Aini's POV
Apa Ara bercanda? Setelah semua yang aku katakan, apa itu belum jelas?
"Ara, kamu denger kan apa yang aku omongin? Aku udah nggak suci lagi. Bahkan aku udah 2x mengalami hal itu. Dua kali Ara." tanpa aku sadari, suaraku meninggi.
"Itu bukan masalah bagiku." dengan entengnya Ara menjawab.
"Saat ini memang bukan masalah, tapi bagaimana dengan nanti? Setelah lama kita bersama? Setelah kamu merasa jenuh denganku?"
Terlihat Ara mengatur napas. Mengendalikan emosinya mungkin.
"Aku tahu apa yang menimpa kamu dulu bahkan sebelum aku melamar kamu. Aku nggak peduli dengan hal itu, karena itu masa lalu. Yang aku inginkan adalah masa depan denganmu."
"Ara aku-" aku tidak bisa melanjutkan kalimatku karena Ara sudah membungkam bibirku dengan bibirnya.
Our first kiss!
Terselip rasa bahagia ketika Ara mengatakan bahwa dia tidak peduli dengan semua masa laluku. Tapi aku juga merasa khawatir kalau suatu saat Ara akan membahas hal itu ketika kami sudah hidup bersama. Membina rumah tangga.
Tapi pikiran itu langsung tertutup rapat oleh ciuman Ara yang semakin intens dan juga menuntut. Otakku langsung kosong. Tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk menangani serangan Ara.
Ketika aku pikir aku akan mati kehabisan napas, Ara melepaskan tautan bibir kami. Dia pun terlihat seperti berusaha keras menghirup banyak udara untuk memenuhi paru-parunya.
"Akan aku pastikan kalau aku nggak akan pernah mengungkit hal itu. I'll ask you once again, will you marry me?"
Apa lagi yang bisa aku pikirkan? Diiringi derai air mata, aku menganggukkan kepala. Memastikan Ara melihat aku menganggukkan kepala, aku mengulanginya beberapa kali. Bahkan aku mengatakan 'ya' berulang kali agar Ara mendengarnya dengan jelas.
Senyum Ara yang paling manis terukir diwajahnya. Aku sangat suka melihat Ara tersenyum, dan aku ingin melihat senyum itu seumur hidupku.
***
Ara's POV
Tidak ada yang lebih membahagiakan lagi selain melihat Aini yang tersenyum. Aini yang kembali menjadi Aini yang aku kenal. Aini yang cerewet dan juga jahil. Aku sangat merindukan Aini-ku. Dan pelukan yang erat rasanya tidak bisa mengungkapkan betapa aku sangat merindukannya.
Oke, aku sedikit merevisi pernyataan tentang aku merindukan Aini yang cerewet. Karena rasanya aku tidak bisa lebih lama mendengar Aini yang mengomeliku karena akhirnya dia tahu kalau gastritis-ku kambuh. Sungguh, aku merindukan Aini, tapi tidak dengan omelannya yang semakin tidak terkendali.
Tapi aku tetap menerimanya. Karena omelan Aini menandakan bahwa dia perhatian kepadaku.
Yah, paling tidak itulah yang Ayah katakan ketika Bunda mengomeli Ayah.
"Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin? Kamu tahu kan kalau itu bukan penyakin yang sepele?" lagi, omelan masih berlanjut ketika makan siang. "Jangan senyum-senyum aja, aku lagi marah tau!"
Bukan bermaksud meremehkan Aini yang sedang memberikan ceramahnya. Aku hanya merasa sangat bersyukur, Aini kembali menjadi dirinya sendiri secepat itu. Meski aku tahu, Aini masih menyimpan luka yang sangat dalam dihatinya.
Ain, aku tidak bisa menjanjikan kesempurnaan kepadamu, aku hanya akan membuatmu bahagia. Dan mereka yang sudah membuatmu menangis, aku akan membuat perhitungan dengan mereka. Dan hanya ada aku seorang yang bisa melihat tubuhmu.
"Ara, denger nggak sih?" suara cempreng itu terdengar lagi.
"Iya denger. Aku makan." langsung saja Aini menatapku dengan tatapan tajam yang mampu membunuh itu sembari berkacak pinggang.
Ternyata makan dengan tatapan tajam calon istri itu lebih nikmat daripada makan sendirian.
***
Aini's POV
Gastritis? Jujur aku baru pertama kali mendengar nama itu. Nama ya? Iya, itu nama penyakit. Mungkin lebih familiar kalau aku menyebutnya dengan maag kronis.
Itulah alasan kenapa Ara muntah. Karena maag-nya kambuh.
Apa pemicunya? Tentu saja stress.
Setelah aku introgasi, Ara terakhir kali mengalami gastritis ketika dia sedang menempun pendidikan spesialisasinya 5 tahun yang lalu, juga ketika Bunda selalu menanyakan perihal kekasih kepadanya sekitar setahun yang lalu. Dan sekarang dia merasakan penyakit itu lagi karena aku. Ya ampun, aku benar-benar orang yang sangat tidak tahu terima kasih.
"Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?" entah sudah berapa kali aku mengulang pertanyaan ini.
Penyesalanku semakin besar, kala Ara malah tersenyum ketika aku menanyakan hal itu.
"Ara, jangan malah senyum gitu. Ini bukan hal yang sepele." langsung saja aku memberinya tatapan tajam. Berharap Ara bisa bungkam dengan tatapanku itu.
"No need to worry, Im fine." jawabnya enteng.
Iya, enteng. Ara mungkin menganggap enteng karena dia sudah sering berurusan dengan penyakit itu, tapi ini adalah hal baru bagiku. Apalagi kalau mengingat akulah penyebab Ara kembali mengalami gastritis ini.
"Kamu tahu kan kalau dianggap enteng, itu bisa membunuh kamu?"
Oke, lupakan lamaran yang romantis beberapa waktu yang lalu. Masalah ini lebih penting dari lamaran itu. Kesehatan Ara dan semua yang menyangkut Ara.
Aku jadi ingat sesuatu. Tentang Ara yang selalu memesan susu coklat hangat. Jadi, alasan dia selalu memesan susu coklat hangat alih-alih kopi karena kesehatannya? Dia tidak bisa menikmati minuman berkafein itu karena akan berpengaruh kepada lambungnya? Great Ain, kenapa kamu nggak prnah berpikir sampai sejauh itu?
"Toh semua orang akan mati, tinggal tunggu waktu aja kan?" itu jawaban yang sangat menyakitkan. Rasanya aku ingin melempar pisau dapur kearah Ara. Mempercepat kematiannya!
"Daripada mikir itu, kenapa nggak mikir Ayah dan Bunda?"
Deg. Aku langsung mematung. Ayah dan Bunda ya?
Aku panik. Bagaimana aku akan menemui Ayah dan Bunda setelah ini?
"Aku nggak bilang sama Ayah dan Bunda. Biar ini jadi rahasia kita. Kalau kamu udah siap, kita baru ketemu Ayah dan Bunda untuk membahas pernikahan kita." ucapan Ara bagai telaga dalam kekeringan.
Kepanikan yang tadi melanda, perlahan sirna. Ara memang selalu tahu bagaimana caranya membuatku tenang. Betapa beruntungnya aku bisa memiliki Ara sebagai pendamping hidup.
Dengan perlahan, aku menggenggam tangan Ara. Merasakan kehangatan dan kelegaan yang tidak pernah aku rasakan.
"Makasih." ucapku lirih.
Mengangguk dan tersenyum, Ara lalu memelukku. Pelukan yang sangat ingin aku rasakan setiap hari selama aku hidup.