Hari apa sekarang?
Senin? Selasa? Atau sekarang malah hari Minggu?
Berapa lama aku dikurung dikamar ini?
Sebisa mungkin aku tidak menggerakkan tubuhku. Selain karena sakit, kalau kedua orang itu mengetahui aku sudah sadar, mereka akan memulai aksi bejat mereka. Bergiliran.
Aku ingin segera keluar dari sini. Ingin melihat matahari dan ingin melihat Ara. Meski itu untuk yang terakhir kalinya.
Byuurr.
Satu ember air dituang ke kepalaku. Membuatku kaget karena rasa dingin yang menyentuh kulitku. Selain rasa dingin, ada juga rasa perih yang terasa. Karena wajahku sudah lebam dan beberapa bagian terluka. Itu bukti bahwa aku berusaha sekeras mungkin melawan mereka.
Tapi dua lawan satu? Jelas aku pihak yang dirugikan. Apalagi aku hanya perempuan.
"Bangun, Jalang." si Orang Pertama menarik rambutku, hingga aku menengadahkan wajah karena tarikan itu. "Pakai bajumu. Kami udah bosen sama kamu."
Lalu dengan entengnya si Orang Kedua melemparkan bajuku yang sudah kusut dan kotor. Bahkan ada bagian yang robek di kaos yang aku kenakan.
Melepas ikatan di tangan dan kakiku, si Orang Pertama membiarkanku mengenakan baju. Belum sempat aku mengenakan seluruh pakaian itu, kedua orang itu langsung meninggalkanku. Tanpa kata.
Apa mereka melepaskanku begitu saja?
Tanpa membuang waktu, aku langsung bergegas mengenakan baju dan berlari keluar. Berlari sekencang mungkin yang aku bisa. Meski kakiku rasanya sakit bukan main.
Matahari yang menyengat tidak aku hiraukan. Aku terus berlari hingga menemukan jalan raya. Lalu, sekuat tenaga aku mencari lokasi yang bisa aku gunakan untuk berlindung. Aku benar-benar tidak mempedulikan tatapan orang yang bertemu denganku.
Kantor polisi atau tempat pelayanan publik lainnya.
Ketemu!
Ada sebuah kantor polisi yang bisa aku datangi. Dengan langkah yang mulai melambat, aku berusaha mencapai kantor polisi itu secepat mungkin. Menyeret kaki yang mulai terasa berdenyut. Rasanya ingin aku melepas kakiku barang sejenak agar bisa membantuku berlari menuju kantor polisi lebih cepat.
Lebih cepat.
Lalu aku kehilangan kesadaran.
Entah apa yang membuatku kehilangan kesadaran. Kaki yang terasa sangat sakit ataupun benturan yang terjadi akibat tubuhku yang tertabrak mobil.
Tuhan, aku siap kapanpun Kamu ambil. Tidak ada harapan lagi yang bisa aku perjuangkan. Aku sudah ternodai, bukan hanya satu kali. Aku tidak akan pernah bisa bertemu dan menampakkan wajahku di hadapan Ara lagi.
Tuhan, terima kasih untuk 23 tahun hidup ini. Meski menyakitkan, pada akhirnya aku bisa merasakan kasih sayang yang tulus dari orang-orang disekitarku.
***
Mataku rasanya berat. Tapi aku ingin membuka mata. Tenggorokanku rasanya kering.
"Air." ucapku lirih. Berusaha menggapai apa saja yang ada disekitarku. Berharap menemukan air untuk sekedar membasahi tenggorokanku.
"Buka mulut kamu."
Entah suara siapa itu, yang jelas aku langsung membuka mulutku. Ketika merasakan ada benda yang terasa di bibirku, aku langsung menutup mulut dan menyedot kuat-kuat air yang mulai membasahi tenggorokanku.
Terdengar suara desahan yang melegakan. Apalagi sekarang?
Aku ingin tidur sebentar lagi. Berharap ketika aku terbangun, rasa sakit disekujur tubuhku menghilang.
***
Ara's POV
Hari ketiga, dan Aini masih belum mau membuka matanya.
Kalau saja kondisi Aini lebih baik dari ini, aku tentu akan langsung membawanya pulang ke Jogja. Tapi sayangnya aku tidak tega melakukan hal itu. Satu gerakan lembut saja tetap akan menyakiti Aini.
"Gimana keadaan dia, Dokter?" tanyaku ke Dokter Samuel. Dokter yang merawat Aini.
"Untuk luka luar sudah membaik, bahkan kakinya pun sudah lebih baik dari pertama kali dibawa kesini. Tapi kami tidak tahu bagaimana dengan luka psikisnya." dari tatapan Dokter Samuel, aku tahu bahwa ini bukan hal yang mudah untuk ditangani.
"Terima kasih, Dokter." kataku, sembari mengantarkan kepergian Dokter Samuel dan perawat dari ruang rawat Aini.
Aku memandangi wajah Aini, masih ada lebam biru disana. Tidak hanya di wajah saja. Ada di sekujur tubuhnya. Bahkan kakinya dislokasi dan bengkak. Aku tahu, hal yang tidak baik terjadi kepada Aini.
Berkali-kali aku meminta maaf pun tidak akan merubah keadaan. Aini tetap akan terbaring disana dan mengalami hal buruk itu. Apa setelah ini Aini masih mau memandang dan melihatku? Apa Aini masih mau memaafkanku karena lalai meninggalkan dia?
"Air." suara lirih itu terdengar lagi.
Selama 3 hari ini, hanya itu yang Aini ucapkan. Setelah meneguk air, dia akan kembali tertidur. Ketika Aini kembali tertidur, aku berharap bahwa itu akan menyembuhkan luka Aini. Semua luka yang dia derita.
Lamunanku terganggu oleh pesan yang masuk. Dari Arya.
[VIP no 15 kan ruangannya?]
[Iya.]
Sekarang cuma Arya satu-satunya harapanku. Kalau Aini tidak mau melihatku lagi, aku berharap Aini masih mau melihat dan bertemu dengan Arya. Aku juga berharap Arya mau memberikan info kepadaku tentang kondisi Aini. Tidak harus mendetail, asal aku tahu Aini baik-baik saja atau tidak.
Tok tok tok.
Perlahan, Arya masuk ke ruang rawat inap Aini. Aku tidak mau bersusah payah menyambutnya, karena Arya langsung berjalan kearahku dan melihat kondisi Aini. Aku tahu Arya sama terkejutnya ketika melihat Aini.
Aku menggelengkan kepala.
"Kami nyari keluarga Aini. Aku hanya ninggalin dia sebentar, tapi dia menghilang." mataku tak lepas dari Aini. "Aku menabrak Aini ketika dia ingin menyeberang. Itu hari ke 2 setelah dia menghilang."
Arya menghela napas. Aku tahu, ini bukanlah hal yang mudah untuk ditangani.
"Aini dulu pernah diperkosa waktu kecil. Karena keluarganya malu, Aini lalu ditinggal begitu saja di Surabaya. Hingga dia bertemu dengan Ibu Panti-nya." entah apa motivasi Arya, tapi pada akhirnya dia menceritakan hal yang selama ini tidak aku ketahui. "Selama 7 tahun kami konseling, dia sudah menunjukkan tanda-tanda yang bagus. Bahkan ketika kalian dekat, Aini terlihat baik. Lalu kejadian kamu marah itu. Dan sekarang. Aku nggak tahu harus gimana."
Ini bukan hal yang ingin aku dengar. Paling tidak untuk sekarang.
Aku memang ingin tahu masa lalu Aini, tapi tidak dari mulut Arya. Aku ingin Aini menceritakan semuanya sendiri. Dengan kemauan Aini.
"What should I do?" tanyaku, menatap Arya dengan pandangan yang rumit.
Arya mengangkat bahunya. "Aku nggak tahu. Tapi untuk sekarang, biarkan Aini menyembuhkan dirinya sendiri dulu."
Jujur aku tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Arya. Membiarkan Aini menyembuhkan diri sendiri? Bahkan selama 7 tahun terakhir ini Aini sudah dibantu oleh tenaga profesional, tapi Aini masih terbayang masa lalunya. Dan sekarang dia harus menyembuhkan dirinya sendiri?
Pemikiranku teralihkan oleh gerakan tangan Aini yang aku genggam. Perlahan mata Aini terbuka dan mulai mengedarkan pandangannya. Dengan penuh suka cita, aku membelai perlahan pipi Aini yang tidak lebam.
"Hei, kamu bangun? Apa kabar?" Ara bodoh! Jelas-jelas Aini tidak dalam kondisi baik, bisa-bisanya kamu bertanya tentang kabar?!
Tangan dalam genggamanku bergerak. Perlahan melepaskan diri dari genggamanku, lalu Aini memalingkan wajahnya.
Aku ingin bertanya kepada Aini, tapi Arya yang menyentuh pundakku membuatku menghentikan apa yang ingin aku lakukan. Dengan kode, bahkan Arya menyuruhku untuk keluar ruang rawat.
Apa dia gila? Aku berhari-hari menunggu Aini untuk membuka mata, tapi ketika Aini membuka mata, aku malah diusir. Ini seriusan?
"Ada yang ingin aku omongin sama Aini. Cuma 10 menit aja." kata Arya, ketika tahu aku akan meluncurkan kalimat protes.
Sebenarnya berat meninggalkan Aini, tapi aku tahu, Aini sekarang aman. Tidak akan yang perlu aku khawatirkan lagi. Meski terpaksa aku berjalan keluar, meninggalkan Aini bersama dengan Arya untuk berbincang.