Berhasil menenangkan Bunda, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat makan malam. Sepanjang perjalanan, Bunda tak henti-hentinya menceritakan tentang tempat yang akan kami tuju.
"Itu restoran yang sangat indah. Ayah ngelamar Bunda disana." kenang Bunda sembari menatap Ayah. Dan dalam keremangan mobil, aku bisa melihat Ayah yang menatap Bunda dengan tatapan penuh memuja.
Masih terlihat bahwa kedua orangtua Ara itu terlihat masih mesra. Ah sungguh membuat iri. Apa aku nantinya juga bisa seperti itu kalau sudah menikah? Masih bisa menatap penuh cinta kepada suamiku meski kami sudah menikah puluhan tahun?
Benar kata Bunda, restoran itu sangat indah. Restoran yang bertemakan taman outdoor itu terlihat romantis. Hanya ada beberapa meja yang tersedia di area restoran. Meja sengaja ditata berjauhan, seolah memberikan privasi kepada pengunjung untuk memiliki percakapan yang pribadi.
Dalam satu meja hanya terdapat dua kursi. Jadi kalau datang kesini mungkin harus berdua, tidak bisa bertiga. Dan disetiap meja dikelilingi oleh 4 tiang, dimana setiap tiang terdapat kain yang menjutai. Menambah kesan romantis dan dramatis. Ya ampun, ada ya tempat seperti ini?
Pasti mahal nih makan disini, batinku. Tapi, kalau bersama keluarga Narendra, uang tentu bukan masalah yang harus dipikirkan secara berlebihan.
Benar saja. Ayah dan Bunda langsung memilih tempat duduk yang jauh dari tempat dudukku dan Ara. Seolah mereka ingin menikmati romantisme yang tersaji untuk mereka sendiri.
"Kamu pernah kesini?" ini pertanyaan yang sarat akan rasa penasaran. Ara menggelengkan kepala. "Ini pertama kalinya?"
Ara hanya melihat kearahku, tanpa berminat untuk menjawab. Oke, mungkin dia lelah karena berkendara sejauh ini.
Seorang pelayan mendatangi meja kami dan menyodorkan buku menu, lalu meinggalkan kami. Ketika aku mengedarkan pandangan, aku melihat sang pelayan berdiri tak jauh dari meja kami. Mungkin dia ingin memberi kami waktu untuk berdiskusi ketika memilih menu.
Aku melirik ke arah Ara, yang sibuk mengamati menu. Lalu merasa salah tingkah karena Ara menangkap basah aku yang sedang mengamatinya.
"Kamu mau pesan apa?" tanyanya pelan. Kini giliran aku yang diam saja dan menggelengkan kepala, bingung harus memilih apa untuk makan malam kali ini.
Semua menu yang tertulis sangat asing bagiku. Tidak ada bayangan bagaimana bentuk maupun rasa dari makanan yang tertulis di buku menu.
"Suka steak?" tanya Ara lagi.
Steak? Sounds good. Langsung saja aku menganggukkan kepala.
Ara menganggil sang pelayan, dan dia mendekat.
"Dua steak medium dan red wine." Ara menyebutkan menu makan malam kami kepada pelayan. Sang pelayan mencatat menu makanan kami dan berlalu.
Suara musik yang lembut dan menenangkan terdengar. Tidak terlalu keras, tapi cukup lembut dipendengaran.
Hei, ada apa dengan Ara? Tampaknya dia gelisah, karena sepertinya Ara selalu saja menolehkan kepalanya ke arah Ayah. Apa dia sedang mati bosan berdua saja dengannya? Perasaan tadi pagi kami baik-baik saja melewatkan waktu berdua saja.
Tak berselang lama, pelayan datang membawakan makan malam untuk mereka. Tak lupa red wine yang tampaknya menggiurkan juga diletakkan di meja.
"Apa kita boleh minum wine? Kan kamu nanti nyetir?" tanyaku penasaran.
"Bisa nginep di hotel yang ada disini." jawab Ara tenang. Bahkan sekarang Ara sudah menuangkan wine ke gelas yang ada dihadapannya. Dan juga dihadapanku.
Serius, ini pertama kalinya aku melihat red wine. Itu baru melihat ya, belum mencicipi. Bagaimana rasanya ya? Dan lagi, apa ada ritual khusus sebelum meminumnya?
Tidak bermaksud jelalatan dengan menatap Ara, tapi aku penasaran bagaimana Ara menikmati red wine-nya. Tapi tampaknya tidak ada yang spesial. Ara hanya mengambil gelasnya dan langsung menyesap minumannya. Setelah mengamati rasa minuman itu, Ara kembali meneguk minumannya dan menghabiskan dalam waktu singkat.
Setelah puas dengan wine, Ara mulai berkutat dengan medium steak-nya. Oke, jadi aku harus mencicip wine dulu baru makan.
Beruntungnya aku hanya mencicipi wine sedikit. Karena rasanya asam dari berbagai buah berry dan juga sedikit pahit. Aku heran, kenapa orang-orang suka dengan minuman seperti ini. Bahkan Ayah dan Bunda tampaknya juga menikmati wine mereka.
Sama seperti yang dilakukan Ara, aku langsung beralih ke steak yang ada di hadapanku. Berharap semoga rasa steak bisa menyingkirkan rasa pahit yang masih saja bertahan di ujung lidahku.
Ketika kami berdua selesai makan steak, pelayan datang mengambil piring kami dan menggantinya dengan dessert yang segar.
Lagi, Ara menikmati makanannya tanpa mau merepotkan diri berbincang denganku. Tapi, ketika aku sedang menikmati dessert-ku, Ara meletakkan sendoknya dan menatap kearahku.
"Ain." panggilnya dengan lembut. Aku terpaksa mendongakkan kepala kearah Ara.
Bukannya melanjutkan kalimatnya, Ara malah terlihat berusaha menenangkan diri. Berulang kali Ara mengatur napas. Ada apa sih?
"Ain, maaf aku selalu merepotkan kamu. Apa kamu mau aku repotkan seumur hidup? Melewatkan hari bersama sampai maut memisahkan kita?"
Tanpa aku sadari, Ara sudah memasangkan sebuah cincin di jari manisku. Cincin indah dengan berlian kecil ditengahnya tampak menghiasi jadi manisku. Apa ini mimpi?
Ara melamarku? Arael Narendra ingin seseorang seperti Aini Tedjo untuk menjadi istrinya? Ini tidak salah kan?
Aku menatap kearah Ara, berusaha mengeluarkan pertanyaan tentang apa yang sedang terjadi, tapi tidak ada kata yang keluar. Dan Ara sepertinya menyesal sudah menanyakan romantis itu ke aku.
"Pikirkan baik-baik." hanya itu yang Ara katakan setelah melihatku beberapa saat.
***
Matilah aku.
Ya Tuhan, cobaan macam apa lagi ini? Ara melamarku?
Dan setelah melamar seperti itu, dia meninggalkanku di kamar hotel sendirian!
Apa Ara menyesal sudah melamarku? Apa dia benar-benar sadar ketika melamar aku tadi?
Disini, di kamar yang sudah dipesan oleh Ara karena kami memutuskan untuk menginap malam ini. Ditambah lagi, baik Ayah maupun Ara sudah minum cukup banyak wine. Tidak sampai mabuk, tapi jelas akan bermasalah ketika kamu mengendarai mobil setelah minum cukup banyak wine. Lebih baik menghindari masalah kan.
Ayah dan Bunda ada dalam satu kamar, sedangkan aku dan Ara dalam satu kamar lainnya.
Tadi, setelah mengantarkan aku ke kamar, Ara langsung pamit kalau dia mau keluar sebentar. Ada telepon yang harus dilakukannya. Tapi, setelah 3 jam berlalu, Ara belum juga kembali.
Oke, Ain, tenangkan diri. Daripada kamu sibuk mikirin Ara, lebih baik kamu mikirin diri sendiri. Jawaban apa yang akan kamu berikan kepada Ara nanti ketika pemuda itu menagih jawaban atas lamaran yang baru beberapa jam dia ajukan.
Iya, jawaban apa yang harus aku katakan?
Aku sangat ingin menikah dan menghabiskan waktu bersama Ara. Itu sudah tidak diragukan lagi. Sebut saja aku jalang atau apapun, yang masih menginginkan orang yang sudah hampir memperkosa kamu, tapi memang aku membutuhkan kehadiran Ara. Seolah Ara adalah oksigen untukku bernapas.
Tapi aku juga takut, kalau Ara tahu masa laluku. Itu bukan hal yang bagus yang bisa dengan mudah aku ungkapkan. Apalagi keluarga Ara adalah keluarga terpandang. Bagaimana kalau ada orang yang tahu tentang masa laluku dan memberitahukan hal itu kepada keluarga Narendra?
Ini bukan hal remeh yang bisa dimaklumi dengan mudah. Ada nama baik keluarga yang dipertaruhkan disini. Maksudku, aku tidak mau mencoreng nama keluarga Ara dan mempermalukan mereka.
Memandang keluar, ke langit malam yang gelap dengan cahaya bulan yang tidak begitu bersinar. Kok rasanya kelam ya? Sekelam hati dan pikiranku. Tsah.
"Kok belum tidur?" suara Ara mengagetkanku. Apalagi kamar gelap gulita.
"Belum ngantuk." jawabku. Jujur, aku memang belum mengantuk karena otakku sibuk memikirkan banyak hal.
"Jangan terlalu dipikirkan. Ayo tidur." Ara menepuk sisi tempat tidur yang kosong.
Rasanya berat.