Aini's POV
Ara mematuhi perkataan Dokter Arya begitu saja. Iya, itu lebih baik. Karena aku memang tidak ingin memandang Ara lebih lama lagi. Menyaksikan tatapan Ara yang penuh penyesalan.
Aku pikir Dokter Arya akan langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan, tapi ternyata tidak. Dokter Arya hanya duduk di kursinya dan memandangi tanganku yang penuh lebam dan tusukan jarum infus.
"Apa ini sakit?" akhirnya pertanyaan muncul. Setelah hampir 5 menit hening.
"Nggak." jawabku. Iya, semua luka ini tidak menyakitkan. Ada bagian dalam diriku yang lebih sakit dari semua luka ini.
"Ara meneleponku setelah membawa kamu ke rumah sakit, 3 hari yang lalu. Tapi aku baru bisa datang hari ini dan itu tepat, karena kamu baru sadar sekarang." aku tidak tahu arah pembicaraan Dokter Arya, tapi aku hanya diam mendengarkan. "Dia khawatir setengah mati. Marah-marah setiap kali telepon, kenapa aku nggak buruan datang."
Tiba-tiba saja suaraku tercekat. Aku menangis. Dan untuk pertama kalinya aku menatap Dokter Arya.
Banyak hal yang ingin aku ceritakan ke Dokter Arya, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku ingin ada orang yang mengerti keadaanku saat ini. Bahwa semua luka yang ada ditubuhku bukanlah luka yang berarti. Bukan apa-apa dibandingkan dengan luka yang ada di dalam hatiku.
Hanya dengan melihat kearahku, seolah Dokter Arya tahu apa yang ada dipikiranku. Beliau memandangku dengan tatapan yang teduh dan menenangkan. Selama beberapa menit, tidak ada kata yang terucap. Hanya ada tangisanku yang memenuhi ruang rawat ini.
Bahkan ketika aku akhirnya berhenti menangis, Dokter Arya masih berbaik hati memberiku waktu.
"Aku harus gimana, Dok? Aku ingin memberitahukan ke Ara masa laluku, tapi kenapa kejadian ini harus terulang lagi?" aku menatap Dokter Arya. "Aku pasrah kalau akhirnya Ara nggak mau lihat aku lagi, kalau Ara nggak mau kenal aku lagi. Dia memang berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku."
Dokter Arya dengan segala keprofesionalitasannya, tidak pernah menyentuhku kecuali untuk bersalaman. Tapi kali ini, beliau memelukku dengan lembut. Bukan pelukan yang berarti lain, hanya pelukan untuk menguatkan.
"Ara pintar. Dia sudah tahu kalau kamu pernah mengalami hal ini sebelumnya. Dia menarik kesimpulannya sendiri. Tapi lihat, dia masih tetap melamar kamu."
Aku harus bagaimana menanggapi perkataan Dokter Arya? Ara suda lama tahu kalau aku pernah mengalami hal memalukan ini? Sejak kapan dia tahu? Dan aku hanya melongo ketika mendengar informasi itu.
"Beruntungnya, Ara bukan tipe laki-laki yang menjunjung tinggi keperawanan. Jadi, lebih baik bicarakan ini dengan Ara, bukan menghindarinya."
Apa Ara masih mau menerimaku? Aku bukan perempuan yang baik. Bahkan aku sudah dinodai dua kali. Garis bawahi, DUA KALI!
Laki-laki mana yang cukup waras untuk mau menerima perempuan seperti aku?
"Aku tahu, kamu mulai bisa menikmati hidup ketika bersama Ara. Apa salahnya mencoba sekali lagi untuk bangkit?"
Bangkit? Yang dulu saja aku merasa belum bisa mengatasi, dan sekarang ditambah dengan hal ini? Apa aku bisa?
"Mudah memang ngomong dan nyuruh kamu untuk bangkit. Tapi aku yakin, dukungan dari orang yang menyayangimu pasti akan memberikan efek positif. Itu bisa nge-boost semangat kamu untuk bangkit." Dokter Arya menambahi, seolah tahu kalau aku ragu.
"Mungkin Ara bisa menerima, tapi bagaimana dengan keluarganya?"
"Makanya, komunikasikan dengan Ara. Dan aku yakin, keluarga Ara tidak segampang itu men-judge orang. Mereka orang baik." Dokter Arya bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Ketika mencapai pintu, beliau berbalik dan berkata, "Ara menunggumu."
Aku hanya bisa memandangi kepergian Dokter Arya. Tanpa sempat berkata. Padahal banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada beliau, juga ada banyak hal yang ingin aku katakan.
Sepeninggalan Dokter Arya, ruangan menjadi sepi. Sempat ada suara pintu terbuka, menandakan Ara yang memasuki ruangan, tapi setelah itu sepi lagi.
Masih tidak berani menatap Ara, aku hanya bisa menatap dinding yang ada di sisi kiriku. Padahal Ara ada disebelah kananku.
Aku bukan orang bodoh. Setelah semua yang terjadi, aku memang pantas untuk ditinggalkan. Aku juga tidak berharap orang seperti Ara mau bersamaku. Itu terlalu mewah dan berlebihan bagiku.
***
Hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit. Selama itu, Ara dengan setia menemaniku. Tidka banyak berkata ataupun bertanya. Hal itu membuat kami terasa jauh. Tubuh kami memang dekat, tapi hati dan pikiran kami tidak.
Setiap malam, aku meyakinkan diri untuk mengakhiri semua ini. Maksudku, hubungan diantara kami. Bahkan aku sudah merelakan hati dan tubuhku untuk melepas Ara. Tapi kok rasanya berat ya?
Selama ini, aku memang menjalin hubungan spesial dengan beberapa laki-laki, tapi mereka semua berbeda dengan Ara. Perlakuan Ara yang begitu memuja, membuatku merasa bahwa aku ini spesial dimata Ara. Hal itu membuatku merasa berat untuk melepas semua.
Iya, aku sadar dan tahu kalau aku ini terlalu rakus. Nggak usah dibilangin lagi.
Pergolakan batin itu membuatku down. Jujur saja kejadian ini membuat aku merasa berada di titik terendah dalam hidupku. Yang lebih menyebalkan lagi, aku hanya bisa menangisi hal-hal yang sudah berlalu. Hal-hal yang hanya menyisakan luka batin.
"Kalau capek, ngomong. Biar kita bisa istirahat." berulang kali Ara mengatakan hal itu. Memastikan aku nyaman dalam perjalanan kembali ke Jogja.
Aku hanya diam saja. Bahkan aku tidak mau repot-repot menoleh kearah Ara.
See, bahkan setelah aku mengacuhkan Ara seperti itu, dia tetap saja memberikan perhatian yang lebih kepadaku.
Kata-kata Dokter Arya mulai berputar di kepalaku. Ara yang berbeda dengan orang-orang yang berpikir bahwa keperawanan itu adalah hal yang mutlak bagi seorang calon istri. Itu benar atau Ara hanya menunda waktu untuk berpisah denganku?
Perjalanan yang memakan waktu hampir 10 jam itu dilalui dalam kesunyian. Benar-benar hanya Ara yang bermonolog.
Lucu ya. Disaat dulu aku berharap Ara bisa lebih cerewet, aku berusaha untuk membuat Ara berbicara meski pada akhirnya aku lebih banyak bermonolog. Sekarang malah aku yang berbalik mendiamkan Ara. Dalam hati, aku hanya bisa tertawa mengejek diriku sendiri.
Sampai di rumah. Rumah Ara maksudnya.
Ara masih setia menemani dan membantuku untuk masuk ke kamar.
"Aku nggak ngasih tahu Ayah dan Bunda kalau kita udah pulang. Aku bilang kalau kita akan langsung ke Bali untuk liburan. Jadi kamu bisa istirahat lebih lama tanpa gangguan dari mereka." kata Ara, sambil menyiapkan tempat bagiku untuk berbaring.
Kita percepat saja ya.
Beberapa hari kedepannya, aku masih diam saja. Hanya benar-benar diam.
Ketika pagi datang, aku hanya akan menatap ke jendela. Memandang langit pagi yang cerah. Ara akan selalu mengantarkan sarapan, makan siang dan makan malam ke kamar. Aktifitasku hanyalah makan, tidur dan ke kamar mandi. Tidak lebih dari itu.
Ketika malam datang, Ara tidak lagi tidur disampingku. Dia hanya akan tidur di sofa yang ada di kamar. Dan ketika aku menjerit dan berteriak karena mimpi buruk sialan itu, Ara akan datang kepadaku dan memberiku pelukan yang menenangkan lalu membiarkanku tidur sendiri di tempat tidur ketika aku sudah tenang. Seperti itu setiap malam. Sampai aku merasa lelah harus mengalami hal buruk itu aku.
Aku bahkan melupakan tugasku untuk menyiapkan makanan Ara dan membersihkan rumah. Dan aku juga tidak pernah menatap wajah Ara lagi. Untuk apa?