Chereads / Pilihan Hati Bella / Chapter 4 - 4. Menjadi Rekan Kerja

Chapter 4 - 4. Menjadi Rekan Kerja

Aku menarik napas dalam, menoleh ke samping. Melihat Mbak Tiara tertidur. Semalam aku memutuskan untuk menginap di kamar hotel Mbak Tiara, mengingat malam sudah larut.

Bayang-bayang Erik menghantuiku. Aku terduduk di atas tempat tidur memegang bagian kaki yang semalam disentuh Erik dengan kakinya berlapis kaus kakiku. Kulirik celah jendela, matahari belum terbit. Namun langit berubah berwarna biru tua samar-samar. Menandakan hari sudah subuh.

Aku bangkit dari tepat tidur. Pelan-pelan tidak mau membangunkan Mbak Tiara. Aku segera mengemasi barangku. Keluar daro kamar hotel diam-diam. Jujur saja aku merasa bersalah membiarkan diriku diam saja atas perlakuan Erik. Namun hati kecilku tidak kuasa menolak.

Aku kembali ke rumah untuk bersiap ke kantor notaris. Aku mengirim pesan kepada Mbak Tiara bahwa 'ada urusan mendadak' sehingga aku tidak sempat berpamitan kepadanya.

''Tumben Kak Bella datang lebih pagi?'' ujar Tama telah duduk di depan meja kerjanya. Sedangkan Mbak Kania belum datang.

Aku mendengus kesal. ''Tapi tidak pernah terlambat juga kan? Maksudku jarang.''

Tama terkekeh. ''Iya, oh ya tadi aku ketemu Parman pas beli nasi kuning. Terus dia bilang restoran tempat dia bekerja bakal pindah pemilik.''

Aku yang sudah duduk di meja kerja menghentikan jariku untuk menekan tombol on pada komputer. ''Dijual gitu?''

Tama mengangguk pelan. ''Tetap jadi restoran. Mungkin bakal ada beberapa perombakan desain.''

''Yang penting masih tempat makan. Jadi aku masih bisa tetap ke sana,'' balasku santai.

Setelah dua puluh menit kemudian Mbak Kania datang ssambil tersenyum bahagia. Biasanya hanya dua hal kenapa senyuman seperti itu tercipta dari bibir Mbak Kania. Pertama, Mas Dimas--suaminya akan pulang dari Medan, Mas Dimas bekerja sebagai jaksa penuntut umum yang ditugaskan di Medan. Kedua, ada klien besar.

Tetapi mengingat hari ini senin maka kemungkinan yang kedua.

''Tama, nanti coba ke bank urus ini, '' ujar Mbak Kania memberikan sebuah dokumen kepada Tama.

''Terus Bella, jangan kemana-mana sampai jam makan siang. Kita ada klien.''

Aku mengangguk semangat. Ada klien besar berarti ada bonus dan makan malam perayaan yang selalu diadakan Mbak Kania.

Selepas Tama meninggalkan kantor, aku hanya menyusun beberapa draft perjanjian lalu terdengar pintu terbuka. Diikuti dengan langkah suara sepatu. Aku mendongak melonjak kaget.

Defin kini berdiri di depan meja kerjaku dengan dua orang laki-laki lainnya. Dia menatapku sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Seperti biasa jas hitam selalu dipakainya.

''Ada yang bisa saya bantu?'' tanyaku hati-hati.

Defin terdiam menatapku. Aku yang mendapat tatapan intens dari seorang pria setampan Defin tentu saja jadi salah tingkah

''Saya mau bertemu dengan notaris Kania,'' ujarnya kemudian seperti baru tersadar dari mimpi.

''Silakan masuk ke ruangan itu,'' tunjukku.

Defin dan dua orang lainnya kemudian masuk ke ruangan Mbak Kania. Aku menarik napas kemudian kembali duduk. Sekitar satu jam kemudian Defin dan dua orang lainnya, termasuk Mbak Kania juga keluar dari ruangan.

''Terima kasih atas kepercayaan anda,'' ujar Mbak Kania menyalami Defin dan kedua orang lainnya.

''Bella,'' seru Mbak Kania beralih berjalan ke mejaku.

''Iya Mbak?''

''Pak Defin adalah orang yang membeli restoran yang biasa kau datangi, dia datang ke mari untuk melegalkan perjanjian jual beli sekaligus balik nama atas tanah dan bangunannya,'' ujar Mbak Kania menjelaskan.

''Aku ingin kau menemaninya melihat-lihat restoran itu,'' lanjut Mbak Kania membuatku terkejut.

''Apa?''

''Ayo ikut ke mobil saya,'' ujar Defin beranjak pergi tanpa mendengar apakah aku setuju atau tidak.

Mbak Kania melempar senyum sebagai tanda agar aku menuruti permintaan Defin. Akhirnya aku keluar dari kantor, menemukan Defin masih berdiri di luar mobil.

Defin membukakan pintu untukku, padahal di sebelahnya ada supir yang yang tempo hari kulihat datang bersamanya ke restoran.

Suasana canggung dan tidak nyaman langsung kurasakan kala duduk bersebelahan dengan Defin. Setelah beberapa meliriknya, tak kusangka ia menatapku secara jelas. Aku merasa terhakimi dan mempunyai utang padanya.

Untung saja jarak kantor dengan restoran tidak jauh sehingga aku tidak perlu berbagi udara lagi dengan Defin di dalam mobilnya.

''Jadi Pak Defin mau--''

''Panggil Defin saja. Aku tidak setua itu Bella,'' potongnya membuatku mengangguk singkat.

Namun bulu kudukku berdiri kala mendengarnya menyebut namaku.

Defin berjalan menuju lantai dua bagian balkon lalu duduk di meja yang selalu kutempati. Apakah dia ingat bahwa kami pernah bertemu, salah, pernah melihat satu sama lain sebelumnya?

''Bella duduklah, kau bukan pegawai atau pengawalku yang harus berdiri,'' ujar Defin menatapku.

Aku bahkan tidak sadar bahwa aku hanya berdiri melihatnya dengan berbagai pikiran yang berkecamuk tentangnya. Aku pun duduk di depannya.

Parman datang membawa daftar menu. Aku melotot kepadanya lalu memberi aba-aba agar tidak melakukannya. Kuasumsikan bahwa Parman tidak tahu bahwa pemilik restoran tempat dia bekerja sudah berganti. Namun Parman hanya menatap bodoh ke arahku lalu memberi daftar menu kepada Defin.

''Aku memesan ice americano dengan waffle cokelat stroberi,'' ujar Defin setelah melihat daftar menu.

''Kau mau apa Bella?'' tanya Defin membuat alisku terangkat. Bagaimana aku tahu kalau dia masih memegang daftar menu.

''Kurasa kau tidak perlu ini.'' Defin mengangkat daftar menu memperlihatkannya padaku. ''Bukankah kau pernah ke sini sebelumnya?''

''Kau ingat hari itu?'' ujarku spontan mencurahkan isi pikiranku itu yang daritadi bersarang di kepalaku.

Defin tersenyum tipis. ''Restoran ini, kampus dan restoran Jepang?''

Aku terkesiap mendengarnya. Defin ingat semua momen di mana kami tidak sengaja bertemu. Ada apa ini?''

''Oh baiklah, aku memesan smooties stroberi saja,'' ujarku menatap Parman yang sudah memberi tatapan ingin bertanya mendengar ucapan Defin.

Setelah Parman pergi. Aku menarik napas dalam lalu kembali melihat ke depan di mana Defin kini mengalihkan pandangannya ke jalan.

''Kurasa kita bertemu sebelumnya secara tidak sengaja,'' uajrku membuka obrolan. Kesunyian hanya akan membuatku mengantuk.

''Entahlah, sebelum bertemu denganmu hari ini. Kukira wujudmu sebelumnya hanyalah halusinasiku saja,'' balas Defin membuat mataku membulat.

''Halusinasi? Semacam khayalan? Hal gaib?'' ujarku merasa bahwa Defin melihatku di tiga tempat sebelumnya sebagai sesuatu yang bukan manusia. Makhluk astral atau alien.

Defin terkekeh kecil. Manis sekali lesung pipi yang baru kuperhatikan. Aku lalu mengutuk diri sendiri, melontarkan pujian kepada orang yang bahkan tidak menganggapku sebagai manusia.

''Bukan begitu,'' ujar Defin beralih menatapku serius. ''Aku seperti menemukan hidupku kembali.''

Ucapan Defin kali ini membuatku terkesiap diikuti detak jantungku yang berdenyut cepat. Apa maksud perkataannya itu? Terlalu melankolis.

''Apa setelah ini kau ingin berkeliling restoran melihat mungkin, bagian mana yang ingin kau atur ulang?'' tanyaku mengalihkan pembicaraan.

''Apa kau akan membantuku jika melakukannya?'' tanyanya balik sedkit mencondongkan badan ke depan. Seperti merasa tertarik.

''Itu urusan anda. Aku hanya sebatas menemani hari ini karena Mbak Kania mengurus dokumen perjanjian jual belinya.''

Defin mengatupkan rahangnya seolah tidak senang mendengar ucapanku. ''Aku akan memberimu upah, apabila bersedia membantuku.''

''Memang sarjana hukum sepertiku bisa membantu apa soal mendekor ulang restoran ini,'' balasku tidak mengerti.

''Cukup berada di sampingku, setiap aku datang ke sini.''

Aku melongo mendengarnya. Kemudian Defin tersenyum penuh arti.

***