Ara's POV
Hampir seminggu hari Aini dirawat di rumah sakit. Selama itu aku tidak mendekatinya. Aku benar-benar merasa bersalah. Dan rasanya kehadiranku tidak diperlukan Aini karena orang-orang terdekatmya selalu ada disampingnya. Meski begitu, aku selalu berdiri di luar ruang rawat Aini ketika selesai bekerja.
Arika terus saja datang setiap hari. Bahkan Arika menukar jadwal kerjanya agar bisa menemani Aini disiang hari. Malamnya, Ilham akan menemani Aini. See, bahkan dengan Ilham saja dia akan biasa saja, tapi kenapa denganku Aini terlihat aneh?
Aku mengetahuinya ketika kami tidak sengaja bertemu di koridor rumah sakit. Ketika Aini akan kembali ke kamarnya setelah menikmati sinar matahari bersama dengan Arika. Aku berhenti melangkah dan mengamati Aini, memastikan dia baik-baik saja. Melihat itu, Aini langsung mengeratkan pegangan tangannya pada kursi roda. Dan wajahnya memucat.
Aku sadar, aku sudah melakukan hal yang mengerikan. Aku memang belum 'menyentuh' Aini, hanya hampir 'menyentuh'. Tapi tetap saja itu memberikan efek yang sangat memgerikan.
Dari situ, aku bisa menarik kesimpulan bahwa apa yang berusaha dia atasi bersama Arya adalah hal ini. Satu kesimpulan, bahwa Aini pernah menjadi korban pemerkosaan. Entah itu hampir atau memang sudah terjadi.
Itu membuatku menyesal. Membuatku merasa semakin bersalah. Menyesal sedalam-dalamnya.
Andai aku bisa menahan amarahku saat itu, hal ini tentu tidak akan terjadi. Andai aku tidak mennanggapi serius omongan Aini tentang malam pertama, hal ini tidak akan terjadi.
Dan sekarang, Arya datang menemuiku dengan wajah yang masih sama, menahan amarah.
"Aini keluar hari ini. Aku nggak berharap dia akan tinggal sama kamu. Ada tempat lain yang bisa dia tuju?" perubahan nada bicara Arya membuatku mengepalkan tangan. Seolah berusaha menjauhkan aku dari Aini.
"Nggak ada. Tapi aku bisa siapin apartemen. Jam berapa dia keluar?"
"Jam berapa apartemen siap?" hanya itu jawaban Arya.
"Dua jam lagi." jawabku.
"Oke, 3 jam lagi. Aku siapin semua dokumennya. Aku sendiri yang akan mengantar Aini ke apartemen. Dan jangan coba-coba menguntit."
Keadaan menjadi rumit. Aku bahkan tidak bisa mendekati Aini lagi. Ternyata begitu menyiksa tidak bisa dekat dengan Aini.
Aku rindu dengan senyum Aini. Aku rindu ketika dia memarahiku karena tidak menjawab pertanyaannya. Aku rindu ketika dia memamerkan hasil masakannya untuk makan malam kami. Aku rindu memeluk Aini. Aku rindu bau tubuh dan juga rambutnya.
"Jangan kopi lagi." Ilham langsung merebut kopi yang ingin aku seruput. Menggantinya dengan susu coklat hangat yang biasa aku minum.
Bahkan aku tidak Sadar kalau Arya sudah pergi meninggalkan ruanganku, digantikan Ilham yang datang dengan susu coklat hangat ditangannya.
"Kamu nggak sibuk?" pertanyaanku hanya untuk mengalihkan perhatian.
Selama Aini di rawat di rumah sakit, rasanya aku menjadi kacau. Bahkan untuk sekedar memejamkan mata saja rasanya tidak bisa. Aku seperti kembali ke kehidupanku yang dulu. Bahkan obat tidur juga tidak memberikan manfaat.
"Aku cuti 2 bulan." terlihat Ilham membolak-balik dokumen yang ada di depanku. "Apa kamu akan kembali ke Jerman?"
Kaget mendengar pertanyaan Ilham, tapi aku berhasil menguasai diri. "Kenapa aku harus kembali ke Jerman?"
"Karena memang disanalah tempatmu." jawab Ilham sembari mengangkat bahunya. Tampak bahwa dia sendiri tidak yakin.
Apa benar yang diucapkan Ilham? Bahwa seharusnya aku tidak berada disini? Mungkin memang benar. Nyatanya, keberadaanku disini hanya membuat Aini terluka. Dan keberadaanku ternyata membangkitkan trauma yang sudah dia usahakan untuk dilupakan.
"vielleicht hast du recht (mungkin kamu benar)." aku memutar kursiku dan memandangi pemandangan kota yang terlihat sibuk. "Das ist meine Schuld (Itu salahku)."
Tatapan mata Ilham sulit untuk diartikan. Tapi aku bisa menangkap sorot mata yang seolah berkata 'kasihan sekali' ketika melihat mata Ilham. Sorot mata yang selalu aku hindari dan paling aku benci dari siapapun yang melihatku dengan tatapan sepert itu.
Selama beberapa bulan ini, aku merasa klop dengan Aini. Itu ternyata karena kami sama-sama memiliki trauma masa lalu. Dan kami masing-masing berusaha agar bisa lepas dari trauma itu. Mungkin aku lebih beruntung dari Aini, karena aku mendapatkan penanganan yang baik. Berbeda dengan Aini yang harus menderita lebih lama baru bisa mendapatkan penanganan.
"Jaga Aini untukku." itu keputusanku.
Benar kata Ilham bahwa aku memang tidak seharusnya ada disini. Bahwa keberadaanku sedari dulu hanya akan menyakiti orang-orang disekitarku. Sejak dulu. Bunda adalah orang pertama yang terluka karena kehadiranku. Lalu Bima. Lalu Ilham. Dan sekarang Aini. Siapa lagi nanti yang akan terluka?
Ini adalah keputusanku. Kembali ke Jerman dan menikmati hari-hari yang biasa dan menenangkan. Jauh dari orang-orang yang ku kenal, yang ku ketahui mereka akan baik-baik saja.
***
"Boleh aku bertemu dengan Aini?" tanyaku kepada Arya.
Arya mendongakkan kepalanya dari dokumen yang sedang dibacanya. Menghela napas. "Kapan?"
"Secepatnya." Arya mengangguk mendengar jawabanku.
"Dengan satu syarat." tanpa pikir panjang, aku menganggukkan kepala. " Aku ikut. Dari jauh."
Seminggu setelah kepulangan Aini dari rumah sakit, aku belum bertemu dengannya. Seperti apa wajahnya sekarang? Apa masih pucat dan ketakutan seperti terakhir kali aku melihatnya? Apa Aini makan dengan baik? Apa Aini tidur dengan baik?
Waktu yang dinanti tiba. Arya mengajak Aini untuk bertemu denganku di sebuah restoran. Ramai.
Ketika melihatku berdiri menyambut kedatangan mereka, aku bisa melihat Aini yang terkejut. Mungkin Arya tidak mengatakan kepadanya siapa yang akan menemui dirinya. Aku merasa bersyukur akan hal itu.
Entah apa yang dibisikkan Arya kepada Aini, tapi gadis itu langsung mengangguk dan berjalan kearahku. Aku menarik kursi agar dia bisa duduk.
"Terima kasih." ucapnya lirih.
Aku duduk disamping kirinya. Sengaja, agar aku tidak bisa terus memandangi wajah Aini. Yang aku yakini itu akan membuat Aini semakin takut kepadaku.
"Terima kasih kamu mau bertemu denganku lagi." kataku memulai pembicaraan. Tanpa menatap kearah Aini. "Aku minta maaf karena melakukan hal buruk ke kamu. Aku akan melakukan apapun untuk menebusnya. Tapi aku mohon, jangan benci aku."
Rasanya berat mengatakan hal itu. Seolah aku akan menerima hukuman mati dari Aini.
Aku melirik Aini sekilas. Dia tampak menundukkan kepalanya.
"Aku akan kembali ke Jerman. Sekali lagi aku minta maaf karena menyakiti kamu."
Ditempat duduknya, bahu Aini bergetar. Apa dia menangis?
Tolong jangan menangis. Tolong jangan tangisi apapun yang ada dalam hidupmu. Ingin aku mengatakan hal itu, tapi rasanya tidak pantas dikatakan olehku. Oleh orang yang sudah membuat Aini teringat kembali dengan masa lalunya yang buruk.
Rasanya waktu 10 menit terasa seabad ketika kamu melihat orang yang kamu sayangi menangis. Tapi setelah 10 menit itu, Aini mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya.
Aku merasakan tangannya yang halus menangkup wajahku dan menariknya agar menghadap ke wajahnya. Mata itu basah dan sembab. Mata itu terlihat sedih dan sakit. Itu semua karena aku.
"Apa kamu udah makan?" pertanyaan macam apa itu?
Sekali lagi, aku tidak bisa mengerti jalan pikiran Aini. Aku sedang serius membahas hal yang membuatnya sakit dan menderita, tapi pertanyaan yang dia ajukan hanya apa-aku-sudah-makan?
Tapi aku tetap menjawab pertanyaan Aini. Meski hanya dengan gelengan kepala.
Dia tersenyum. Aini tersenyum lagi kepadaku.
Seperti ada ribuan bunga mekar yang mengisi dadaku. Penuh.
"Ayo pulang. Kamu mau aku masakin apa?" tanya Aini lagi.
Peduli setan dengan pertanyaan aneh Aini. Yang aku ingin sekarang hanya bersamanya dan menikmati masakannya lagi.
"Capcay seafood." jawabku.
Aini menganggukkan kepalanya lalu bangkit dari duduk. Berjalan kearah Arya dan mengatakan sesuatu yang tidak aku dengar karena jarak kami berjauhan. Arya sepintas memandang kearahku dengan tajam, tapi selanjutnya dia menganggukkan kepala dan tersenyum. Keduanya berjalan kearahku.
"Jaga Aini." lalu Arya pergi meninggalkan kami berdua.
Sama seperti orang yang sedang dimabuk asmara, aku rela melakukan apapun untuk melihat orang yang aku cintai tersenyum lagi. Kami berdua berjalan keluar restoran bersama. Dengan memberanikan diri, aku menggandeng tangan Aini. Seperti kata Arya, aku akan menjaga Aini.