Aini's POV
Persiapan pernikahan ya?
Sesuai dengan kesepakantan, aku dan Ara berkunjung ke Jerman. Menikmati hari-hari kami sebelum pernikahan dan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jerman.
Benar-benar sangat berbeda dengan di Indonesia.
Okelah, ini tugas baru yang menantang. Tapi untuk sosialisasi, sepertinya sangat berbeda dengan Indonesia. Dimana mereka akan sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Benar-benar hanya mereka sendiri dengan kegiatan. Tidak ada acara mencampuri urusan orang lain, karena waktu 24 jam mereka akan habis untuk mengurusi hidup mereka sendiri.
Hmm, mungkin memang orang Indonesia harus meniru gaya hidup yang satu ini. Tidak mencampuri urusan orang lain.
Dan untuk kendala bahasa, ini adalah tantangan jangka panjang lain. Dimana aku harus berusaha lebih keras lagi untuk bisa berbicara bahasa Jerman dengan fasih. Apalagi aku tidak pernah familiar dengan Jerman dan segara printilannya. Kecuali setelah aku mengenal Ara dengan dekat.
Untuk transportasi, selama kedatanganku hingga 2 minggu aku tinggal di Jerman, kebanyakan warga menggunakan transportasi umum atau sepeda. Sangat berbeda dengan Indonesia kan?
Ini petaka bagiku yang jarang berjalan ataupun bersepeda. Mana mereka jalannya nggak bisa pelan.
"Itu karena kaki kamu nggak sepanjang mereka." itulah tanggapan Ara ketika aku mengeluhkan tentang orang-orang yang berjalan dengan cepat. Seolah ada yang mengejar mereka.
Memang sih, dari segi tinggi tubuh, aku merasa paling kerdil disini. Oke, tanggapan Ara ada benarnya juga soal tinggi tubuh.
Aku jadi berpikir, kalau aku memiliki anak, aku berharap anakku tidak sependek aku. Aku berharap gen tinggi mereka mengambil gen Ara.
Apa lagi ya yang berbeda antara Jerman dan Indonesia? Jangan membahas cuaca, karena Jerman adalah negara 4 musim, sedangkan Indonesia adalah negara 2 musim.
Oh hampir lupa.
Selain di Jerman, aku juga berkesempatan mengunjungi negara Ratu Elizabeth itu. Seumur hidup, aku hanya bisa membayangkan untuk bisa menginjakkan kaki di Inggris, tapi sekarang impianku terpenuhi. Dan bahkan aku akan menggelar pernikahan disini.
Ya Tuhan, tolong bangunkan aku sekarang kalau ini hanya mimpi.
Kedatanganku ke Inggris selain untuk berlibur dan mengunjungi Bima, juga untuk fitting baju pengantin. Bayangkan, gaun pernikahan yang dirancang oleh perancang busana yang sama dengan yang merancang gaun pernikahan Princess Eugenie!!
Tapi pada akhirnya aku tidak akan mengenakan gaun yang sama persis dengan milik Princess Eugenie, meski sebenarnya aku sangat ingin. Entahlah, rasanya aku hanya ingin tampil berbeda pada hari spesialku nanti.
Bunda sangat banyak membantu dalam persiapan pernikahan ini. Terlebih tentang gaun.
Aku sangat bersyukur memiliki calon ibu mertua yang sangat baik. Bahkan kata Ara, sekarang yang menjadi anak Bunda adalah aku, bukan Ara, Bima, ataupun Ilham. Oh ditambah dengan Angga. Tapi karena Angga masih harus sekolah, jadilah dia di Jogja bersama dengan Ayah.
"Ain, Bunda sangat berterima kasih karena kamu mau menikah dengan Ara. Terima kasih banyak Ain." bahkan Bunda mentitikkan air mata ketika mengucapkan kalimatnya.
Bukan Ara yang beruntung menikah denganku. Akulah yang beruntung bisa menikah dengan Ara. Karena meski tahu bagaimana aku, Ara tetap mau menikah dan menerima kekuranganku itu. Sayangnya aku tidak bisa mengatakan hal itu kepada Bunda, aku dan Ara sudah membuat perjanjian bahwa itu adalah rahasia kami.
Jadi aku hanya bisa tersenyum untuk membalas perkataan Bunda.
Setelah menyibukkan diri dengan persiapan pernikahan, akhirnya kami kembali ke rumah. Bukan rumah Bima, tapi rumah Bunda. Orang kaya mah bebas ya mau punya rumah dimana aja.
"Jadi kita mau ngundang siapa aja?" tanyaku ketika hanya berdua dengan Ara saja.
"Nggak ada." jawab Ara singkat. Aku bingung. "Emang mau ngundang siapa? Kamu mau bawa tetangga kamu kesini?"
Benar juga sih. Tentu akan butuh biaya yang sangat mahal untuk memboyong teman-temanku ke Inggris untuk menjadi saksi pernikahan kami. Tapi kalau tidak ada mereka, kok rasanya sepi ya?
Paling tidak ada Arika, Budhe Tatik, Mbak Putri, Yudha. Mereka adalah orang-orang yang sangat berperan besar dalam hidupku. Oh, jangan lupakan Dokter Arya juga.
Setelah memeluk Ara dan mengucapkan selamat tidur, Ara langsung terlelap. Entah apa yang dia lakukan seharian ini bersama dengan Bima dan Ilham. Aku juga lelah, tapi mata rasanya masih betah untuk terbuka. Memikirkan bagaimana pernikahanku nanti tanpa kehadiran orang-orang yang aku sayangi. Bahkan jauh di dalam hati kecilku, aku masih berharap bahwa Bapak dan Ibu bisa hadir di pernikahanku nanti.
***
Hari H!
Setelah persiapan selesai, aku duduk sendiri di ruang tunggu. Aku mematut diri di depan cermin sekali lagi. Memandang dengan tidak percaya bahwa ini benar-benar aku. Anak miskin yang dibuang oleh keluarganya, kini akan menikah. Aku sungguh bersyukur dengan apa yang aku alami sekarang.
"Kamu cantik." suara dibelakangku membuatku menolah. Sempat aku berharap bahwa itu Ara, agar aku bisa memeluknya dan terbebas dari rasa panik dan lainnya. Ternyata bukan Ara, melainkan Angga.
"Terima kasih."
"Aku disuruh jemput kamu." aku tahu, Angga masih canggung denganku.
"Sekarang?" tanyaku. Entah apa maksudku menanyakan hal itu.
Lalu Angga menggelengkan kepalanya, "masih 10 menit lagi."
Angga duduk di kursi yang ada di dekat meja rias. Tampak sangat tampan. Dengan jas yang pas dibadan dan tinggi yang menjulang, Angga terlihat sangat berbeda. Siapa yang akan menyangka, kalau Angga masih belum lulus SMA.
"Kamu ganteng." itu pujian, bukan godaan.
Angga hanya menatapku dengan pandangan tidak percaya. Yah mungkin dia tidak percaya kalau perempuan asing ini adalah kakaknya. Setelah menatap dengan pandangan itu, Angga lalu menundukkan kepalanya.
"Aku minta maaf, aku nggak bermaksud nyakitin kamu waktu itu." meski diucapkan lirih, aku masih bisa mendengarnya. "Aku marah, karena selama ini aku ternyata masih punya keluarga, tapi kamu nggak pernah muncul. Bahkan disaat aku sedang sedih karena Ibu nggak ada. Dan tiba-tiba aja kamu muncul. Kamu tahu kan maksudku gimana?"
Aku menganggukkan kepala. Aku memang tidak tahu secara pasti bagaimana rasanya. Tapi aku bisa merasakan bahwa sendiri disaat terberat dalam hidup itu memang tidak mudah.
"Maaf. Andai aku lebih berani untuk mencari kalian lebih awal, mungkin aku masih bisa bertemu dengan Ibu." setitik air mata menetes. Aku menengadahkan kepala, berusaha menahan agar air mata tidak mengalir lebih banyak lagi.
"Jangan menangis." Angga bangkit dari duduknya dan mendekatiku. Menghapus air mataku. "Nanti make up-nya luntur."
Mau tidak mau aku tersenyum mendengar perkataan Angga. Apa dia berusaha menggodaku?
Nyatanya aku tersenyum dan tertawa. "Apa kamu merayuku?"
Angga tersenyum. Meski tipis, tapi Angga tersenyum. Terlihat semakin tampan.
"Ayo." mengulurkan lengannya, Angga bersikap sangan gentleman. Entah siapa yang mengajarinya.
Aku gugup. Takut ketika aku berjalan menuju Ara, aku melakukan kesalahan yang akhirnya mempermalukan diriku sendiri.
Ketika pintu utama terbuka, tampak beberapa orang yang aku kenali.
Arika dan Ruadha. Budhe Tatik, Mbak Putri dan Yudha. Dokter Arya berkumpul bersama anak dan istrinya. Mereka tersenyum bahagia kearahku. Lalu juga ada keluarga Narendra. Para pria Narendra tampak tampan dengan balutan jas mereka, sewarna dengan yang dikenakan oleh Angga.
Sejak kapan mereka datang? Kenapa nggak ada yang memberitahuku tentang kedatangan mereka?
Simpan pertanyaan itu, karena sekarang fokusku beralih.
Diujung altar, aku melihat Ara. Pengantin priaku.
Dia tersenyum dan tak bisa mengalihkan matanya dariku. Senyum itu terlihat sangat bahagia. Membuatku tersipu malu.
Setelah mengucapkan ijab kabul, Ara memandangku dengan pandangan yang baru pertama kali aku lihat. Ketika aku balik memandangnya, aku merasa tidak percaya kalau Ara menangis. Iya, Ara menangis.
Sembari memelukku, dia menangis dan menyembunyikan wajahnya. Terlihat manis sih sebenarnya.
"Terima kasih. Terima kasih sudah mau menjadi istriku."
Siapa coba yang tidak melting kalau mendengar ucapan seperti itu?
Aku hanya bisa membalas pelukan Ara dan ikut menangis. Bahagia.