Pagi ini, aku mendengar hal yang sangat diluar kebiasaan. Dari dalam kamar mandi.
Aku mendengar itu dengan sangat jelas. Ada suara orang yang sedang muntah.
Apa ada yang morning sickness di rumah ini?
Ketika aku duduk di tempat tidur, pintu kamar mandi terbuka. Tampaklah Ara yang baru saja menggunakan kamar mandi. Dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari lamanya, aku melihat wajah Ara.
Wajah itu terlihat sangat berbeda. Seperti bukan Ara yang biasanya aku lihat. Yang membuatku masih mengenali kalau itu Ara hanyalah matanya.
Sama seperti aku, Ara juga terkejut ketika melihatku. Apa ada sesuatu yang ingin dia tutupi?
"Maaf, aku berisik ya?" setelah mengatakan hal itu, Ara berjalan ke lemari pakaiannya. Mengambil sesuatu dan menguncinya.
Mencurigakan.
Seingatku, Ara tidak pernah mengunci lemari bajunya. Karena aku selalu bisa mengakses lemari bajunya. Kenapa sekarang dikunci segala?
Tapi aku tidak menyuarakan pertanyaan itu.
Setelah Ara menghilang keluar kamar, aku berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Entah kenapa, rasanya aku ingin berlama-lama mandi. Menikmati tubuh yang berendam dalam air hangat. Sembari memikirkan Ara.
Ya ampun, betapa aku jahat kepada Ara. Banyak yang berubah, terlebih pada wajah Ara. Apa ya? Wajah Ara terlihat semakin tirus. Tulang pipinya terlihat semakin menonjol. Ara memang bukan tipe pria yang bertubuh kekar. Tubuh Ara terbilang biasa saja. Dan kalau ada perubahan, wajah adalah bagian tubuh yang pertama kali terlihat. Itu sih menurutku.
Tak terasa setengah jam aku berendam. Dan sepertinya hari sudah sedikit siang.
Mengenakan baju, aku melihat Ara yang tertidur di sofa kamar. Iya, ada banyak hal yang telah berubah dalam wajah Ara.
Hatiku rasanya disayat ketika melihat bagaimana wajah Ara yang seperti kehilangan cahaya itu. Ketika ingin mendekat ke Ara, tiba-tiba saja dia bangun. Terkejut karena mendapati diriku yang berdiri dihadapannya.
"Maaf, apa aku mengganggu?" tanya Ara.
Kenapa Ara selalu mengatakan maaf? Dia tidak salah apa-apa. Aku yang bersalah disini.
Salahku karena ceroboh. Salahku karena mengabaikan Ara selama ini. Salahku karena aku tidak bisa menjadi perempuan yang sempurna untuk Ara. Lalu aku menangis.
"Hei ada apa? Apa ada yang sakit?" Ara langsung bangkit dari duduknya dan mengecek bagian tubuhku.
Aku hanya bisa memeluk Ara. Menangis dipelukan Ara.
Ara yang bingung dengan tingkahku hanya bisa memelukku sambil membelai punggungku dengan lembut.
Setelah sedikit tenang, Ara membimbingku ke tempat tidur dan mendudukkanku ditepi tempat tidur. Ara bersimpuh dihadapanku.
"Ada apa? Bagian mana yang sakit?" kembali Ara mengulangi pertanyaannya.
Aku hanya bisa mengelengkan kepala. Lalu aku menangkup wajah Ara dan memperhatikan dengan seksama.
"Maaf." ucapku lirih, disela tangisku.
Dihadapanku, Ara hanya bisa menatapku dengan tatapan bingung.
Perlu waktu yang tak sedikit untuk bisa menenangkan diri. Dan juga menghentikan isakan tangisku.
"Aku minta maaf. Aku bikin kamu kek gini." lalu aku menangis lagi.
Ya ampun, berapa galon stok air mataku?
"Hei, its okay. Aku baik-baik saja kok." lalu Ara memelukku lagi. "Aku seneng kamu udah mau ngomong sama aku lagi."
Kok rasanya aku seperti ditampar ya?
Tidak ada hal lain yang aku inginkan saat ini selain memeluk Ara.
Betapa bodohnya aku sudah mengabaikan Ara belakangan ini. Aku terlalu egois dengan memikirkan diriku sendiri, tidak mau memikirkan Ara barang sedetikpun ketika Ara hanya mencurahkan perhatiannya kepadaku.
"Kamu mau sarapan apa?" lihat kan, betapa Ara perhatian kepadaku. Atau paling tidak aku merasa seperti itu.
"Bubur." jawabku, sembari menatap Ara.
"Oke, aku belikan bentar ya." lalu Ara bangkit untuk membeli bubur.
Belum saja Ara membalikkan tubuhnya, aku langsung menarik tangannya. Menghalangi kepergiannya. Langsung saja Ara memandang kearahku, seolah bertanya kenapa aku menghalangi langkahnya.
"Delivery aja." Ara langsung menyetujui ideku.
Kenapa aku ingin sarapan bubur? Entahlah, tapi aku tiba-tiba saja kepikiran Ara yang barusan muntah. Tentu hal itu membuat perut dan mulut tidak nyaman.
Sesuai dugaan, perut Ara tidak beres. Aku mengamati ketika Ara sedang makan. Beberapa kali Ara meringis, seperti menahan sakit ketika menelan buburnya.
"Kenapa?" tanyaku, memperhatikan Ara yang langsung mengubah ekspresi wajahnya ketika aku menangkap basah dia yang sedang meringis menahan sakit.
"Hah? Nggak papa kok. Gimana buburnya? Enak?"
Aku semakin menaruh curiga kepada Ara. Dan juga semakin penasaran dengan Ara. Apa yang berusaha dia sembunyikan.
Baik aku maupun Ara tidak menghabiskan bubur kami. Padahal aku yakin, bubur itu adalah bubur paling enak yang pernah aku makan selama ini.
Berusaha kembali ke rutinitas, aku membersihkan meja dan mencuci piring kotor. Ara membantuku membereskan pekerjaan yang ada. Setelah itu, kami duduk berdua disofa depan televisi. Seperti biasanya ketika kami selesai sarapan dan belum berniat melakukan kegiatan lainnya.
Oke, ini waktunya.
Meski aku tahu Ara sudah tahu tentang masa laluku, aku tetap berkeinginan memberitahu Ara sendiri. Walaupun itu terlambat. Walaupun itu nantinya akan membuat Ara menjauh dariku. Aku akan terima konsekuensinya.
"Ara, ada yang ingin aku sampaikan." kataku, memulai pembicaraan yang serius ini.
Aku mengamati wajah Ara, mengamati ekspresi Ara dan bagaimana dia menatapku. Dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Aku menerima lamaran kamu. Aku ingin sebuah pernikahan yang berkesan, seperti pernikahan Princess Eugenie. Nggak tahu kenapa aku ingin suatu hari nanti menikah di katedral dimana Princess Eugenie menikah. Aku ingin menggunakan gaun yang sama dengan yang dipakai Princess Eugenie. Itu sebabnya aku belajar keras untuk bisa berbahasa Inggris dengan lancar dan fasih. Berharap ada seorang yang datang melamarku dan menerima aku apa adanya." Aku menangis, tapi aku juga tersenyum ketika menceritakan mimpiku. Aku tidak tahu kenapa aku menangis ketika menceritakan itu. Keinginan terbesarku yang sangat ingin aku wujudkan. Walaupun itu terdengar mustahil.
"Tapi aku sadar siapa aku. Aku hanya perempuan malang yang dibuang keluarganya karena sudah ternodai. Kamu tahu kenapa aku dibuang? Itu karena aku sudah tidak perawan lagi. Ketika aku berumur 8 tahun aku diperkosa oleh orang yang sangat aku percaya. Adik Bapak melakukan hal itu kepadaku, tapi Bapak malah marah dan bilang kalau aku ini hanya aib."
Berkali-kali Ara mengusap air mataku, berkali-kali itu pula air mataku mengalir. Tidak ada habisnya. Dan Ara tidak menyela, hanya mendengarkan semua ceritaku yang terputus-putus karena tangisan. Tapi aku tetap tersenyum. Aku ingin Ara melihatku sebagai wanita yang tegar dan kuat. Meski itu untuk terakhir kalinya.
"Hingga akhirnya aku bertemu Ibu Panti, dan beliau membawaku ke Jogja. Lalu aku bertemu Kak Maria, dia yang mengajariku bahasa Inggris sampai fasih. Aku juga bertemu dengan Dokter Arya yang baik, yang sabar melewati 7 tahun sesi konselingku. Hingga aku bisa bangkit dari keterpurukan ini dan menjalani kehidupan yang normal. Tapi aku sadar diri aku ini siapa. Aku menerima lamaranmu sebelum kejadian itu. Kalau kamu berubah pikiran, aku akan menerima keputusan kamu."
Aku masih tersenyum. Berusaha tersenyum secantik mungkin dihadapan Ara. Meski aku tahu, wajahku tidak akan terlihat cantik sama sekali. Jelas tidak akan cantik karena aku tersenyum sembari menangis.
Ara juga tersenyum. Itu adalah senyum pertamanya hari ini. Lalu Ara berlutut dihadapanku dan mengenggam tanganku dengan erat, seolah tidak mau melepasku.
"Nur Aini Tedjo, ijinkan aku mengabulkan mimpimu. Membawamu ke pernikahan yang kamu inginkan sejak dulu. Di katedral itu, dengan gaun itu. Aku memang bukan laki-laki yang sempurna, tapi aku akan berusaha untuk membahagiakanmu. Will you marry me?"