Setelah makan siang bersama Defin. Aku langsung diantarnya kembali ke kantor. Ia tidak banyak bicara lagi kepadaku dalam perjalanan. Namun aku tidak mau ambil pusing.
Hari ini, tiga hari setelah aku betemu dengan Defin. Selama hari-hari itu aku sibuk mengurus klien yang ingin bertemu dengan Mbak Kania. Membuat jadwal setelah kedatangan Mbak Kania.
''Hari ini sangat panas,'' ujar Tama baru kembali membeli es teler. Ia juga membelikanku, namun jenis minuma berbeda. Es kelapa muda.
''Aku benar-benar bosan. Mau nonton setelah ini?'' ajakku menoleh sambil menyeruput es kelapa muda di gelas plastik yang kupegang.
Tama melirikku sekilas. Matanya membulat sempurna. ''Tidak,tidak. Entar nontonnya film romantis anak sekolahan yang suka gombal dan sok puisi,'' tolaknya mengibaskan tangan di hadapanku.
Aku mendengus kesal. Kubuka website untuk melihat daftar film yang sedang tayang. ''Yang lain film horor Tama. Aku tidak kuat lihatnya,'' ujarku memperlihatkan layar ponselku kepadanya.
''Atau kita pergi, tapi beda studio?''
Aku melempar kotak tisu kepada Tama. ''Apa? Bilang saja tidak mau kalau gitu.''
Tama terkekeh kecil. Ia kemudian mulai memasang headphone di telinganya. Sedangkan aku menuju bagian belakang kantor, dapur. Aku menyedup mie cup instan yang selalu tersedia dengan beberapa bungkus camilan lainnya. Ketika menunggu air pada dispenser benar-benar panas, ponselku berbunyi. Nama Mbak Tiara yang tertera sebagai panggilan masuk langsung membuat perutku yang sempat keroncongan menjadi teralihkan.
''Halo Mbak,'' sapaku mengangkat telepon.
''Bagaimana Bella, kapan kau akan pulang ke Palembang? Kenapa pesanku tidak dibalas,'' balas Mbak Tiara terdengar menuntut jawaban.
Aku menjauhkan ponsel dari wajahku, setengah meter. Kemudian menarik napas dalam. ''Minggu depan ya, Mbak Kania lagi ke luar kota dan aku harus urus klien,'' kataku kembali menempelkan ponsel ke telinga.
''Okelah, katanya Erik juga bakal datang minggu depan.''
Aku menelan ludah mendengarnya. Tanpa sadar ikut mengigit bibir bawahku. Berarti minggu depan aku akan bertemu dengan Erik kembali.
''Kalau gitu sampai jumpa minggu depan. Jangan lupa ole-ole buat Ayah sama Ibu,'' ujar Mbak Tiara sebelum menutup telepon terlebih dahulu. Ia mungkin mengira aku sibuk, padahal aku sedang melamun. Memikirkan Erik yang akan datang ke Palembang. Yang akan menginjakkan kakiku di rumahku, sebagai calon suami Mbak Tiara.
Melihat lampu dispenser telah merah, tanda air sudah panas. Aku segera menyeduh mie cup instan. Aku memilih menikmatinya di meja kecil yang tersedia di dapur.
''Mbak Bella, ada klien,'' ujar Tama ketika aku baru saja aku memakan tiga suap mie cup instan.
Aku mencibir.
''Sorry, apa perlu aku bilang agar menunggu?'' ujar Tama mengacungkan jari membentuk huruf V sebagai tanda menyesal.
''Tidak perlu,'' balasku bangkit sambil memecang mie cup instan. ''Kau habiskan saja.''
Aku menyerahkan isi mie cup instan yang masi tersisa.
Tama menyengir menerimanya lalu menggantikanku duduk. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur, aku meminum segelas air.
Aku melangkah keluar dari dapur. Kulihat seorang laki-laki telah duduk di depan meja kerja Mbak Kania. Aku menarik napas dalam, lalu melangkah amsuk ke dalam ruangan Mbak Kania.
Selama menerima klien, Mbak Kania menyarankanku agar menggunakan ruangannya. Yang berarti juga memakai meja kerjanya.
''Selamat siang,'' salamku setelah duduk sambil tersenyum ke arah laki-laki yang kutebak sekitar berumur tiga puluhan ke atas. Tercermin dari wajah dan cara berpakaian yang formal.
Aku mengulurkan tangan.
''Sabas Harianto,'' ujar laki-laki bernama Sabas menerima uluran tanganku.
Aku mengambil buku daftar klien yang ingin bertemu dengan Mbak Kana dari laci.
''Baiklah, jadi Pak Sabas ada perlu apa?'' tanyaku menatap Pak Sabas.
''Panggil Mas Sabas saja Mbak, lebih akrab,'' ujarnya mengerjapkan mata.
Aku hampir saja mendengus di depannya. Untung alam bawah sadarku masih berfungsi, mengatakan bahwa Sabas ini masihlah klien.
''Baiklah, Mas ... Sabas, jadi anda ke sini ada perlu apa?'' ujarku mengulangi pertanyaan sambil berusaha tersenyum.
''Begini adik saya bernama Talia memiliki tanah yang dibelinya bersama suaminya, Firma. Mereka berdua ingin menjualnya kepada saya,'' cerita Sabas masih tersenyum.
''Oh begitu, baiklah. Jadi anda ingin membuat perjanjian jual beli beserta balik namanya, begitu?'' tanyaku.
Sabas menganggukkan kepalanya semangat. ''Benar ... Mbak Kania.''
Aku yang sementara menulis nama dan jenis maksud kedatangannya yaitu terkait jual beli, langsung mendongak dan mendapati Sabas menyengir.
''Begini Mas Sabas. Saya ini hanya pegawai di sini, bukan notaris. Jadi Mbak Kania adalah notaris yang akan mengurus urusan anda. Apakah tidak masalah jika menunggunya dan saya jadwalkan pertemuan dengannya?'' jelasku secara pelan-pelan.
Kulihat Sabas mengangguk singkat lalu tersenyum kembali. ''Iya, jadi kapan saya bisa bertemu Mbak Kania sendiri?''
''Minggu depan, silakan isi nomor ponselnya di sini,'' ujarku menyodorkan buku daftar klien serta pulpen dan menunjukkan kolom bagian nomor ponsel dengan jari telunjukku.
Sabas segera mengisi kolom yang kumaksud. Setelahnya dia menyodorkan kembali buku daftar klien tersebut.
''Jadi saya akan hubungi anda kembali. Untuk memastikan kapan anda bisa bertemu dengan Mbak Kania,'' kataku.
''Apakah Mbak-- namanya?'' tanya Sabas dengan mata menyala. Sepertinya dia menyadari bahwa belum mengetahui namaku.
Aku meringis dalam hati.
''Nama saya Bella,'' jawabku enggan.
''Oh nama yang cantik,'' balas Sabas membuatku ingin mual seketika itu. Ini sudah tidak beres.
Aku berdiri lalu mengulurkan kembali tangan. ''Terima kasih telah mendatangi kami sebagai mitra urusan anda,'' ujarku masih berusaha tetap tersenyum.
Sabas yang awalnya sedikit terkejut, ikut berdiri lalu menerima uluran tanganku.
''Baiklah Mbak Bella, saya menunggu panggilan anda,'' ujarnya kini tersenyum terselubung.
Sabas melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Mbak Kania. Begitu kulihat dia keluar dari kantor notaris lewat kaca dinding ruangan yang emmang transparan. Aku bersumpah bahwa Tama lah yang akan menelepon Sabas untuk jadwal pertemuannya dengan Mbak Kania.
Aku keluar dari ruangan Mbak Kania dengan suasana hati yang buruk. Kulihat Tama sudah duduk kembali di depan mejanya.
Tama menatapku serius. Membuat alisku terangkat. Perlahan Tama melirik ke kanan, tanpa sadar kuiikuti pandangannya.
Erik, lelaki itu duduk di sofa dekat pintu. Aku menarik napas lalu melangkah mendekat ke arahnya.
''Ada urusan apa ke mari?'' tanyaku dengan suara pelan. Aku melirik Tama yang bisa kutebak sedang mencuri pandang antara diriku dengan Erik.
Tama dengan segala hal yang selalu membuatnya penasaran.
Erik tersenyum tipis. ''Ada yang ingin kubicarakan.''
Aku membuang muka. ''Kalau begitu jangan di sini,'' ujarku melangkah menuju pintu. Tetapi sebelum itu aku berbalik menatap Tama, ''Aku keluar dulu.''
Tama hanya mengangguk setelah kudapati dirinya sednag mengintip melalui ekor matanya.
Erik membawaku ke salah satu coffee shop. Kami berdua duduk dengan posisi saling berhadapan. Erik memesan kopi, sedangkan aku jus apel.
''Katakan apa maumu?'' tanyaku kembali begitu pesanan kami sudah datang.
''Aku benar-benar tidak tahu kalau Tiara adalah kakak perempuanmu. Dia sesekali menyebut tentang adik perempuannya, tidak kusangka adalah dirimu,'' ujar Erik mencondongkan sedikit badannya ke depan.
Aku mencibir.
''Baiklah, kalau kau sudah tahu. Lalu apa?'' tanyaku melipat tangan di atas meja sambil menatapnya serius.
''Kami akan tetap menikah,'' jawab Erik lugas.
Aku tertawa sumbang, lalu mengigit bibir bawahku.
''Kau pikir aku akan menghalangi kalian?''
''Bukan begitu Bella. Aku ... aku hanya tidak ingin mengecewakan Tiara,'' balas Erik. Kulihat tangannya terulur mendekati tanganku.
Rasanya aku ingin segera menarik tanganku begitu melihat jarinya yang semakin mendekat. Tetapi hatiku memaksa agar tanganku tetap berada di atas meja.
''Aku masih menginginkanmu Bella,'' lanjut Erik kini menarik tanganku dan menggenggam tangan kananku.
AKu menelan ludah lalu beralih menatapnya.
''Apa maksudmu?''
''Aku tidak bisa mengabaikan dan membatalkan pernikahanku dengan Tiara, dia telah menolong dan merawat Ibuku,'' jawab Erik menatapku lekat.
''Tetapi kau bilang mencintainya, ketika kau membawaku makan malam di hotel.''
''Aku baru sadar ketika melihatmu kembali di restoran, bahwa rasa cintaku kepadamu lebih besar,'' balas Erik membuat darahku kembali berdesir.
Jari Erik kini mengelus punggung tanganku. Membuat dadaku berdetak lebih cepat dari biasanya.
''Aku tidak bisa melepasmu begitu saja, Bella.''
***