Chereads / Aini : Perjuanganku / Chapter 28 - Nur Angga Tedjo

Chapter 28 - Nur Angga Tedjo

Yudha menyusul kami ke Jember setelah dia selesai sekolah. Bersama dengan Mbak Putri.

Aku merasa sangat berterima kasih kepada Yudha, karena dengan menghubungi beberapa kenalannya, akhirnya kami bisa bertemu dengan Angga.

Angga kini adalah remaja berusia 16 tahun. Bersekolah di salah satu SMK Negeri di Jember. Aku bersyukur Angga masih mau memikirkan masa depannya dengan menuntaskan kewajibannya bersekolah.

Dan untuk menyambung hidup, Angga bekerja disebuah bengkel motor milik kenalannya.

Rombonganku sampai di bengkel ketika hari sudah sore. Sekitar jam 4 sore.

Bengkel tempat Angga bekerja belum tutup. Malah terlihat masih ramai.

Yudha mendatangi Bengkel dan membawa Angga keluar. Menemuiku.

Adikku. Yang dulu seingatku masih bayi yang belum tumbuh gigi satupun. Adikku sekarang sudah menjadi pemuda yang tampan. Matanya sipit, sama seperti mata Ibu. Tubuhnya tinggi dan tegap, sama seperti Bapak.

Angga berdiri di hadapan kami. Sepertinya bingung.

"Ngga, maaf ganggu pekerjaan kamu. Ada yang pengen ketemu sama kamu." ucap Yudha.

Jelas terlihat kalau Angga kebingungan.

"Ara, calon suami Aini." orang pertama yang memperkenalkan diri adalah Ara. Lalu tangan Ara disambut oleh Angga.

Aku masih memandangi wajah Angga. Tidak percaya bahwa orang yang berdiri dihadapanku sekarang adalah adikku, anggota keluargaku. Aku terharu. Menangis haru.

Tanpa pemberitahuan, aku langsung memeluk Angga dan menangis dipelukannya. Tubuhnya yang tinggi membuatku menangis di dadanya, karena tinggiku tidak lebih dari telinga Angga. Sama seperti tinggiku yang tidak lebih tinggi dari pundak Ara.

Aku tahu Angga bingung. Aku juga tahu Angga terkejut. Tapi aku tidak bisa menghentikan tangisanku ketika memeluk Angga. Mendapati aku bisa bertemu dengan anggota keluargaku.

Setelah puas menangis, aku meminta maaf kepada Angga karena sudah mengotori bajunya dengan air mataku.

"Maaf, aku nggak kenal kamu." ucap Angga pada akhirnya.

"Aku Aini, kakak kamu. Nur Aini Tedjo." dengan terbata-bata, aku berkata.

Ada alasan kenapa nama kami hampir mirip. Dulu, saat Angga lahir, Ibu memberi kami nama itu. Kata Ibu, kalau kami terpisah, nama kami yang akan menyatukannya. Seolah sudah ada firasat kalau kami memang akan terpisah. Entahlah, tapi memang begitu kata Ibu saat itu.

"Tapi Ibu nggak pernah cerita soal kakak yang bernama Aini."

Rasanya itu seperti sebuah tamparan yang sangat keras yang mendarat di pipiku.

Sebegitu hinanya kah aku, sehingga Bapak dan Ibu tidak pernah menceritakan aku kepada adikku sendiri? Apa memang aku sudah tidak ada artinya bagi Bapak dan Ibu setelah kejadian itu?

"Ayo kita cari makan dulu. Mungkin akan lebih baik saat mengobrol sembari makan." Ara menengahi. Berusaha agar topik yang mulai memanas itu tidak berlanjut.

"Maaf, tapi aku harus bekerja." Angga menunjuk kearah bengkel.

"Aku bisa minta ijin ke pemilik bengkel supaya mengijinkan kamu pulang lebih awal."

Angga menggelengkan kepala. "Itu nggak adil buat yang lain."

Tanpa berpamitan, Angga pergi meninggalkan kami.

Lalu bagaimana denganku?

Aku hanya bisa memandangi kepergian Angga. Tanpa berusaha untuk menahan ataupun meemanggil namanya.

Apa ini akhirnya? Hanya bisa bertemu?

Hei, Ain, sadar diri dong. Bisa bertemu dengan anggota keluargamu itu adalah sebuah anugerah yang tidak terkira. Tuhan sudah sangat sangat sangat berbaik hati kepadamu. Don't be greedy, okay!

Ara memandang kearahku. Khawatir. Tapi aku segera menghapus kekhawatirannya dengan anggukan seolah berkata 'aku baik-baik saja' dan tersenyum.

Tapi aku memang baik-baik saja.

Aku lega dan bersyukur, karena bisa bertemu dengan anggota keluargaku lainnya. Dan aku maklum kalau Angga bersikap seperti itu, karena aku yakin Angga pasti juga merasa kaget dengan semua hal ini. Apalagi Angga tidak tahu kalau dia memiliki seorang kakak.

Aku tersenyum kepada yang lainnya. "Ayo kita pulang. Pasti kalian capek kan."

***

Jadi apa yang sebenarnya aku lakukan?

Kenapa aku tidak memanggil Angga untuk kembali? Atau kenapa aku tidak menangis dan memohon agar Angga kembali kesisiku?

Entahlah. Saat ini aku aku terlalu bahagia karena bisa bertemu dengan keluargaku. Dan aku ingin memberikan waktu bagi Angga untuk mencerna ini semua.

"Besok kita kesana lagi?" tanya Ara yang terdengar sedikit bersemangat.

Hei, yang bertemu keluarga itu aku, kenapa dia yang bersemangat?

"Baiknya gimana?" tanyaku balik. Sebagai jawaban atas pertanyaan Ara.

"Ketemu lagi aja. Sebelum balik ke Jogja." aku mengangguk, menyetujui ide Ara.

***

Sebelum makan siang, aku dan Ara sudah sampai bengkel. Angga belum datang. Lalu kami putuskan untuk berbincang sebentar dengan sang pemilik bengkel.

Dari cerita pemilik bengkel, Angga mulai bekerja disana sejak dua tahun lalu. Tapi tidak banyak yang diketahui oleh pemilik bengkel, karena Angga orangnya pendiam. Tapi satu hal yang pasti, Angga tinggal sendirian.

Lalu, kemana Bapak dan Ibu?

"Boleh Angga libur hari ini?" tiba-tiba saja Ara bertanya.

"Boleh. Kebetulan minggu ini Angga belum ambil libur."

Lalu datanglah yang ditunggu. Angga yang masih mengenakan seragam sekolahnya, turun dari motor dan segera masuk kedalam bengkel. Masuk jauh ke dalam bengkel dan keluar lagi dengan pakaian kerjanya.

Si pemilik bengkel menghampiri Angga dan berbincang sebentar. Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi sedetik kemudian Angga berjalan kearah kami, aku dan Ara.

"Ada apa?" Angga bertanya.

Kalau dipikir-pikir, Angga ini seperti Ara. Tidak banyak omong dan lebih suka menatap tajam. Yak, pasangan yang cocok sepertinya.

"Bisa bicara sebentar?" aku berusaha mengajaknya ngobrol. Yang panjang.

Angga menganggukkan kepala dan mengajakku duduk di samping bengkel. Ara tidak ikut ngobrol, karena dia ingin memberikan waktu bagiku dan Angga berbincang berdua. Itu sebabnya dia kembali ke hotel tempat kami menginap yang baru check in tadi pagi.

"Aku minta maaf udah ganggu pekerjaan kamu." aku berusaha mencari topik pembicaraan.

"Kemana aja selama ini?" tampaknya topik yang aku angkat tidak cukup menarik bagi Angga, itu sebabnya dia memilih topik lain.

"Aku bekerja. Di Jogja."

"Dan sekarang, ketika kamu butuh, kamu datang kesini?"

"Nggak, nggak gitu. Aku... Aku cuma belum berani kemarin-kemarin. Dan juga -"

"Dan juga semuanya terlambat. Ibu udah nggak ada kalau kamu mau tahu. Dan aku nggak tau dimana bapak. Jadi nggak usah berharap kalau keluarga kamu akan menyaksikan pernikahan kamu."

Apa tadi kata Angga? Ibu udah nggak ada? Itu artinya Ibu sudah menginggal?

Perlu beberapa detik bagi otakku untuk mencerna ini semua. Ibu. Sudah. Meninggal. Pergi dari dunia ini?

Rasanya aku ingin menangis. Mataku sudah perih, dan tenggorokanku sudah tercekat. Tapi tidak ada air mata yang meleleh ke pipi, tidak ada juga isak tangis yang lolos dari bibirku. Aku kenapa? Harusnya merespon dong kalau lagi sedih. Ini kok malah gini?

"Kapan?" tanyaku lirih, ketika aku bisa mendapatkan suaraku kembali.

"3 tahun yang lalu."

Kapan itu tepatnya?

Apa ketika aku bermimpi bertemu Ibu? Apa ketika dimimpi itu Ibu berpamitan denganku?

"Nggak usah nyari keluarga kamu, karena kamu udah nggak punya keluarga. Hidup bahagia sama keluarga kamu yang sekarang." Angga bangkit dari duduknya. Pergi meninggalkanku yang masih sulih percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.

Ketika Angga sudah menghilang dari pandanganku, barulah aku merasakan air mata yang meleleh dipipi. Baru aku mendengar suara tangisan yang keluar dari mulutku.

Aku menangis. Dada yang terasa sesak dan penuh. Juga otak yang rasanya seperti overheat dan bisa meledak kapan saja. Aku butuh Ara sekarang. Pelukan Ara benar-benar obat yang ampun untuk menenangkan semuanya sekarang. Dimana Ara?