Aku terdiam dalam riuh tepuk tangan dan decakan kagum penonton yang menonton pertunjukkan kembang api. Aku sendiri dalam keramaian suka cita menyaksikan ratusan cahaya berwarna-warni menghiasi langit malam. Aku ... kakiku mulai bergerak untuk mencari cela agar keluar dari himpitan orang-orang yang berda di tepi pantai.
Setelah berada di pintu keluar festival, aku langsung melihat tulisan yang terdapat dalam kertas yang diberikan oleh Erik. Di sana tertulis sebuah alamat yang kuketahui adalah kawasan apartemen. Aku segera berlari kecil ke tepi jalan lalu menunggu taksi.
Begitu mendapat taksi, aku langsung menyebutkan alamat yang diberikan oleh Erik. Aku mengigit bibir bawahku, mataku melirik sekitaran dengan dada bergemuruh. Tidak kupungkiri bayangan Mbak Tiara dalam kepalaku, bagaimana ia tersenyum lebar dan begitu bahagia dalam balutan gaun pernikahannya nanti. Namun bayangan Erik juga selalu muncul.
''Mbak sudah sampai,'' ujar supir taksi menghentikan laju kendaraan. Aku tersadar dari lamunanku dan langsung membayar ongkos taksi. Kemudian aku mulai keluar dari taksi dan berjalan menuju gedung apartemen.
Lobi gedung apartemen Erik lumayan sepi, hanya ada beberapa orang lalu-lalang keluar masuk. Tanpa mau membuang waktu, aku segera menuju lift dan menekan tombol lantai sepuluh. Begitu sampai di lantai apartemen milik Erik, kakiku langsung menelusuri lorong sambil membaca setiap angka, mencari nomor 43.
Akhirnya aku menemukan apartemen Erik. Segera aku menekan bel, namun setelah tiga kali tidak ada jawaban. Aku mengeluarkan ponsel dalam tas dan langsung menghubungi lelaki itu.
''Bella?''
Erik mengangkat teleponku dengan cepat, namun suaranya begitu keras bahkan ketika hanya menyerukan namaku.
''Kau di mana? Aku sekarang ada di depan apartemen sesuai yang tertulis pada kertas yang kau berikan,'' ujar dengan nada meninggi, menyadari bahwa di seberang sana, tempat Erik berada cukup berisik. Suara musik jelas terdengar.
''Aku sekarang ada di luar,'' ujar Erik membuat mataku membulat. Apa dia sedang bercanda denganku? Memberiku alamat lalu pergi begitu saja?
''Apa?''
''Bella, pergi lah ke bagian depan gedung apartemen. Ada sebuah bar, aku ada di sana.''
Tut.
Panggilan diputus sepihak oleh Erik membuat emosiku membuncah. Aku rasanya ingin langsung pulang saja, tetapi mengingat aku sudah sampai jauh-jauh ke sini maka setidaknya ya ... setidaknya aku ingin bertemu Erik terlebih dahulu.
Ketika kakiku akan beranjak meninggalkan bagian depan apartemen Erik yang kuketahui adalah milik temannya, tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Pintu dari apartemen di depan milik teman Erik. Aku menoleh sebentar dan terperanjat.
''Defin,'' gumamku tanpa sadar.
Defin menatapku terkejut. Matanya menyipit lalu berdiri di hadapanku. ''Apa yang kau lakukan di sini?''
''Aku ... aku ingin menemui seorang teman,'' ujarku tergagap. Ini sama sekali di luar bayanganku bahwa akan bertemu dengan Defin di tempat ini.
Defin menghela napas pendek. Ia memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. ''Pria? Setahuku yang tinggal di situ adalah seorang pria, bekerja untuk urusan proyek pembangunan dan seputaran itu,''katanya membuat aku ikut terkejut dengan fakta bahwa dia mengetahui soal Erik.
''Apa kalian saling mengenal?'' tanyaku pelan menatap lekat Defin.
Defin menggeleng. ''Kami hanya pernah saling bertegur sapa dan beberapa kali berjumpa, sebatas melempar senyum sopan.''
Ucapan Defin membuatku menghela napas lega. ''Baiklah, aku harus pergi sekarang,'' balasku mulai beranjak pergi. Namun kurasakan Defin menarik lenganku sehingga aku berhenti berjalan.
''Mau ke mana?'' tanya Defin membuatku memutar bola mata. Apa urusannya?
''ke bar depan,'' jawabku jujur.
Defin terdiam sejenak. Ia kemudian menarik tanganku menuju lift, membuat aku harus menyamakan langkah kaki agar aku tidak tersandung konyol.
''Eh mau bawa aku ke mana?''
''Kita pergi bersama.''
''Apa!''
Aku awalnya ingin menolak mentah-mentah Defin untuk pergi bersama. Namun mataku beralih ke bangunan yang Erik katanya sebuah bar. Ini jelas klub malam! Pikiranku kacau. Aku mencoba melihat sekitar, siapa tahu memang ada bar lainnya. Namun nihil, memang hanya ada klub ini.
Aku bukannya tidak pernah ke tempat seperti ini. Sewaktu kuliah aku pernah sekali dua kali ke tempat seperti ini untuk melepas kepenatan, apalagi salah satu teman jurusannya bekerja paruh waktu sebagai bartender.
''Kau yakin akan masuk?'' tanya Defin melirikku sekilas.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, berjalan mendahuluinya lalu masuk ke dalam klub setelah memperlihatkan kartu identitasku pada penjaga untuk memastikan bahwa aku bukan anak di bawah umur. Begitu berada di dalam klub, mataku langsung mencari sosok Erik.
Namanya juga klub malam. Banyak orang, berisik dan aroma minuman alkohol begitu menyengat. Aku kembali mengeluarkan ponselku lalu menghubungi nomor Erik. Namun baru ada jawaban setelah mengulangi kedua kali panggilan.
''Oh Bella, kau sudah di dalam?''
''Iya, aku dekat bartender.''
''Baiklah, aku segera ke sana.''
''Nona minuman?'' tawar seorang bartender menawariku.
Aku sebenarnya sangat haus setelah dari festival langsung menuju apartemen dan berakhir dalam klub ini. Tetapi tidak mungkin aku meminta air mineral sebagai minuman. Tanpa pikir panjang, aku langsung menegak gelas kecil berisi vodka yang ternyata mengandung alkohol yang begitu kuat terasa.
''Bella,'' ujar Erik datang sambil tersenyum.
Melihat lekungan bibir atas Erik membuat rasa kesalku kepadanya seolah sirna begitu saja. Ia mendekat ke arahku, kedua tangannya memegang pinggangku.
Daguku ditegakkan ke atas agar menatapnya. Suara musik dan lampu disko membuat suasana yang seharusnya ramai, entah mengapa terasa sepi dan damai begitu aku menatap manik mata Erik.
Erik mendekatkan wajahnya dan langsung mencium bibirku dengan lembut. Ia menghentikan ciumannya setelah setengah menit, lalu memelukku erat.
''Aku mencintaimu Bella,'' ujarnya berbisik tepat di telingaku.
Buluku meremang merasakan hembusan napasnya. Aku melepas pelukannya dan memegang kedua wajahnya, begitu aku memiringkan wajahku untuk menciumnya, tiba-tiba dapat kurasakan dalam saku celana Erik ada sesuatu yang bergetar.
Ponsel Erik berdering. Aku melepas tanganku dan mundur selangkah begitu Erik mencoba meraih ponselnya.
''Halo.''
''Oh baiklah, aku segera ke sana.''
''Iya, baik.''
Erik menghela napas sebentar lalu mendekat kepadaku. ''Aku harus kembali ke ruangan di mana tadi aku datangi ketika masuk ke sini.''
AKu mengernyit bingung. ''Maksudnya?''
''Atasan tempatku bekerja menyewa sebuah ruangan untuk beberapa rekan bisnisnya dan aku perlu hadir, karena terlibat dalam proyek besar yang sedang dia bangun,'' jelas Erik memegang pipiku. Ibu jarinya mengelus permukaan kulit wajahku.
''Kau tunggulah aku di apartemenku, kata sandinya 8923,'' ujar Erik mencium keningku lalu pergi dan hilang dalam karamaian klub yang semakin banyak pengunjung.
Aku menarik napas dalam. Aku mengerti bagaimana seorang Erik yang selalu ingin mencapai tujuannya dalam berbagai hal. Seperti dulu ketika dirinya menjadi salah satu ketua organisasi mahasiswa. Bukan hal yang aneh sekarang melakukan pertemuan di tempat seperti ini, sebuah klub malam.
Aku sering mendengar cerita Mbak Kania soal beberapa teman dan senior kampusnya sekarang lebih suka melakukan pertemuan kerja di tempat seperti bar atau klub dengan ruangan khusus. Selain jauh dari jangkauan pengawasan pesaing juga sekaligus sebagai hiburan.
Ya hiburan ... selain obrolan seputar bisnis dan minuman alkohol, hiburan macam apa yang akan Erik dapatkan dalam ruangan tersebut.
Pikiranku melayang ke mana-mana memikirkan apa yang dilakukan dalam ruangan tertutup bersama atasannya. Aku berbalik badan berniat untuk menuruti perkataan Erik agar menunggu di apartemen saja. Namun mataku menemukan Defin sedang duduk di depan sebuah meja memanjang dengan kursi yang tinggi. Aku sempat melupakan lelaki yang datang bersamaku tadi.
Defin menatapku lekat sambil menjejalkan gelas berisi minuman keras ke dalam mulutnya. Aku mengigit bibir bawahku lalu melangkah mendekat padanya.
Aku duduk di depannya. Kebetulan meja kami hanya ada dua atau tiga orang. Pengunjung yang lain terlihat mulai memadati depan panggung di mana DJ memainkan musik.
''Kau daritadi di sini?'' tanyaku menatap Defin.
Defin mengangguk kecil lalu menyodorkan gelas dan sebotol bir. Matanya tetap menatapku ketika tangannya mendorong kedua benda tersebut.
Aku menuangkan bir tersebut ke dalam gelas lalu meminumnya dengan satu kali tegak saja. Aku kemudian memanggil pelayan untuk memesan jenis minuman lainnya.
''Jadi dia tadi kekasihmu?'' tanya Defin kembali minum.
Aku mendengus. ''Apa itu urusanmu?''
''Kalian berciuman dengan mesra, seharusnya tidak kutanyakan lagi,'' ujar Defin lalu tersenyum tipis. Tetapi entah mengapa matanya menyorotku tajam.
Pelayan membawakanku tequila yang langsung kunikmati ke dalam mulutku. Wajahku mulai memanas membayangkan mata Defin yang tadi melihatku dan Erik berciuman.
''Kau sering datang ke mari?'' tanyaku mengingat bahwa Defin tinggal berselahan dengan Erik.
''Tidak, ini terlalu ramai buatku,'' jawab Defin lalu membuatku tertawa.
''Terus untuk apa kau ke sini?''
''Menemanimu,'' kata Defin lalu memiringkan kepalanya sedikit sebelum kembali menegak minumannya.
Aku tersenyum mengangkat kedua alisku. ''Wow, itu sangat baik. Maksudku ... kita bahkan belum bekerja sama dan kau rela melakukannya.''
Kepalaku mulai pusing. Namun bukannya berhenti, aku malah kembali menuangkan minuman ke gelasku. Aku menikmati minuman sambil sedikit menggoyangkan kepalaku mengikuti suara musik. Lagu high milik Dua Lipa menambah suasana panas malam ini.
''Erik ...dia adalah mantan pacarku sewaktu kuliah dan kami kembali bertemu,'' ujarku bercerita tiba-tiba. Entah apa yang merasukiku sehingga membeberkan salah satu kisah masa laluku kepada Defin yang baru kukenal beberapa hari yang lalu.
''Dan kau masih mencintainya?'' tanya Defin dengan raut wajah serius.
Aku tertawa. ''Maaf, ini sedikit lucu mendengarmu mengucapkan kata mencintai.''
''Kenapa?'' Raut wajah Defin tidak berubah, membuatku berusaha menyadarkan diri.
''Kau terlalu ... misterius?''
Baru saja Defin akan membuka mulutnya untuk membalas, kemudian ponselku bergetar dalam saku celanaku. Aku segera meraihnya dan mendapati pesan bahwa Erik sudah berada di apartemennya. Mungkin dia tidak melihatku ketika menuju jalan keluar klub.
Aku lupa bahwa seharusnya aku sudah di sana dan menunggunya. Bukan sebaliknya.
''Aku harus kembali Defin,'' ujarku mendongak menatap Defin. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu sebagai tanda bayaran minumanku.
Defin terdiam dan hanya menatapku lekat.
***