Aku menarik napas panjang, melihat pesan yang dikirim oleh Mbak Tiara. Ia sudah kembali ke Palembang beberapa hari yang lalu dan sekarang memintaku untuk ke sana. Apalagi kalau bukan menyangkut persiapan pernikahannya.
Jika kau boleh egois maka aku tidak ingin Mbak Tiara dan Erik menikah. Pikiran itu saja membuatku sesak. Untung saja Defin menunda untuk mendekor ulang restora, karena memiliki pekerjaan lain.
''Kau kenapa?'' tanya Tama baru saja datang.
''Apa maksudmu?'' tanyaku tidak mengerti.
Tama baru saja datang sambil mengenakan headphone yang tersambung dengan ponsel yang dipegangnya. Sebelah bahunya menenteng ras ransel yang selalu dibawanya. Walaupun Tama adalah sarjana hukum, tetapi Mbak Kania lebih mempekerjakannya untuk urusan teknologi dan informasi. Karena passion-nya memang lebih ke arah sana.
''Tidak biasanya muka Mbak Bella suram begitu.''
''Aku hanya lelah saja Tama, lagipula Mbak Kania sedang di luar kota?'' tanyaku mengingat pesan Mbak Kania kemarin bahwa jika ada klien maka aku disuruh untuk menjadwalkan pertemuan setelah Mbak Kania kembali.
''Iya, katanya seminggu. Mau lahiran ipar Mbak Kania, katanya Ibunya susah mengurus dua anak yang sudah ada.''
''Ribet ya menikah,'' gumamku tanpa sadar setelah mendengar cerita Tama.
''Ribet itu kalau tidak punya pasangan,'' balas Tama kemudian mulai menyalakan komputer.
Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas siang lewat beberapa menit. Aku pun berniat untuk keluar makan siang. Sendiri, karena Tama lebih memilih memesan lewat aplikasi pengantar makanan sambil menonton episode terbaru one piece. Kurasa lelaki itu juga tidak akan segera menikah. Istrinya tidak akan tahan melihat suaminya tergila-gila dengan anime bajak laut yang seperti cinta sejati Tama.
Daripada ke restoan dan bertemu dengan Parman dan juga akan menayakan pertanyaan seperti Tama tadi pagi. Aku memilih ke restoran yang ada di pusat perbelanjaan. Aku berdiri di pinggir jalan menunggu taksi konvensional akan singgah.
Terlalu malas untukku membuka ponsel. Apalagi jika aplikasi sedang sibuk dan lama untuk bisa memesan taksi online. Namun teriknya matahari tidak membuahkan hasil. Tak ada satupun taksi yang berhenti, meski banyak yang lewat. Semuanya telah memiliki penumpang, apalagi seperti jam istirahat seperti sekarang.
Badanku akan berbalik, sebelum sebuah mobil berhenti pas di depanku. Kaca jendela mobil diturunkan. Aku terkejut melihat Defin yang duduk di kursi pengemudi. Aku tidak menyangka saja, apalagi jenis mobil yang digunakannya berbeda dengan sebelumnya. Lagi-lagi jenis mobil impor.
''Ayo naik,'' serunya membuatku menunjuk diri sendiri.
''Aku?''
''Iya, cepatlah. Bukankah panas berada di luar?''
Alisku terangkat bingung, tetapi mengikuti perkataannya. Begitu aku masuk Defin langsung menyetel AC mobil ke tingkatan tertinggi. Aku menghela napas lega.
''Mau ke mana?'' tanyanya menoleh. Belum menggerakkan mobil.
''Makan.''
''Restoran yang yang anda beli?''
Aku menggeleng pelan.
Defin menarik napas panjang. Aku gusar, apakah dia marah karena aku akan makan ditempat lain, bukan di restoran yang sudah dia beli?
''Aku hanya ingin makan sesuatu berbeda,'' kataku beralasan.
Defin mengernyit. ''Benarkah? Tidak ada alasan lain?''
''Alasan seperti apa?'' tanyaku sungguh tidak paham.
''Bisa saja kau tidak suka dengan pemilik barunya,'' ujarnya tersenyum tipis, namun matanya mengerjap seolah takut bahwa ucapannya adalah jawabanku.
Aku tersenyum kikuk. ''Tidak mungkin. Aku ... sedang ingin suasana baru. Itu saja,'' ujarku tidak mungkin menceritakan alasanku emnghindari restoran miliknya itu sekarang.
''Baiklah,'' ujar Defin kemudian menyalakan mesin mobil. Namun sebelum ia menginjak gas, tubuhnya diputar ke arahku. Detik kemudian ia mencondongkan badannya ke depan dengan sebelah tangan terulur.
Defin memasangkan seatbelt kepadaku. Aku menarik napas begitu jarak wajah kami hampir tidak tersisa. Matanya menatapku dalam. Aku meremas tanganku, menahan.
''Berbahaya jika ditilang online, apabila CCTV menangkapmu sedang tidak memakai sabuk pengaman,'' ujar Defin kembali ke posisi semula.
Aku menoleh hanya mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum. Lalu kemudian ketika mobil sudah bergerak beberapa puluh meter aku sadar sesuatu.
''Memang kita mau ke mana?''
''Makan bukan?'' ujar Defin menoleh sekilas.
Aku terdiam tidak membalas. Dalam pikiranku bisa saja kebetulan Defin lewat saat akan pergi makan siang kemudian tidak sengaja melihatku yang juga sedang mencari tempat makan siang.
Bayangan pusat perbelanjaan memudar begitu Defin menghentikan mobilnya ke depan salah satu bangunan yang dari luar sudah begitu megah. Interiornya tidak bisa menyembunyikan bahwa itu merupakan restoran kelas atas.
''Kita makan di sini?'' tanyaku hati-hati. Membuat Defin menghentikan dirinya untuk keluar dari mobil.
''Iya, kenapa?''
''Tidak bisakah kita ke tempat lain atau biar aku memesan taksi online untuk ke tempat lain,'' kataku menatap lekat kedua bola mata yang baruku perhatikan berwarna kecokelatan.
Defin tersenyum tipis. ''Aku akan mentraktirmu.'' Ia kemudian keluar dari mobil.
Meninggalkanku yang masih duduk mematung. Benar, bahwa alasanku tidak ingin makan di restoran ini adalah masalah harga makanan yang bisa saja seharga satu bulan gajiku atau bahkan kurang dari itu.
Namun kakiku perlahan melangkah masuk. Di depan pintu masuk sudah dibukakan dan disambut oleh dua orang pegawai berseragam rapi. Bahkan biaya service sudah dikenakan sebelum aku bisa memesan makanan, pikirku.
Defin duduk di atas sebuah lampu gantung besar yang menyala. Menjadikan Defin tampak bersinar. Aku mendekati mejanya lalu berdiri, bingung duduk di sisi bagian mana. Sampingnya? Depannya?
Bayangan perlakuan Erik ketika kami di restoran Jepang membuatku bergidik ngeri sekaligus membuat darahku berdesir. Aku akhirnya memilih hal berlawanan dari sebelumnya. Yakni di samping Defin.
''Aku memesan sama sepertimu saja. Kurasa merasakan cita rasa kesukaanmu bisa jadi bagian suasana baru yang kuperlukan,'' ujarku memberi alasan. Aku tidak ingin membuat Defin kelaparan dengan kau menatap daftar menu sambil berkomentar tentang harga yang tentu fantastis.
Defin mengalihkan pandangannya dari daftar menu makanan ke arahku. Aku mengerjap bingung.
Namun tanpa berkata apapun. Defin memanggil pelayan lalu mengucapkan segala macam menu yang kebanyakan berbahasa Inggris. Setelah pelayan menerima pesanan, Defin beranjak dari tempat duduk.
Alangkah terkejutnya aku begitu Defin yang semula kukira mau ke toilet, malah mengubah posisi duduknya menjadi di depanku sekarang.
''Aku lebih suka posisi seperti ini. Menatapmu sambil makan.''
Hatiku melengos mendengarnya. Namun buru-buru kutepis pikiran bahwa seorang Defin tertarik padaku. Ayolah Bella, jangan suka bermimpi pada siang hari.
''Jadi kapan anda--''
''Aku mohon, jangan pakai anda. Itu membuatku merasa tidak nyaman mendengarnya,'' ujar Defin dengan mata menyipit.
''Pakai saja kau atau namaku, Defin,'' lanjutnya membuatku menelan ludah.
Aku mengangguk pelan kemudian membasahi tenggorokanku dengan segelas air putih. Tidak masalah bagiku untuk memanggil sebutan untuk seseorang, tetapi aku baru mengenal Defin beberapa hari yang lalu. Tetapi kalau itu maunya, baiklah.
''Jadi kapan kau akan mulai mendekor ulang restorannya?'' tanyaku menyelesaikan kalimatku tadi.
''Aku belum tahu. Aku masih harus bolak-balik Singapura mengurus kerjaan yang tersisa,'' jawab Defin kemudian memberi aba-aba pada pelayan agar memberinya bill. Ia kemudian beralih lagi menatapku, ''Ada apa? Kau punya kerjaan lain?''
''Aku harus ke Palembang. Mungkin minggu depan.''
''Ada acara atau masalah pekerjaan?'' tanya Defin dengan raut wajah menyelidik.
Aku sendiri bingung apakah harus menjawab pertanyaannya dan apakah perlu dia bertanya sedetail itu?
''Ya, acara persiapan pernikahan,'' balasku tersenyum tipis.
Mataku mengerjap menyadari Defin hanya terdiam setelah mendengar ucapanku. Rahangnya terkatup rapat dengan sorot mata tajam menatapku.
Excuse me, ada yang salah dengan perkataanku?
***