Chereads / Aini : Perjuanganku / Chapter 34 - Makan Malam Keluarga

Chapter 34 - Makan Malam Keluarga

Ainni's POV

Perlu waktu yang lama bagiku untuk mempersiapkan mental bertemu dengan keluarga Ara. Aku memang sudah bertemu dengan Ayah dan Bunda, aku bahkan juga sudah bertemu dengan Bima dan Ilham. Tapi pertemuan kami hanyalah pertemuan biasa. Tidak seperti sekarang ini.

Rasanya aku jadi sangat tertekan.

Malam ini, berhari-hari setelah aku menerima lamaran Ara, akhirnya kami akan bertemu dengan Ayah dan Bunda. Dalam acara makan malam keluarga. Mumpung kedua adik Ara ada di Indonesia.

"Tenang aja, mereka nggak gigit." aku tahu Ara berusaha mencairkan suasana, tapi tampaknya itu tidak berhasil. Aku tetap gugup.

Bagaimana tidak gugup? Suasana pertemuan ini rasanya sangat formal. Meski berkali-kali Ara bilang kalau ini hanyalan acara makan malam keluarga, tapi aku tetap merasa curiga. Karena pasti akan ada pembicaraan serius yang akan terjadi.

Lihat saja Ara, dia mengenakan kemeja dan jas yang sangat rapi meski tidak mengenakan dasi. Acara keluarga macam apa yang didatangi dengan mengenakan pakaian seformal itu? Bahkan Bima dan Ilham juga mengenakan pakaian yang sama. Kami bertemu di pintu masuk restoran.

Satu-satunya orang yang berpakaian cukup santai hanya aku, karena aku hanya mengenakan kaos crop lengan panjang dan juga flares skirt. Itu pakaian terbaik yang bisa aku temukan setelah membongkar lemari yang penuh dengan baju aneh pemberian Bunda. Karena aku pikir kami hanya akan makan malam bisasa.

"Aku menyesal menerima ajakanmu." omelku berkali-kali.

"Simpan omelanmu untuk nanti." hanya itu jawaban Ara.

Lihat, bahkan Ayah dan Bunda juga mengenakan pakaian yang sangat formal. Bunda terlihat sangat cantik dengan mini dress berwarna merah yang tidak terlalu ramai. Ditambah cape yang tersampir di pundak beliau membuat tampilan Bunda sangat mempesona. Sangat berbanding terbalik denganku.

Ayah sama tampannya dengan Ara mengenakan setelan jas dan kemeja. Ugh!

"Ain, apa kabar? Long time no see." Bunda langsung bangkit dari duduknya dan menyambut kedatanganku. Bahkan Bunda sudah memilihkan kursi untukku, agar aku duduk disamping beliau.

Great!

Sepintas aku melihat tatapan ketiga putra Narendra. Seolah mereka bisa berbicara melalui tatapan mata. Entah apa yang mereka bicarakan.

"Yeah." suara Ilham tiba-tiba terdengar. Lalu Bima dan Ilham langsung melakukan tos.

"Apa makan malam bisa dimulai? I'm so hungry." kata Bima, terlihat mengusir atmosir canggung.

"Kita masih menunggu seseorang lagi. Jadi sabar ya." suara lembut Bunda membius. Aku merasa tenang setelah mendengar suara itu.

Seseorang? Siapa lagi?

Lalu dari kejauhan tampak seorang pemuda memasuki restoran. Dia juga berpakaian formal, sama seperti kami, kecuali aku. Awalnya aku pikir itu kembaran Ilham, karena dari kejauhan terlihat mirip Ilham. Tapi ketika pemuda itu semakin mendekat, aku langsung mendekap mulutku. Tidak tahu harus berkata ataupun bereaksi seperti apa.

Itu Angga. Nur Angga Tedjo.

Tapi, bagaimana ceritanya Angga bisa ada disini?

"Simpan semua hal yang ingin disampaikan sampai makan malam selesai. Kita akan mulai berbincang serius setelah makan malam." Ayah seolah tahu apa yang ingin aku lontarkan.

Benar saja, Ayah lalu mengerlingkan matanya kearahku. Jelas itu sebuah godaan.

Seperti kata Ayah, makan malam tidak ada pembahasan yang serius. Pembicaraan yang terjalin hanyalah seputar keseharian dan juga pekerjaan. Tidak ada hal serius yang dibawa ketika sedang menyantap makanan. Dan itu dipatuhi oleh semua anggota keluarga.

Berulang kali aku melirik Angga, tapi tampaknya dia tidak tertarik kepadaku. Bukan bermaksud apa-apa, hanya saja apa dia tidak penasaran dengan apa yang terjadi dengan kakaknya?

Setelah makan malam berakhir, yang hanya menyisakan wine yang tertinggal di meja, barulah suasana menjadi hening. Tegang.

"Aku akan menikah dengan Aini di Inggris. Karena mungkin akan banyak persiapan, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi." Ara tak berhenti menatapku ketika mengungkapkan keinginan kami untuk menikah.

"Kenapa di Inggris? Kenapa nggak di Koln aja sekalian?" tanya Bima penasaran.

"Aku ingin mewujudkan mimpi Aini menikah di St. George. Sama seperti Putri Eugenie."

Aku langsung menundukkan kepalanya. Malu.

"Lalu, apa yang bisa kami bantu?" kini Bunda yang terlihat antusias.

"Gaun mungkin."

Bunda langsung terlihat berbinar. Yah, apalagi yang akan menarik perhatian para perempuan selain gaun dan perhiasan?

Ada untungnya aku duduk disamping Bunda. Karena Bunda langsung menyeretku dalam pembicaraan serius mengenai gaun pernikahanku nanti dan juga perhiasaan yang akan dikenakan. Oh, juga tentang sepatu.

Meski sibuk dengan pembicaraan tentang gaun bersama Bunda, mataku tetap saja tidak bisa fokus. Selalu melirik ke arah Angga yang duduk tepat dihadapanku.

Pembicaraan serius itu terhenti ketika Ayah mendehem, meminta perhatian kami semua.

"Ada seseorang yang spesial yang ingin Ayah kenalkan ke kalian." sambil menoleh kearah Angga, "Nur Angga Tedjo, adik Nur Aini Tedjo."

Kenapa Ayah bisa mengenal Angga?

"Ara sudah menceritakan kepergian kalian beberapa waktu yang lalu. Dan Ayah serta Bunda sudah bertemu dan berbincang dengan Angga. Surprisingly, Angga bersedia pindah ke Jogja, biar kita saling berdekatan." Ayah menjelaskan pertanyaan yang belum aku lontarkan.

"Jadi, apa itu artinya aku akan menjadi kakak?" Ilham dengan penuh harap bertanya.

"Tergantung Angga. Apa dia mau bergabung menjadi Narendra atau tidak."

What? Apa itu artinya Angga akan memiliki nama Narendra dibelakang nama Tedjo? Atau bagaimana?

"Jangan mau jadi adik Ilham. Rugi." Bima yang sedari tadi hanya memperhatikan, langsung menimpali perkataan Ilham. Keduanya memang terkenal dengan kejahilannya, berbeda dengan Ara yang lebih kalem.

"Kalau tidak merepotkan, aku ingin menyandang nama Narendra juga."

Suasana langsung hening. Terlebih aku, yang tidak percaya mendengar Angga berbicara seperti itu.

Meski kami semua terdiam, tidak berlaku untuk Bunda. Secepat kilat Bunda sudah berdiri disamping Angga dan memeluk Angga dengan penuh sayang.

"My big baby."

***

Ara's POV

Rasanya senyum ini tidak bisa menghilang dari wajahku. Apalagi kalau mengingat Aini yang menerima semua perkataanku tanpa berusaha untuk membantahnya. Sangat berbeda dengan Aini yang biasanya, yang akan membantah setiap kata yang aku katakan.

"Puas banget kayanya Pak Dokter yang satu ini." sebagai gantinya, Aini tak henti meledekku.

Itu tetap tidak akan menyingkirkan senyuman dari wajahku.

Aku sangat puas malam ini.

Bisa memeluk Aini dengan erat sambil terlelap. Hal yang sangat aku rindukan belakangan ini, tidur sambil memeluk Aini.

"Nggak masalah kita pindah ke Jerman?" tanyaku lagi. Kami memang sedang membicarakan tentang aku yang akan kembali ke Jerman setelah menikah, karena aku tidak bekerja lagi di Indonesia.

Yah, meski sudah mendapatkan Aini, tetap saja ada kekhawatiran yang melandaku. Apalagi kalau bukan kepindahan kami ke Jerman. Mengingat aku sudah mengajukan resign dari rumah sakit tempatku bekerja sebelum ini, yang berarti aku akan kembali ke Jerman dan mengais rejeki disana.

Dan aku tahu, Aini juga pasti memiliki kekhawatirannya sendiri.

"Bukannya istri harus ikut kemana aja suaminya berada?" sambil tersenyum, Aini mengatakan hal itu.

Itu kegalauan terbesarku saat ini.

Banyak hal yang harus Aini sesuaikan ketika kami memutuskan untuk menetap di Jerman. Bahasa, gaya hidup, kebudayaan, cuaca. Tentu itu bukan hal yang mudah.

"Pikirkan baik-baik sebelum pernikahan kita. Kalau mau berubah pikiran, jangan dadakan." ucapku. Yang lebih ditujukan untukku sendiri.

"Kita bisa mulai pelan-pelan penyesuaian. Kamu mau ngajakin aku liburan ke Jerman? Mumpung aku pengangguran."

Lihat Aini, meski aku tahu dia juga merasakan kekhawatiran, tapi bisa-bisanya dia mengerlingkan mata untuk menggodaku. My Aini is back!

Aku menganggukkan kepala menyetujui ide Aini.

Memang tidak bisa langsung seketika penyesuaian. Toh masih ada waktu 2 bulan sebelum kami benar-benar menetap di Jerman. Kami bisa berkunjung ke Jerman dan membuat Aini paham tentang keadaan disekitar tempat tinggal kami nantinya. Aini bisa perlahan menyesuaikan. Itu dulu menurutku yang harus kami lakukan.

Lalu kami terlibat pembicaraan yang serius tentang kunjungan pertama Aini ke Jerman. Setelah semua dokumen pendukung siap, seperti paspor dan visa.

Aku juga menceritakan masa kecilku disana, tempat mana saja yang harus dikunjungi ketika berada di Jerman. Oh, dan bagaimana kehidupan Jerman yang mungkin akan sangat berbeda dengan di Indonesia. Sangat berbeda malah.