Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajah bahagiaku begitu melihat Erik yang kini duduk di kursi ruang tamu. Kami berdua duduk saling berhadapan. Awalnya terasa canggung, tetapi rasa rinduku lebih besar sehingga kucoba tepis rasa canggung itu.
''Kau apa kabar?'' tanyanya memulai percakapan.
''Baik. Kau sendiri?'' tanyaku terus menatap lekat Erik. Dia belum berubah. Masihlah Erik yang suka memakai kaus oblong yang dpadupadankan dengan celana jeans sama seperti yang dia pakai sekarang. Walau wajahnya telah bertambah dewasa, namun dia masih terlihat keren dan santai.
''Aku baik,'' balasnya tersenyum.
''Aku merindukanmu,'' ujarnya membuat darahku berdesir.
Mataku telah berkaca menahan segala emosi dalam hati dan pikiranku. ''Kau selama ini ke mana?''
''Jika kau mendengar ini mungkin sebagai alasan. Aku ikut bersama Ibuku pindah ke Palembang setelah orangtuaku bercerai. Mereka berpisah tepat setelah ujian skripsiku,'' ujar Erik menjelaskan.
Aku merasa sedih untuknya. Tanpa sadar aku beralih lalu duduk di sampingnya. ''Terus kenapa hilang begitu saja?''
''Aku benar-benar hancur Bella. Aku mengira semua baik-baik saja di rumah. Aku terlalu sibuk mengurus kehidupan kampusku.''
Raut wajah Erik sungguh sendu. Ia memegang tanganku, membuat dadaku berdegup dengan kencang. Perasaan ini, sama seperti tiga tahun lalu. Perasaan yang membuatku selalu ingin berada didekatnya.
''Aku kemudian kembali ke Jakarta, karena pekerjaan. Aku ke mari untuk melihat apakah kau masih tinggal di sini.''
''Aku di sini Erik,'' ujarku memegang pipinya.
Erik langsung memelukku. Aku menangis di pundaknya. Rasa rindu itu akhirnya terluapkan setelah aku menahan malam demi malam.
''Maafkan aku,'' ujarnya semakin membuatku menangis.
Erik kemudian mengajakku keluar untuk makan malam bersama. Kami memutuskan untuk makan di salah satu hotel ternama. Dalam suasana remang dengan hanya ada beberapa pengunjung.
''Jadi kau akan tinggal di mana?'' tanyaku setelah kami memesan makanan.
''Aku tinggal di apartemen milik temanku. Dia sedang ke luar negeri,''' jawabnya lalu tersenyum.
''Apa kau masih sendiri?'' tanya Erik membuat napasku tercekat.
Apa ini berarti tiga tahun kepergiannya adalah perpisahan kami? Harusnya aku tahu itu. Aku bukanlah remaja yang mengharapkan semuanya akan kembali sediakala. Aku bahkan lupa bahwa Erik bisa saja sudah ada yang punya.
''Masih,'' jawabku jujur.
Setelah kepergiannya, selama satu tahun. Aku mulai tidak fokus kuliah. Skripsiku sempat tersendak. Aku bahkan pernah memikirkan untuk cuti kuliah. Benar-benar tidak ada lelaki lain yang mampu membuatku untuk menjalin hubungan.
Erik pergi tanpa berkata apapun. Membuat satu tahun itu menantinya dan masih menganggap diriku sendiri adalah masih kekasihnya. Halusinasi. Dua tahun berjalan tanpa dirinya, aku mulai mencari kesibukan dengan bekerja. Aku mencoba merelakan Erik, namun belum bisa melupakannya. Tiga tahun berlalu, disaat aku benar-benar sudah siap melupakan tentang Erik dan ingin mencari seseorang yang mampu mengisi hatiku kembali.
Erik kembali dan duduk dengan santai seperti di sampingku sekarang.
''Apa ... kau juga masih sendiri?'' tanyaku ragu.
Aku bukan ragu dengan pertanyaanku. Aku ragu akan bisa menerima jawaban Erik yang mungkin bertolak belakang dengan isi hatiku.
Namun baru Erik akan bersuara, pelayan datang membawa makanan kami. Akhirnya dengan musik klasik, kami berdua menikmati makan malam dengan hikmat.
Erik memesan anggur merah. Ia menuangkan ke dalam gelasku lalu ke dalam gelasnya.
''Bagaimana dengan pertanyaanku tadi?'' tanyaku menatapnya yang sedang meminum anggur merah itu.
Erik kemudian meletakkan gelas dan mencodongkan badannya ke depan. Menatapku lekat. ''Aku telah memiliki tunangan.''
Aku menelan ludah dengan susah payah. Mataku berkedip dengan napasku seolah melambat. Kenapa aku harus terkejut? Ini sesuatu yang mungkin saja terjadi.
''Aku sangatlah jahat bukan? Meninggalkanmu tiga tahun tanpa kata perpisahan lalu kembali mengajakmu makan malam romantis seperti sekarang, lalu memberi kabar menyakitkan ini.''
Aku tidak sanggup melihat Erik lagi. Aku menunduk tidak sadar air mataku jatuh. Rasa hancur yang kualami tiga tahun lalu kembali tanpa aba-aba.
Kudengar kursi bergeser ke belakang. Tanda Erik beranjak berdiri lalu kulihat sepatunya di dekatku. Dia memutar kursiku menghadapnya lalu berjongkok di hadapanku. Tangannya menarik daguku agar menatapnya.
''Aku sungguh merindukanmu. Jika rasa sayang yang mungkin membuatmu bertanya, maka iya. Aku masih sangat menyayangimu,'' ujarnya lebih seperti gombalan. Tetapi entah mengapa aku malah meyakinkan hatiku bahwa hal itu benar. Padahal Erik adalah lelaki yang telah bertunangan.
''Lalu kenapa kau sudah bertunangan?''
''Aku menyanyaginya Bella. Dia menolongku disaat aku terpuruk,'' jawabnya membuatku speechless.
''Jadi dia tinggal di Palembang?'' tanyaku kini sinis.
''Tidak, dia sekarang berada di Bandung. Kami bertemu di Palembang.''
''Jika dia menolongmu saat terpuruk, kenapa tidak mencariku?'' ujarku frustasi dengan air mata yang kembali turun.
''Kau masihlah berusia dua puluh dua tahun waktu itu. Masih harus menyelesaikan studimu. Tidak mengkin membebanimu dengan masalahku.''
Aku berdiri dengan sigap. ''Lalu kenapa kau datang lagi hanya untuk memberi kabar kalau kau telah bertunangan!'' seru dengan suara cukup lantang.
Aku sadar bahwa mungkin sebagian pengunjung restoran sedang melihat aksi drama yang aku dan Erik lakukan. Tetapi rasa sakit dan kecewaku telah menaklukan rasa malu yang hanya akan berlangsung beberapa menit.
''Karena aku ingin putus denganmu. Secara benar dan pasti,'' balas Erik ikut berdiri.
''Aku tidak ingin di masa yang akan datang. Ada yang penyesalan dan akan ada yang terluka,'' tambahnya membuatku tersenyum miris.
Tanpa membalas ucapan Erik lagi, aku meninggalkan hotel itu. Aku berjalan sambil mengusap air mata yang terus jatuh ke pipiku. Malam yang kukira adalah awal malam yang akan berakhir dengan indah dan manis. Harus memiliki ujung cerita yang menyesakkan sekaligus memilukan.
Bukan Erik yang salah sepenuhnya tentang ini. Tetapi aku yang bodoh memberi harapan pada hatiku. Aku merentangkan tanganku memanggil taksi. Setelah mendapatkan taksi, aku langsung menangis di dalamnya.
''Setel lagunya dengan volume kencang Pak,'' ujarku dalam tangisan.
''Baik Mbak.''
Bukannya merasa tenang. Aku malah bertambah sedih mendengar lagu yang terputar, lirik dan melodinya sama sedihnya dengan perasaanku. Aku mulai tidak menangis, namun dadaku terasa sesak. Aku patah hati malam ini.
*
Aku bercermin setelah berpakaian lengkap. Bisa kulihat mataku terlihat sembab dan wajahku membengkak akibat menangis semalaman. Patah hatiku masih belum hilang. Tetapi aku mencoba menjalankan logikaku, bahwa duniaku masih belumlah berakhir.
Hari ini adalah hari sabtu yang berarti ada jadwal mata kuliah yang harus kuhadiri. Mungkin berada di keramaian akan membuat hatiku sedikit sembuh. Sebenarnya, aku bisa saja meringkuk seharian sambil menangisi kisah tragisku. Tetapi aku takut hanya akan berakhir dengan kepedihan daripada kelegaan.
Ruangan kelasku hanya terdiri dari sepuluh mahasiswa saja. Rata-rata mereka semua sudah bekerja dan melanjutkan pendidikan demi mengejak posisi yang lebih tinggi.
Alasan aku mengambil magister hukum dibanding notaris adalah karena aku berencana untuk menjadi seorang pengacara. Cita-cita terpendam itu baru aku bisa rencanakan realisasinya sekarang. Paling tidak aku harus menambah ilmu sebelum menjalani pendidikan menjadi advokat atau pengacara.
Satu jam berlalu tanpa ada dosen yang masuk mengajar. Tidak lama kemudian seorang pegawai masuk ke kelas dan menyampaikan bahwa kelas kosong dan digantikan dengan tugas.
Aku menghela napas panjang. Jika biasanya rasa bahagia muncul kala dosen tidak masuk, kini aku merasa hampa. Aku kemudian berjalan menelusuri lorong yang ramai oleh mahasiswa yang masih mengejar gelar sarjana.
''Hey Bella!''
Kudengar seseorang memanggil namaku. Aku menoleh dan mendapati Irfan yang merupakan dosen di Fakultas Hukum. Dia sedang berdiri di depan ruang dekan. Tangannya melambai memintaku untuk ke arahnya.
Aku menuruti ajakannya. Tetapi ketika akan sampai seseorang keluar dari ruang dekan. Laki-laki berjas hitam yang kulihat di restoran! Laki-laki itu singgah di depan Irfan.
''Aku harus pergi sekarang, aku harus mengunjungi orangtuaku,'' ujar laki-laki berjas itu kudengar ketika telah dekat dengan Irfan.
Irfan mengangguk singkat. ''Baiklah Defin, lain kali kita bisa bermain tenis.''
''Aku pergi,'' ujar laki-laki berjas hitam yang kuketahui namanya bernama Defin.
Defin menepuk bahu Irfan sekali, kemudian berjalan melewatiku. Mata kami bertemu sesaat.
Sorot mata Defin begitu tajam ketika menatapku. Menjadikanku bergidik ngeri jika membayangkannya kembali.
''Bella, kau ada kuliah hari ini?'' tanya Irfan begitu aku berdiri di sampingnya.
Aku mengangguk singkat. ''Ada, tapi dosennya tidak masuk. Siapa lelaki itu tadi?'' tanyaku penasaran.
''Kenapa? Kau tertarik padanya?'' tanya Irfan dengan pandangan menggoda.
Aku mendengus. ''Bukan seperti itu, hanya saja dia terlihat asing. Berbeda dengan mahasiswa pascasarjana, doktoral atau notaris yang biasa kulihat. Tidak mungkin juga mahasiswa S1.''
''Tentu saja asing, dia selama ini tinggal di Singapura lalu datang ke ini menyapa kakak perempuannya.''
''Kakak perempuannya?''
''Dekan kita.''
''Kau sudah selesaikan dengan kelasmu?''
Irfan balik bertanya. Aku hanya mengangguk singkat.
Aku mengenal Irfan ketika hari pertama kuliah pascasarjana. Saat itu dia bertugas menggantikan dosen pengampu mata kuliah. Setelah beberapa kali bertemu dan mengobrol, kuketahui bahwa dia teman SMA Mbak Tiara--kakak perempuanku.
Aku kembali pulang ke rumah tepat pukul dua siang. Aku sama sekali tidak punya tenaga untuk ke tempat lain. Ingatan tentang Erik semalam masih begitu membekas. Aku kembali menangis hingga sebuah telepon masuk.
Aku menatap layar ponselku yang menampilkan nama Mbak Tiara. Tidak biasanya dia akan menelepon pada hari siang begini, karena biasanya dia akan sibuk mengurus pasien-pasiennya.
''Halo Mbak,'' sapaku mengangkat telepon.
''Kau di mana sekarang, aku ada di Jakarta sekarang.''
***