Aku mengacak rambut frustasi memikirkan ucapan Erik kemarin. Perlahan kurebahkan tubuhku di atas tenpat tidur. Mataku menatap langit-langit kamar. Menerawang ucapan demi ucapan Erik.
Aku memejamkan mata. Kusentuh tangan yang digenggam Erik. Membayangkan kembali perasaan bahagia begitu Erik menyentuhnya secara lembut. Namun wajah Mbak Tiara tidak luput dari ingatanku. Cara Mbak Tiara menatap Erik penuh cinta dan perlakuan penuh kasih terhadapku, membuat hatiku bimbang.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku bangkit dari tepat tidur menuju meja rias. Kurogoh ponsel dalam tas yang berada di atas meja rias. Aku menatap heran nomor yang tidak kukenal tertera sedang memanggil. Awalnya aku enggan mengangkatnya, tetapi bagaimana pun siapa tahu penting.
''Halo.''
''Halo Bella.''
''Pak Defin?''
''Apakah sudah terlalu lama tidak kita bertemu sehingga kau lupa, bahwa aku hanya ingin kau memanggil cukup namaku saja,'' ujar Defin menyindir.
Aku memutar bola mata, menarik napas pelan agar tidak terdengar di telepon. ''Baiklah, Defin, ada apa?''
''Kau belum ke Palembang?'' tanya Dfein membuat mataku membulat. Apa urusan lelaki itu terhadap kepergianku ke Palembang?
''Belum. Mungkin sekitar minggu depan. Apakah sudah mau mendekor restorannya?''
''Benar, kau bisa besok?''
Aku yang sedari tadi berdiri di samping tempat tidur, lalu memilih duduk di atasnya. ''Mungkin setelah jam makan siang, setidaknya aku harus tetap berada di kantor notaris sampai siang agar Tama, rekan kerjaku tidak berkerja sendirian.''
''Baiklah, aku akan menjemputmu saat jam makan siang.''
Tut.
Telepon dimatikan sepihak oleh Defin. Aku menatap telepon yang sudah menampilkan beranda ponselku dengan tatapan tidak percaya. Namun aku mencoba berpikir positif bahwa mungkin saja Defin memang sedang sibuk.
Keesokan paginya aku berangkat ke kantor notaris. Ketika masuk sudah ada Tama yang memasang headphone di telinganya. Kulirik layar monitor yang menampilkan sederet file yang disusunnya. Tidak lupa pemutar lagu Winamp yang di minimize.
''Ini donat dan kopi panas,'' ujarku menyerahkan sekotak makanan kecil serta segelas kopi.
Tama menatapku tak percaya. ''Tumben.''
Aku mencibir.
''Nanti siang, aku izin keluar ya.''
''Oh soal Mas Defin?''
Aku menoleh lalu mengernyit, ''Loh tahu darimana?''
''Tadi Mbak Kania telepon. Katanya Mbak Bella ada perlu sama Mas Defin jadi aku bakal urus klien yang datang sesudah jam makan siang,'' balas Tama tidak mengalihkan matanya dari layar monitor.
''Iya, maaf ya,'' ujarku tulus. Aku sebenarnya tidak tega meninggalkan Tama sendiri bekerja. Tetapi aku juga tidak pergi untuk bersenang-senang. Aku pergi mengurus dekor ulang restoran yang sampai sekarang tidak aku mengerti kenapa harus aku yang seorang sarjana hukum yang soal warna saja tidak tahu nama setiap pantone?
Selain itu, kenapa Mbak Kania tidak masalah aku bekerja di luard ari kapasitasku?
''Santai kali Mbak Bella, nanti juga kalau aku menikah maka Mbak Bella akan bekerja ekstra,'' balas Tama lalu terkekeh pelan melirikku.
Aku mendengus kesal. Mendengar kata menikah membuatku sensitif. Aku malah berharap akan menikah duluan dibanding Tama. Di mana malumu Bella bakal disalip oleh Tama!
Ternyata klien yang kutunggu selama empat tidak kunjung muncul juga. Tama yang sudah sibuk streaming film hanya bisa kuikuti menontonnya. Mataku tidak berusaha terpejam, karena Tama milih genre thriller membuat aku selalu tegang dan ketakutan apabila penjahat psikopat muncul secara tiba-tiba.
Suara pintu terbuka membuat Tama menekan tombol pause, menghentikan tayangan film sementara. Aku ikut beralih lalu menemukan Defin yang sudah berada di depan mejaku sambil tersenyum.
''Kau sudah datang?'' ujarku tidak menduga, aku melihat jam tanganku yang menampilkan pukul dua belas lewat tiga menit.
Harus kuakui bahwa Defin sangat tepat waktu.
Defin mendekati meja kerja Tama lalu meletakkan kantung plastik yang bisa kutebak berisi makanan. Tercium dari aromanya. Membuatku heran adalah jumlah box dari isi kantung terdapat tiga.
''Aku tidak tahu seleramu, jadi membelikan beberapa jenis makanan utama beserta makanan penutupnya,'' ujar Defin kepada Tama.
Tama melongo menatap kantung plastik tersebut. Aku bahkan menyenggol kakinya dengan kakiku untuk mengembalikan kesadarannya yang sudah terbius oleh aroma makanan tersebut.
''Eh, iya Mas Defin makasih,'' balas Tama tersenyum lebar ke arah Defin.
Tanpa tahu tempat, perutku terasa bergetar bak kampas-kempis ala keroncongan, mencium aroma makanan yang sudah menjadi milik Tama.
''Kalau begitu, aku akan membawa Bella sekarang,'' ujar Defin beralih menatapku.
''Oh iya, silakan bawa saja,'' ujar Tama melirikku sambil tangannya melambai agar menyuruhku berdiri.
Aku melotot menatap Tama, namun aku mencoba menahan diri agar tidak mendekat padanya untuk memukulnya.
Akhirnya aku berdiri lalu mengikuti langkah Defin keluar dari kantor. Mataku kembali terbelalak menyadari Defin membawa mobil lain. Dia membawa mobil berbeda kali ini. Jika kuhitung sudah tiga jenis mobil berbeda yang dipakainya.
Defin membukakan pintu untukku. ''Ayo masuk.''
Aku mengangguk pelan lalu masuk ke dalam. Pikiranku menjadi liar melihat perlakuan Defin seolah aku ini adalah kekasihnya, baiklah itu terlalu berlebihan. Seolah aku ini adik perempuan atau sahabat wanita terdekatnya.
''Kita mau makan di mana?'' tanyaku. Tidak kupungkiri aroma makanan tadi membuat perutku meronta-ronta.
''Kau ingin makan apa?'' tanya Defin balik sudah duduk di sebelahku. Dia menyalakan mesin mobil lalu menyetel AC ke tingkat tinggi.
Aku menoleh menatapnya. ''Aku ingin masakan Padang. Tetapi aku akan ikut dengan pili--''
''Baiklah, kita akan makan itu,'' sela Defin sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku sempat kesal dibuatnya, tetapi mengingat Defin bersedia makan makanan yang kuinginkan membuat aku suasana hatiku menjadi baik kembali.
Defin membuatku takjub sekali lagi. Aku dibawanya ke salah satu Rumah Makan Padang yang ada di Jakarta. Aku biasa datang ke mari apabila pulang dari kantor untuk jam makan malam. Biasanya jam makan malam lebih sepi dibandingkan jam makan siang sepeti sekarang.
Aku membasahi bibir bawahku begitu melihat piring-piring di atas meja yang berisi berbagai jenis masakan Padang. ''Selamat makan,'' ujarku tersenyum sekilas ke arah Defin.
''Doa dulu,'' ujar Defin membuat gerak tanganku terhenti.
Aku mendongak menatapnya takjub lalu mengangguk, ''Iya, terima kasih sudah diingatin.''
Aku pun mengucapkan doa dalam hati sebelum menyantap makanan di depanku. Kami berdua makan dalam keterdiaman. Ramainya pengunjung lain berbincang seolah menjadi suara penghilang sunyi.
''Hah ... kenyangnya,'' ujarku bersandar pada sandaran kursi.
Kulihat Defin tersenyum tipis menatapku. Aku beralih menatap piringnya yang kemudian membuatku sadar bahwa Defin hanya makan sedikit.
''Kau tida suka ya? Kok makannya sedikit?'' tanyaku pelan, merasa tidak enak seolah memaksanya makan di sini.
Defin menggeleng. ''Aku hanya tidak terbiasa. Tapi enak, terutama ini,'' ujarnya sambil menunjuk piring berisi gulai ayam.
''Syukurlah, kurasa kau akan beradaptasi,'' ujarku memberi saran.
''Tentu saja, makan siang terus bersamamu, membuatku harus beradaptasi,'' balas Defin lalu langsung bangkit berdiri.
Eh, apa maksudnya? Makan siang terus bersamaku? Oh mungkin selama pekerjaan dekor ulang restoran miliknya. Mau tidak mau kami memang harus bertemu dikala waktu jam makan siang seperti ini.
Kami berdua kembali ke mobil dalam keadaan perut terisi. Tidak kupungkiri sekarang mataku mulai terasa berat. Tetapi aku ingat bahwa sesudah ini adalah pekerjaan sesungguhnya.
''Jadi kita akan membahas soal dekor ulang di mana?'' tanyaku menoleh Defin yang sudah memasang seatbelt-nya.
''Kenapa terburu-buru?'' tanyanya melirik seatbelt dekatku.
Tidak ingin kejadian dulu kembali terulang dan membuatku menahan napas. Sigap aku memasang seatbelt-ku sendiri.
''Bukankah itu tujuan kau bertemu denganku?'' tanyaku bingung.
''Bukankah kau bilang akan ke Palembang untuk mengurus pernikahan?'' tanya Defin balik bertanya.
Alisku terangkat lalu menoleh pelan. ''Iya, apa minggu depan akan mulai sibuk dekor ulangnya?''
Defin menatapku lekat. Rahangnya terkatup dan raut wajahnay menjadi dingin. ''Kau benar-benar harus pergi?''
Aku mengangguk pelan. ''Iya harus. Meski harus kuakui itu sedikit terpaksa,'' ujarku mulai berkata sedikit jujur.
''Kalau begitu jangan.''
''Apa?''
''Jangan terpaksa menikah.''
Aku mengerjap menatap Defin lalu tertawa. ''Bukan, bukan.''
''Kenapa kau tertawa?'' tanya Defin kini memegang tanganku.
Aku menunduk tanganku yang kemarin digenggam oleh Erik kini berganti oleh Defin. ''Bukan aku yang menikah.''
''Apa?'' tanya Defin membuatku mendongak menatapnya.
''Kakak perempuanku, Mbak Tiara. Dia yang akan menikah sehingga aku harus ke Palembang untuk ikut membantunya mengurus pernikahan,'' ujarku menjelaskan.
Kurasakan Defin mulai melepas tanganku. Aku menarik napas dalam membicarakan pernikahan Mbak Tiara, membuat kepalaku kembali memikirkan Erik.
Defin terkekeh pelan. Deretan gigi rapi dan putih dan suara tawa untuk pertama kali kulihat dan kudengar, tanpa sadar aku ikut tertawa.
Walau aku tidak mengerti di mana letak kelucuannya, tetap saja ujung bibirku tertarik ke atas.
Defin berhenti tertawa lalu kembali menatapku lekat bahkan wajahnya mendekati wajahku, otomatis badannya ikut tertarik ke arahku. Matanya yang tajam terasa menelanjangi mataku. Aku menahan napas lalu mengepalkan tangan terus berusaha menatapnya. Lebih tepatnya tidak ada cela untuk memalingkan wajahnya.
Secara cepat Defin memiringkan wajahnya. Aku langsung menutup mata.
''Jangan menikah tanpa seizinku,'' bisik Defin tepat di telingaku.
Aku mengutuk diri membayangkan hal lain. Kubuka mataku dan Defin sudah memundurkan badannya. Aku menoleh lalu mendapati Defin tersenyum tipis sambil alisnya terangkat menggodaku. Betapa malunya aku!
***