Apa yang bisa menggambarkan perasaanku sekarang?
Aku sedih, aku juga hancur. Rasanya semua masalah ini terlalu berat untuk kuhadapi sendirian.
Aku kesini untuk mencari keluargaku dan aku memang sudah mempersiapkan diri untuk menerima skenario terburuk. Tidak bisa menemukan keluargaku. Tapi semuanya menjadi hancur ketika aku menemukan adik laki-lakiku seorang diri dan kenyataan bahwa Ibu sudah meninggal. Juga tidak mengetahui dimana keberadaan Bapak.
Aku tidak sedih karena Angga tidak berniat menghadiri pernikahanku. Sungguh, aku tidak sedih karena hal itu. Yang aku sedihkan dan membuatku sangat menyesal adalah Ibu. Disaat-saat terakhir Ibu aku tidak ada disisi beliau. Anak macam apa aku ini?
Benar bila Angga menganggapku anak tidak tahu diri. Karena aku hanya datang ketika aku membutuhkan mereka. Kemana aku selama ini ketika kedua keluargaku sangat membutuhkanku?
Entah sudah berapa lama aku berjalan, karena rasanya sudah terlalu jauh kakiku melangkah. Yang aku inginkan sekarang hanyalah sampai di tempat kami menginap dan memeluk Ara. Pelukan Ara pasti bisa membuatku merasa lebih baik.
Tapi kok nggak sampai-sampai ya?
Ingin menelepon Ara untuk menjemput, tapi setelah merogoh kantong baju sampai bagian terdalam, ponsel itu tidak diketemukan. Baru ingat, ponsel cantik itu aku titipkan ke Ara karena aku tidak memiliki kantong di baju maupun dicelana.
Tenang, aku sudah tidak menangis lagi. Menangis ternyata membuang banyak energi dengan sia-sia. Ditambah lagi, sekarang aku tidak membawa uang seperserpun. Jadilah aku berjalan dalam keadaan perut kosong. Melilit karena kelaparan.
Hari sudah beranjak sore. Jam berapa sekarang? Yang pasti sih sudah lebih dari jam 3.
"Mau kemana neng? Kok jalan sendirian aja?" tiba-tiba saja ada 2 orang yang menghentikan langkahku.
Dari tampilannya sih bukan preman. Tapi mau preman atau bukan, aku sadar kalau sekarang aku sedang tidak aman. Maka dari itu, aku langsung saja berjalan tanpa mempedulikan kedua orang itu.
Tekad untuk berlari sangat besar, tapi karena aku belum makan dan tidak ada cairan yang masuk ke tubuh membuat kepalaku keliyengan. Ya ampun kepala, please, kerjasamanya kali ini saja.
Aku merasa sudah cukup aman, karena kedua orang itu tidak lagi mengikutiku. Lagipula tempat yang sekarang aku pijak cukup ramai. Oh ya ampun, ini dimana lagi? Aku harus segera mencari tempat aman, semacam rumah sakit atau kantor polisi.
Baru saja aku ingin melangkahkan kakiku lagi, tiba-tiba saja tanganku disambar oleh seseorang. Membuatku menghentikan langkah dan hampir saja terjatuh.
"Mau kemana? Kan kita tadi tanya baik-baik." itu orang yang tadi menghalangi langkahku.
Ini gawat. Aku benar-benar harus mencari pertolongan.
"Tolong lepasin." ucapku lirih. Seperti cicitan tikus kecil yang terjepit pintu.
"Nggak, nanti kamu lari lagi kalau dilepasin." kini orang kedua yang berkata. Dari wajahnya, aku bisa melihat kalau orang itu rasanya ingin memangsaku.
Keduanya melangkah lebih mendekat. Dan ketika aku tepat berada di dekatnya, aku langsung diangkat dan digendong di pundaknya. Aku manusia oke, bukan karung beras. Lupakan, meski aku yakin mereka menganggap aku karung besar.
Fokus Ain! Kamu dalam bahaya sekarang, masih mikir bodi mirip karung beras segala!
"Lepasin. Tolong turunin." aku berusaha memberontak sebisa mungkin. Bahkan aku menjambak rambut si Orang Pertama hingga beberapa helai terlepas.
Pasti sakit. Tapi si Orang Pertama tidak bereaksi. Dia tetap saja memanggulku dan membawaku berjalan semakin jauh. Aku yakin aku tidak akan bisa melihat jalan keluar lagi sekarang.
Entah berapa lama dia berjalan sembari memanggulku, hingga akhirnya tiba disebuah kos. Kos? Atau apa? Aku tidak tahu. Intinya itu adalah sebuah ruang kosong yang tertutup.
"Ayo kita bersenang-senang sebentar." lalu aku diturunkan.
Langsung saja aku berusaha berpegangan pada apapun yang bisa diraih oleh tanganku. Pandanganku berputar-putar dan membuatku goyah. Karena tidak mampu menemukan pegangan, akhirnya aku terjatuh. Lantai yang kurasakan dingin. Dan keras tentunya.
"Tolong, lepasin aku. Aku mohon." kataku masih berusaha.
Oke, dengan air mata pun mereka tidak mengasihaniku.
Orang Kedua duduk di depanku. Tangannya menyentuh pipiku dan menelusurinya hingga ke leherku. "Kalo kamu diem, ini nggak akan lama."
Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Aku seperti tahu apa yang dimaksud oleh Orang Kedua ini. Langsung saja ingatanku berkelana ke kejadian bertahun-tahun yang lalu.
Nggak. Aku nggak mau mengalami hal itu lagi.
Meski masih pusing, aku berusaha untuk fokus. Pintu keluar ada di belakang si Orang Kedua. Aku mengamati ruangan, dan mendapati Orang Pertama sedang duduk santai di kursi yang tak jauh dari tempat tidur.
"Nggak usah berpikir buat kabur."
Belum lagi aku bangkit, si Orang Pertama sudah berdiri disampingku. Menginjak kakiku dengan kuat.
"Aaahhh." jeritanku terdengar memenuhi ruangan sempit itu.
Denyutan nyeri langsung terasa di kaki kiriku. Segera saja nyeri itu menjalar keseluruh kakiku. Ya Tuhan, gimana ini?
Aku tidak tahu apakah kakiku patah atau tidak. Yang jelas, kakiku rasanya sangat sakit. Meski aku menangis dengan keras, rasa sakit di kaki tidak berkurang. Malah semakin sakit.
Si Orang Kedua memajukan tubuhnya dan mengamatiku lebih lekat lagi. Dengan perlahan, dia mengecup bibirku, yang langsung aku tolak dengan memalingkan wajah. Tapi nyatanya bibir itu tetap saja mencicipi bibirku yang bahkan belum pernah dicicipi oleh Ara. Jari-jarinya dengan kuat menahan wajahku untuk tetap menghadap kearahnya.
Ara, please, temuin aku, tangisku dalam hati.
Kejadian ini bukan pertama kali aku alami. Dan aku sudah tahu bagaimana kelanjutan dari adegan itu. Dimulai dari bibir, langsung kemana saja, aku akan tahu.
Aku berhadap memiliki kekuatan untuk sekedar menendang selangkangan kedua pria itu. Tapi bahkan ketika si Orang Kedua itu berbuat lebih lanjut, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Bukan pasrah, hanya saja aku tidak bisa menggerakkan badanku.
Wajah Ara dan keluarganya langsung berkelebat didalam kepalaku. Tidak hanya itu, bahkan wajah Bapak dan Ibu yang hampir terlupakan pun akhirnya kembali lagi. Mereka memandangiku dengan tatapan kasihan dan penuh rasa jijik.
***
Ara's POV
Rasa panik ini rasanya tidak mau pergi begitu saja. Pantas saja, ini sudah hampir 3 jam aku mencari Aini, tapi yang dicari belum ditemukan. Umpatan yang selalu bisa aku tahan, kali ini terucap dengan jelas.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Aini, jangan harap hidup kamu setelah ini akan tenang." setelah mengucapkan kalimat ancaman itu kepada Angga, aku langsung berpindah ke ponselku. Membaca cepat pesan yang dikirim oleh Ilham ke ponselku.
Dengan berusaha sekeras mungkin, aku berusaha mengendalikan diriku. Melajukan mobil sebaik mungkin, aku menuju ke hotel tempat kami menginap. Berharap Aini sudah sampai disana dan menungguku.
Nihil. Kamar kami masih kosong. Tidak ada tanda-tanda Aini memasuki kamar.
"Ain, kamu dimana?" rasanya sangat frustasi. Bahkan lebih frustasi ketika aku dulu ujian spesialisasi.
Ponsel yang berbunyi langsung aku sambar. "Gimana?" bahkan aku tidak perlu berbasa basi dengan kata sambutan.
"..."
"Oke, cari terus."
Itu Ilham. Dia mengabarkan kalau ada setitik harapan untuk menemukan dimana Aini. Dia kemungkinan berada di pusat kota. Karena ada cctv yang menangkap pergerakan Aini disekitar mall. Itu berita bagus. Tapi sayangnya ada berita buruk yang mengikutinya. Aini masuk ke perkampungan padat penduduk. Dimana disana hampir tidak mungkin ada cctv yang terpasang.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menyambar kunci mobil dan melajukan mobil menuju lokasi terakhir Aini tertangkap kamera cctv. Siapa tahu Aini hanya berputar-putar disekitar sana dan aku bisa menemukan Aini. Berharap ada keberuntungan yang berpihak kepadaku.