''
''Tidak, hari ini aku mau makan soto ayam sama es teh manis,'' jawabku menggeleng.
Aku biasanya akan memesan nasi goreng sebagai makan siangku. Tentu saja dengan jenis yang berbeda. Mulai nasi goreng merah, nasi goreng ayam kecap atau nasi goreng daging kambing. Tetapi aku selalu memilih tempat duduk pada lantai dua dekat bagian luar balkon. Mungkin sebagian orang akan merasa panas dan lebih memilih bagian dalam yang memiliki pendingin ruangan.
Namun bagiku tidak terlalu panas. Angin sepoi-sepoi selalu menerpa wajahku. Membuat rambut panjangku yang tidak kuikat menjadi terurai. Aku mengeluarkan selembar kertas dari saku kemeja yang kupakai. Kartu Studi Mahasiswa, namun ini untuk jenjang pascasarjana.
Aku bekerja di salah satu kantor notaris di Kota Jakarta. Setelah bekerja selama tiga tahun, Mbak Kania yang merupakan anak rekan kerja Ayahku--Zafran, adalah seorang notaris, memberiku izin untuk melanjutkan pendidikan. Bukan pendidikan profesi notaris, tetapi magister hukum melanjutkan sarjana hukum yang sudah kutempuh kurang lebih empat tahun.
''Ini makannya sudah siap,'' ujar Parman datang membawakan soto ayam dan es teh manis di atas nampan. Ia kemudian memindahkannya di atas meja.
Tidak langsung pergi Parman memilih duduk di depanku. ''Katanya mau fokus kerja?'' tanyanya mengingatkanku akan percakapanku dengannya tempo hari.
Parman berusia dua puluh tahun. Ia bekerja paru waktu sambil berusaha menyelesaikan pendidikan sarjananya. Aku mengenalnya sudah dua tahun. Kami menjadi dekat, karena seringnya aku berkunjung ke restoran ini dan ia yang selalu menyambutku dengan senang hati.
''Aku hanya ingin mengambil kesempatan. Siapa tahu besok aku menikah dan tidak sempat lagi karena harus mengurus anak,'' jawabku setengah bercanda.
Parman tertawa mendengarku. ''Bagaimana bisa menikah, selama dua tahun bolak-balik ke sini. Mbak Bella selalu datang sendiri kalau tidak sama Mas Tama atau Mbak Kania.'' Ia beranjak berdiri setelah menyinggung yang selalu makan siang sendiri atau tidak bersama rekan kerjaku.
Tama adalah pegawai sama sepertiku. Ia berusia dua puluh tiga tahun. Baru setahun bekerja di kantor notaris Mbak Kania.
Ketika Parman akan kembali bekerja, terdengar suara mobil berhenti di depan restoran. Suara pintu tertutup keras membuat Parman mendekati pagar balkon lalu ikut menunduk sama seperti yang sekarang kulakukan.
Aku bisa melihat seorang laki-laki memakai setelan jas hitam keluar setelah laki-laki lainnya membukakan pintu yang kemungkinan supirnya. Mataku terbelalak begitu melihat laki-laki yang memakai jas hitam itu. Dia sangat tinggi dengan struktur muka yang tegas. Alisnya tebal dengan sedikit janggut tipis. Sayang aku tidak bisa melihat matanya, karena tertutupi kacamata hitam. Tetapi tanpa melihat matanya, sudah jelas bahwa laki-laki itu tampan.
Aku menoleh menatap Parman. ''Kenapa kau seperti terkejut?'' tanyaku heran. Bahkan raut wajahnya lebih mengagumi daripada aku yang seorang wanita.
Parman beralih menatapku. ''Kau tidak melihat jenis mobilnya? Itu jelas impor dan memiliki harga miliaran rupiah,'' ujarnya heboh.
Aku mengendikkan bahu. ''Bagaimana aku tahu, ada banyak jenis mobil di Indonesia. Apalagi Jakarta yang mungkin setiap satu kilometer macetnya belum tentu memiliki tipe mobil yang sama.''
Tanpa menjawab perkataanku. Parman setelah berlari menuju lantai bawah. Mungkin untuk melihat jelas laki-laki berjas hitam itu atau mobil yang dikaguminya.
Aku mengangkat sendok dan garpu, lalu menikmati soto ayam yang mulai mendingin. Baru beberapa suap, mataku kembali teralihkan. Laki-laki bejas hitam itu berjalan melewati meja per meja dan duduk tepat di meja bagian depan dari tempatku sekarang.
Laki-laki itu melepas kacamatanya. Aku yang terperangah melihat wajah tampannya, tanpa sadar mulutku sedikit terbuka. Segera saja setelah menyadari hal bodoh tersebut, aku meminum es tehku dengan terburu-buru sambil menatap jalan yang terlihat lengang.
Aku kembali melihat ke depan dan mataku bertemu pandangan dengan laki-laki itu. Kuperhatikan dia duduk sendiri, tanpa adanya laki-laki yang membukakan pintu untuknya tadi.
Jujur saja, aku tidak bisa membohongi naluriku bahwa aku terkesima melihat ketampanan dan proporsional tinggi serta bentuk luar tubuh laki-laki itu tercetak jelas dari kemeja yang dipakainya setelah melepas jas. Namun bukan berarti aku langsung jatuh cinta. Ini hanya reaksi manusiawi.
Bicara tentang cinta, aku menarik napas dalam. Erik, dia adalah orang selama lima tahun ini menghuni isi hatiku. Kami bertemu sebagai senior dan junior di kampus. Kami jadian setelah dia menyatakan cinta, tepat di malam inagurasi angkatan junior fakultasku. Erik sendiri adalah mahasiswa teknik sipil.
Semuanya terasa manis selama dua tahun. Dan pada suatu hari, Erik mulai susah dihubungi. Setelah dia lulus, aku tidak pernah melihatnya lagi. Bisa dibayangkan bagaimana aku menghadapi semester-semester akhir dengan kepergian Erik tanpa kalimat apapun. Bahkan jika itu adalah kalimat perpisahan untuk hubungan kami.
Bodohnya lagi aku masih mengharapkannya!
Aku tidak sengaja melihat jam tanganku. Sudah hampir pukul dua siang. Segera kuhabiskan sisa makan siangku lalu beranjak pergi menuju kantor notaris kembali.
''Mbak Kania mana?'' tanyaku pada Tama yang sibuk menonton anime favoritnya, one piece.
Tama mendongak beralih dari layar komputer. ''Katanya ada acara reuni teman kuliah.''
''Apa dia menitipkan pekerjaan kepadaku?'' tanyaku lagi. Aku kembali duduk di meja berdampingan dengan meja kerja Tama.
Mbak Kania sendiri memiliki ruang tersendiri.
''Tidak ada tuh. Bahkan dia bilang, pulang saja kalau mau,'' ujar Tama membuatku tersenyum senang.
Tanpa mau membuang waktu, aku segera membereskan meja kerjaku lalu mengambil tas tanganku. ''Kau sendiri kenapa tinggal?'' tanyaku menautkan alis.
''Aku mau pakai jaringan wifi kantor buat unduh episode terbaru one piece,'' jawab Tama sambil cengengesan.
Aku mendengus mendengar perkataannya. Namun memilih diam berlalu keluar dari kantor. Aku memilih pulang ke rumah menggunakan jasa taksi online.
Aku tidak tinggal bersama orangtuaku. Mereka tinggal di Bandung bersama kakak perempuanku yang bernama Tiara Mahadewi Sari. Seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta di sana. Aku tinggal di rumah saudara ibuku, Bibi Amira yang sedang berada di Belanda, menemani suaminya mengambil gelar doktoral. Bibi Amira mempunyai anak perempuan tunggal yang masih kuliah di Singapura, sehingga aku hanya tinggal sendiri di rumahnya.
Aku telah tinggal di rumah Bibi Amira sejak masih kuliah sehingga sudah tidak merasa sungkan lagi.
Aku mengganti pakaianku menjadi kaus oblong dan celana olahraga begitu sampai di rumah. Baru saja aku akan melakukan sesi malas-malasan di atas sofa sambil menonton televisi. Bel pintu depan berbunyi dengan intensitas tekanan bel yang tinggi. Segera aku menuju pintu depan sambil menggerutu dalam hati.
Namun begitu pintu depan, aku terkejut. Sangat terkejut, sampai kakiku terasa lemas. Aku bahkan mundur selangkah seolah belum percaya dengan apa yang kulihat.
Erik kembali. Kekasihku yang pergi tanpa kabar selama tiga tahun, kembali dengan sebuah senyuman lebar.
***