Langkah kakiku terasa kurang seimbang saat bergerak bergantian untuk berjalan kembali menuju apartemen. Belum lagi kepalaku yang terasa berat untuk ditegakkan. Tetapi aku menepuk kedua pipiku agar tetap bisa sadar.
Begitu berada di gedung apartemen, aku menuju lift dengan langkah cepat agar tidak merasa lemas dan bisa berakhir tidak sadarkan diri. Aku bertopang pada dinding dalam lift sambil mengatur napasku agar tetap terjaga.
Pintu lift terbuka. Tanpa menunggu lagi aku segera menuju apartemen Erik. Aku memencet bel yang tidak lama kemudian Erik muncul dengan senyuman lebar.
''Kau terlihat berantakan Bella,'' katanya tersenyum tipis. Lebih tepatnya tersenyum nakal.
Aku tersenyum membalasnya, mataku semakin berat saja.
Erik merangkulku masuk ke dalam apartemen. Lampu belum dinyalakannya, sehingga suasana remang terasa begitu intens. Hanya ada kilatan cahaya dari lampu gedung di sebelah atau pancaran lampu kendaraan di jalan sebagai penerangan.
Aku dan Erik saling menatap satu sama lain sekarang. Namun perlahan wajah Erik menunduk. Hembusan napasnya bisa aku rasakan dan selanjutnya bibirnya mengulum bibirku.
Aku menutup mataku seraya mengalunkan tanganku pada lehernya. Kurasa tangan Erik yang tadinya berada pada pinggangku beralih merayap ke atas punggungku dan mendekapnya.
Erik yang semula bermain halus kini lidahnya berusaha masuk menguasai bibirku, namun sebelum itu terjadi terdengar suara ponsel. Bukan nada dering milikku. Berarti itu ponsel milik Erik.
Erik melepas pangutannya lalu menatapku sebentar. Ia meraih ponsel dalam saku celananya.
Aku bisa membaca nama seseorang yang kini memanggil video call terhadap Erik. Yaitu Mbak Tiara. Napasku tertahan, namun aku beralih menatap Erik yang juga menatapku.
Sejujurnya aku tidak tahu apa yang ada pikiran atau hatiku saat ini. Apakah menginginkan Erik menjawab panggilan Mbak Tiara atau mengabaikannya yang kemudian melanjutkan kegiatan kami.
Namun sebelum aku bersuara, Erik telah beranjak pergi lalu ketika tubuhnya sudah berada di luar pintu apartemen, aku berjalan menyusulnya.
Aku menatap punggung Erik yang sudah menjawab panggilan Mbak Tiara lalu tubuhnya berbelok menuju arah lift. Aku menarik napas dalam, masuk kembali ke apartemen lalu mengambil tasku yang tercecer di lantai. Berniat pulang ke rumah.
Ketika aku keluar lagi, mataku langsung bertemu dengan mata Defin yang kelihatannya baru saja juga keluar dari apatemen. Sejak kapan dia kembali dari klub?
Jaket yang tadi dipakai oleh Defin telah ditanggalkannya. Menyisakan kaus oblong hitam yang dipakainya. Dalam kaus oblong tersebut jelas tercetak dada bidang milik Defin.
Bohong jika tubuhku tidak terasa terbakar melihat itu semua. Apalagi pengaruh alkohol masih menyelimutiku. Perlahan aku melangkah mendekatinya.
''Bella?'' ujar Defin menyipitkan matanya. Meski begitu aku bisa melihat matanya terasa ingin menelanjangiku. Atau ini hanya perasaanku saja?
Napasku berburu. Aku kehilangan pikiran, mataku terpejam lalu mencium bibir Defin yang tipis. Tak ada balasan atau penolakan. Aku berhenti, namun wajahku tak kujauhkan. Tetap berada dekat dengan wajahnya sehingga hembusan napas kami bersatu sebelum melebur ke udara.
Tit.
Suara pintu apartemen terbuka. Sekilas aku bisa melihat tangan Defin yang ditariknya dari papan tombol untuk memasukkan kata sandi. Namun sebelum aku kembali menatapnya, Defin telah menarik tanganku masuk ke dalam apartemennya.
Tidak seperti apartemen Erik yang sebelumnya lampu mati. Milik Defin lampunya masihlah menyala. Meski begitu, suasana remang tetap terasa. Alih-alih memiliki cahaya yang terang, lampu dalam apartemen Defin cenderung lembut dan hangat.
Sebelum aku sempat menjelajahi apartemen dengan kedua bola mataku. Defin menarik tengkukku lalu menciumku tanpa aba-aba apapun. Mataku membulat menatap matanya dalam posisi kepala telah memiring.
Defin menciumku dengan intens, tanpa berniat melepasnya sejenak untuk membuatku bisa mengambil napas. Pada saat Defin akan membuka mulutku dengan mengigit bibir bawahku dan dengan lidahnya yang lihai. Aku dengan sekuat tenaga mendorongnya. Bagaimana dia bisa seberani dan ... harus kuakui sepintar itu dalam menciumku.
Meskipun ciuman Defin telah lepas. Tetapi tubuhnya masih berada dekat di hadapanku. Aku mendongak lalu mendapatinya menatapku lekat tanpa mengatakan apapun.
Aku menyisir rambutku ke belakang dengan jari tanganku. ''Defin aku--''
Ucapanku terhenti begitu Defin menempelkan jari telunjuknya dibibirku. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan kepala menunduk mendekati wajahku.
''Kau yang menciumku pertama kali, kau melakukan kesalahan fatal,'' kata Defin dengan nada berbisik.
Aku menahan napas mendengarnya. Namun sebelum aku membalas ucapannya. Tanganku ditarik oleh Defin lalu mendorongku ke atas tempat tidrunya, sehingga aku terduduk.
Pengaruh alkohol sungguh membuatku tidak bisa mengendalikan diri. Ini benar-benar kacau. Harusnya aku tidak diam membisu seperti sekarang. Sial.
Defin menaikkan kaus yang dipakainya, membuat tubuh bagian atasnya tak tertutupi apapun lagi. Mataku berbelalak seiring dengan dadaku yang terasa membuncah. Aliran darah dalam nadiku bekerja dengan baik dengan pemandangan di depanku saat ini.
Defin tersenyum tipis menatapku. Sebelah tangannya lalu mengeluarkan sesuatu yang kukenali. Permen? Bukan permen rasa cokelat atau vanila, tetapi permen yang berupa butiran mirip pil dengan rasa mint.
Dengan sekali lemparan, beberapa butir permen tersebut masuk ke mulut Defin. Ia tidak mengemutnya, langsung mengunyahnya. Aku menelan ludah melihat aksinya.
Perlahan Defin mulai mendekatiku, lalu dengan sekali hentakan aku dibuatnya terlentang di atas tempat tidurnya. Napasku tertahan, tanpa melepas kontak dengan matanya. Ini benar-benar gila.
Defin menindihku! Ketika aku akan bangkit, kedua tangannya menahanku dengan erat. Kepalanya semakin menunduk tanpa melepas matanya.
Aku yang sudah tidak berdaya dengan jarak dekat seperti ini perlahan menutup mataku, tepat saat itu Defin meniup wajahku secara pelan. Kulit pada wajahku seolah mendapat angin segar ditambah efek mint yang menyatu dengan napasnya. Sungguh membuatku terlena.
Beberapa detik kemudian, ketika mataku sepenuhnya terpejam kurasakan bibirnya mulai menciumku. Perlahan tangan yang menahanku mulai longgar dan aku tidak bergerak. Lebih tepatnya sedikit menggeliat dengan ciuman yang dilakukan oleh Defin.
Kubalas pangutannya dan aku tahu, selanjutnya apa yang akan terjadi tidak akan bisa kucegah lagi.
Dan malam itu pula, untuk pertama kalinya aku bercinta dengan seorang lelaki.
*
Kepalaku masih terasa berat. Meski begitu aku tetap berusaha memulihkan kesadaranku. Mataku perlahan terbuka dan mulai memerhatikan sekitarku.
Seberkas ingatan semalam samar-samar terputar di otakku. Aku menutup mulut dengan sebelah tanganku. Perlahan aku berbalik dan menemukan Defin berada di sampingku.
Yah Defin dengan napas teratur masih tertidur pulas. Aku pun menyadari bahwa tidak ada sehelai benangpun ditubuhku. Tanpa kutunda lagi aku segera menuju kamar mandinya sambil memakai selimut yang merepotkan setelah memunguti semua pakaianku.
Setelah memakainya secara lengkap, aku melihat ke arah Defin yang masih tertidur. Namun aku segera memalingkan wajah, mnyadari Defin juga tidak memakai apapun pada tubuhnya.
Namun aku menarik napas lega, setidaknya aku tidak perlu bertemu dengannya dalam keadaan sadar sekarang. Ketika aku akan keluar dari apartemennya, sebuah foto di atas meja menarik perhatianku.
Foto di mana Defin bersama seorang wanita, tetapi anehnya bagian wajah wanita tersebut robek, bukan seperti habis terbakar. Tetapi sebelum aku memusingkan hal tersebut, aku segera keluar dari apartemen Defin.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, aku mulai mengingat awal mula bagaimana aku bisa tidur dengan Defin dan jika memikirkannya kembali, rasanya wajahku terbakar. Tidak seluruh tubuhku terasa panas.
Aku tidak percaya bahwa diusiaku ke dua puluh lima tahun, aku akan mengalami cinta satu malam, bahkan itu tidak bisa disebut cinta. Lebih tepatnya akibat alkohol semalam.
Aku merutuki diriku yang kebablasan menegak minuman beralkohol yang menyebabkan petaka tadi malam. Jika aku melakukannya dengan orang asing di klub mungkin aku akan mencoba--tidak setidaknya berusaha melupakan kejadian tersebut.
Namun beda halnya dengan ini. Aku mengenal Defin di mana aku akan membantu mendekor ulang restorannya. Setelah ini, apakah aku masih bisa bekerja sama dengannya?
Bayangan Erik pun muncul. Aku rasa emosi tidak beraturan ketika dia menerima telepon dari Mbak Tiara turut menjadi salah satu penyebab kejadian semalam.
Aku hilang kendali karena sikap Erik, pada saat yang tepat Defin menarikku ke pelukannya.
***