Aku tersenyum membaca pesan Defin. Dia mengabarkan bahwa akan melakukan dekor ulang restoran miliknya setelah aku kembali dari Palembang. Aku sebenarnya merasa sedikit geer seolah Defin rela menunda rekor ulang tersebut, karena aku punya urusan. Biarlah imajinasi menjadi putri disney menari di kepalaku.
Mbak Kania pulang dunia hari lebih cepat dari jadwal semula yang seharusya hari senin menjadi hari jumat sore. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara, setelah itu kami berdua makan malam bersama.
Bukan kafe atau restoran, tetapi tempat makanan yang mengadakan festival yang di adkan setiap satu tahun sekali.
''Harusnya kau datang dengan pacar, bukan denganku,'' ujar Mbak Kania datang membawa sepiring batagor dan jus jeruk.
Aku sendiri sudah memesan empek-empek dan es lemon tea. ''Maunya sih gitu Mbak, cuma Bella masih sendiri.''
''Waktu Om Zafran telepon, dia bilang katanya Mbak Tiara mau nikah?'' tanya Mbak Kania membuatku tersenyum masam.
''Iya, makanya aku pulang ke Palembang.''
''Oh gitu, sudah tahu calonnya?''
''Aku ... sudah ketemu. Mbak Tiara sempat datang ke Jakarta dan kenalin gitu.''
''Gagah orangnya?'' tanya Mbak Kania terlihat tertarik mendengar cerita selanjutnya.
Aku hanya bisa menarik lalu menghela napas. Menjawab pertanyaan demi pertanyaan Mbak Kania soal calon suami Mbak Tiara yang notabene-nya adalah mantan pacarku. Tetapi aku tidak bilang kalau Erik adalah mantan pacarku. Kurasa biarlah kusimpan sendiri saja. Lagipula teman kuliahku yang tahu soal Erik banyak yang di luar kota dan kami hanya bertemu saat reuni dua tahun lalu.
''Gimana sama Defin?'' tanya Mbak Kania beralih tentang Defin.
Aku mengernyit, bingung akan pertanyaan yang dilontarkan Mbak Kania. ''Baik, dia bakal dekor ulang setelah aku balik dari Palembang,'' ujarku mencoba menjawab pertanyaannya sebagaimana kupahami.
''Bukan itu Bel, kau dan Defin gimana hubungannya?'''
''Gimana apanya Mbak? Kami cuma ... sebatas rekan kerja, walau aku belum membantunya,'' balasku ikut bingung status antara diriku dengan Defin.
Dibilang teman juga tidak, rekan kerja juga belum ada kerja sama, apalagi sepasang kekasih.
''Kau ini ya Bella. Usiamu sudah matang masa tidak mengerti,'' kata Mbak Kania kemudian mengigit bibirnya. Seolah greget melihat reaksiku.
''Apa sih Mbak, bener deh. Lagipula Defin itu terlalu apa ya, bukan level aku,'' balasku jujur.
''Kenapa merendah gitu sih, sepenglihatan aku ya, Defin ini kayak tertarik sama kau,'' ujar Mbak Kania membuatku tersipu malu paahal belum tentu itu kebenarannya.
''Dia bahkan minta secara langsung sama aku buat kau bisa membantunya mendekor ulang restoran itu,'' lanjut Mbak Kania kini membuat imajinasiku tambah membumbung tinggi.
''Jangan buat aku berharap Mbak, lagipula aku masih ... menyukai orang lain.''
Ucapan terakhirku membuat Mbak Kania mengalihkan pembicaraan lain tentang klien-klien yang datang. Aku pun bercerita, terutama tentang klien bernama Sabas. Tidak terasa hari semakin larut, aku dan Mbak Kania pulang terpisah dengan taksi online masing-masing.
Setelah menadi dan berganti pakaian, aku kemudian bersiap untuk tidur. Tetapi ketika aku akan meletakkan ponselku untuk diisi baterainya, ponsel itu berbunyi dan menampilkan nama Erik. Aku menarik napas sebelum mengangkat panggilannya.
''Halo.''
''Sudah tidur ya tadi?'' tanyanya lembut.
''Belum, baru mau. Ada apa?''
Aku mencoba mengatur napasku agar tidak terdengar antusias. Padahal aku penasaran kenapa dia menelepon malam-malam begini.
''Tidak, aku hanya teringat denganmu.''
''Teringat denganku setelah menelepon Mbak Tiara?''
''Aku belum pernah berkomunikasi dengannya hari ini. Aku teringat denganmu ketika datang ke festival dekat kantormu.''
Festival yang kudatangi bersama Mbak Kania.
''Aku mendengar lagu yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Milik Banda Neira bukan?'' ujar Erik membuat ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu.
Aku dan Erik yang dulu resmi pacaran kemudian pada malam inagurasi junior fakultasku, aku disuruh oleh ketua BEM Fakultas Hukum saat itu agar naik bernyanyi. Grogi dan malu kurasakan kemudian hilang ketika Erik yang kebetulan datang menonton naik ke atas panggung sambil membawa gitar. Kami berdua pun menyanyikan lagu milik Banda Neira tersebut.
Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menghapus kenangan yang muncul kembali. Manyadarkan logikaku agar tidak terbawa perasaan.
''Banda Neira saja sudah bubar, sama seperti kita,'' balasku dingin.
''Beri aku kesempatan Bella.''
Aku menelan ludah mendengar perkataan Erik. Mataku terpejam smabil menarik napas.
''Kau tahu itu tidak mungkin. Sebentar lagi kau akan menjadi Kakak Iparku dan ... suami dari wanita bernama Tiara.''
''Kalau begitu temui aku besok.''
''Untuk apa lagi Erik?''
''Untuk membuktikan apakah kau benar-benar sudah melepasku untuk menjadi milik orang lain.''
Aku tertunduk dengan posisi terduduk di atas tepar tidur. Aku mengusap wajah dengan sebelah tangan dan sebelahnya lagi memegang ponsel yang tertempel di telinga. Aku gusar dan merasa hilang arah.
''Baiklah, mulai dari kau menjemputku di rumah. Sama seperti kau menjemputku dulu di sini,'' balasku lalu mengigit bawahku.
Aku bertekad untuk mengakhiri segalanya besok.
Perasaanku dan hubunganku dengan Erik.
''Terima kasih, selamat malam Bella.''
Jangan pikir pejam bisa membuatku bisa tertidur. Aku yang tadinya merasa kelelahan bekerja mulai pagi lalu sore menjemput Mbak Kania dan malam berjalan-jalan di festival. Kini tubuhku yang lelah, tetapi pikiranku masih terjaga akan pertemuan yang akan terjadi besok.
Suara alarm ponselku berbunyi. Aku segera terbangun, bukan karena suaranya, tetapi pikiran alam sadarku mengingatkan bahwa hari ini semua keputusan dan ketetapan akan kubuat.
Aku memutuskan untuk lari pagi terlebih dahulu. Setidaknya aku harus tetap menjaga kebugaran tubuhku selagi mentalku sedang kacau. Aku mengelilingi taman komplek perumahan yang selalu ramai setiap akhir pekan. Keringat yang bercucuran membuat kerongkonganku terasa kering sehingga aku membuka kulkas begitu sampai di rumah dan mengambil air minum.
Aku menatap jam dinding yang sudah menampilakn pukul sembilan pagi lewat sepuluh menit. Aku segera menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhku. Setelah selesai dan berpakaian, aku menyadari perutku masih kosong langsung memakan buah pisang, apel dan anggur.
Bel pintu depan berbunyi. Aku menarik napas sebelum membukanya. Mataku langsung bernostalgia. Erik datang berpakaian ala sewaktu amsih mahasiswa.
''Kau sudah siap?'' tanya Erik membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk pelan kemudian mengambil tasku dan menutup serta mengunci pintu.
Erik mengulurkan tangannya begitu aku berbalik. Aku menatap tangan yang kuperhatikan tidak ada cincin tunangan.
''Aku sengaja tidak memakainya dan akan memutuskan, apakah akan kembali memakainya atau tidak setelah hari ini,'' ujar Erik seperti sadar isi tatapan dan pikiranku.
Tanganku perlahan menerima uluran tangan Erik. Begitu telapak tangan kami bersentuhan, aku tahu bahwa mungkin keputusanku untuk mengakhiri semuanya bersama Erik akan padam.
***