Aini's POV
Aku tidak bisa tidur. bahkan ketika akhirnya Ara tertidur, aku masih saja berkedip tanpa ada niatan untuk memejamkan mata.
"Kamu kenapa?" tanya Ara ketika bangun tidur.
Pasti Ara sedang mempertanyakan kantung mata dan mata pandaku. Apa lagi memangnya? Wajahku jadi terlihat semakin jelek, padahal sebelumnya tidak cantik.
Bahkan Bunda pun kaget ketika melihat mataku yang menghitam.
"Apa Ara menyusahkanmu semalam?" terselip nada jahil yang terdengar dari suara Bunda.
Ara langsung saja menatap Bunda dengan tatapan yang menusuk. Memangnya Ara bisa melakukan apa kepadaku? Oke oke oke, Ara memang bisa berbuat hal yang 'lain' tapi tentu dia tidak akan melakukannya. Tanpa seijinku.
"Aku cuma nggak bisa tidur Bunda, tempatnya asing." jawabku penuh alasan.
Mari kita berpindah dari mata pandaku ke hal lainnya. Apalagi kalau bukan lamaran Ara. Rasanya sangat sulit untuk mengalihkan pikiran barang sejenak.
Beruntungnya, aku tertidur dalam perjalanan kembali ke rumah. Membuatku terhindar dari pertanyaan dan tatapan yang penuh dengan tanda tanya. Iya, pertanyaan kan memang memakai tanda tanya.
Sesampainya di rumah, Ara hanya membangunkanku untuk berpindah ke dalam kamar kalau memang aku masih mau melanjutkan tidur.
"Mau makan siang apa?" tanyaku, ketika memasuki dapur dan mengamati kulkas.
"Delivery aja." jawab Ara.
Ya ampun, betapa pengertiannya calon suamiku ini. Tahu kalau aku sedang tidak dalam mood baik untuk memasak. Wait, calon suami?
Ketika memikirkan hal itu, tiba-tiba saja wajahku memanas. Persis seperti kepiting rebus.
Begitu mendudukkan tubuh di sofa, aku langsung menyandarkan kepala ke bahu Ara. Hal yang rasanya sulit aku lakukan kalau ada orang lain disekitar kami. Dan dengan luwesnya tangan Ara membelai kepalaku.
Kami sudah seperti pasangan pada umumnya kan?
"Ara, aku udah mikirin ini semalaman. Sebelum melangkah lebih jauh, aku ingin ketemu dengan kedua orangtuaku. Boleh?" akhirnya aku memberanikan diri.
Tentu Ara tahu apa yang aku maksud dengan 'melangkah lebih jauh'.
Ara langsung menegakkan tubuhnya dan menghadap kearahku. "Dimana mereka?"
"Aku nggak tahu." jawabku sembari mengangkat bahu.
"Gimana kita akan mencari mereka?"
Itu pertanyaan yang sulit, tapi memang pertanyaan itu yang harus mendapatkan jawaban lebih dulu.
Bagaimana kita akan mencari keluargaku? Terakhir kali aku melihat keluargaku, itu bertahun-tahun yang lalu. Dalam waktu 15 tahun, pasti akan ada perubahan. Dan mungkin perpindahan juga. Mengingat kami dulu hanya mengontrak disana.
"Aku hanya ingat alamat rumah kami dulu. Tapi itu pun kami hanya mengontrak." hampir saja air mataku jatuh ketika mengatakan hal itu. Ada rasa takut kalau mereka sudah pindah ketika aku mendatangi rumah lamaku.
Dengan lengannya yang kokoh, Ara merengkuhku dalam pelukannya.
"Kita pasti bisa menemukan mereka." ucap Ara, yang selalu bisa menenangkan kekalutanku.
Langkah pertama adalah menyiapkan perjalanan ke Lumajang. Iya, aku lahir dan besar di Lumajang, Jawa Timur. Dengan Bapak yang bernama Ari Tedjo dan Ibu bernama Asih Maryani. Oh, juga seorang adik laki-laki yang bernama Nur Angga Tedjo. Kemungkinan Angga sekarang sudah berumur 16 tahun.
Bagaimana wajah mereka sekarang? Apa Ibu masih cantik dan bermata sipit seperti dulu? Apa Bapak masih gagah dan juga garang seperti dulu? Dan juga, bagaimana wajah Angga sekarang? Karena terakhir kali aku melihat Angga, dia masih sangat kecil, baru berumur 1 tahun dengan wajah bayinya itu.
Pemikiran itu segera teralihkan dengan pertanyaan yang sangat menyedihkan. Apa Bapak masih mau melihatku? Apa Bapak kangen sama putri kecilnya ini?
Ketika Ara sudah terlelap tidur, aku memikirkan hal ini. Yang tentu saja selalu membuatku merasa sedih. Akan tetapi sekarang ada seberkas cahaya yang membuatku merasa optimis, bahwa keluargaku akan menerima kedatanganku dengan tangan terbuka. Apa lagi kalau bukan kehadiran Ara disampingku.
Malam ini, aku tidur setelah memeluk Ara dengan erat. Dan Ara pun membalas pelukanku.
***
Ara's POV
Aku selalu bertanya dalam hati tentang keluarga Aini. Seperti apa keluarganya dan apakah keluarganya akan menerima kehadiranku bersama dengan Aini. Karena jujur saja, Aini tidak pernah bercerita tentang keluarganya. Oke, Aini memang menceritakan keluarganya, tapi hanya secara garis besar.
Tentang Bapak yang lebih suka pergi bersama dengan teman-temannya dan pulang dalam keadaan mabuk di malam hari. Ibu yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Angga yang masih kecil ketika Aini hidup bersama dengan keluarganya.
Keluarga Aini memang bukan keluarga yang baik-baik saja. Dan Aini tidak pernah malu untuk mengakuinya. Bahkan Aini tidak berusaha menutup-nutupi kondisi keluarganya.
Aku merasa senang karena Aini tidak menyembunyikan apapun dariku. Seharusnya memang begitu. Tapi ada satu hal yang masih belum diceritakan oleh Aini. Tentang alasan Aini bisa terpisah dari keluarganya. Tentang alasan Aini yang harus memiliki sesi konsultasi dengan Arya.
Tapi itu semua aku pendam. Aku ingin Aini menceritakan semuanya dengan suka rela tanpa paksaan kepadaku. Agar apa yang dia ceritakan bisa meringankan beban yang ada di hatinya.
Perjalanan 7 jam yang melelahkan dari Jogja ke Lumajang membuat aku dan Aini memutuskan untuk langsung mencari hotel. Hari sudah malam ketika kami sampai di hotel. Bukan hotel yang mewah, tapi cukup untuk kami mengistirahatkan badan sebelum memulai pencarian kami.
Oh, Ayah dan Bunda sempat menanyakan alasan kami ke Lumajang. Dan Aini menjawab pertanyaan itu dengan lugas, bahwa kepergian kami adalah untuk mencari keberadaan keluarga Aini. Sebelum Aini menikah denganku.
You know what, secara tidak langsung itu berarti kalau Aini menyetujui lamaran yang aku ajukan, dan dia mau menikah denganku. Dan aku pun ingin Aini didampingi oleh keluarganya dihari bahagia kami nanti.
"Kita mau mulai nyari dari mana?" tanyaku, ketika sudah merebahkan tubuh di tempat tidur.
"Kita bisa mulai dari tempat tinggalku dulu. Kami tinggal disana cukup lama sebelum aku pergi." jawab Aini.
Apa ya arti raut wajah Aini? Aku tahu dia excited, tapi juga ada kesedihan yang terpancar di wajah itu. Tapi sekali lagi, aku tidak mau menanyakannya. Biar Aini sendiri yang menceritakannya kepadaku tanpa perlu aku bertanya.
"Ara, apa menurut kamu Bapak sama Ibu akan senang bertemu denganku?" tiba-tiba saja Aini menanyakan hal itu. Lalu aku harus menjawab apa?
"Ibu pasti seneng ketemu kamu lagi. Putri kecilnya tumbuh menjadi perempuan cantik yang kuat." aku hanya bisa menjawab itu.
Karena menurut dari cerita Aini, Bapak tidak terlalu senang dengan kehadiran Aini, meski dia adalah anak kandung Bapak. Entah apa alasannya.
"Gitu ya." ada kesedihan dalam suara Aini. Aku tahu.
Tapi aku bisa berbuat apa?
"Ya udah, kita tidur. Besok pasti capek." kataku kepada Aini.
Walaupun Aini mengangguk dan merebahkan tubuhnya, aku yakin Aini tidak segera terlelap. Aku pun begitu.
Sama seperti Aini, aku juga excited untuk bertemu dengan orangtua Aini. Karena setelah kami menikah, orangtua Aini adalah orangtuaku juga. Aku juga penasaran, apakah Bapak dan Ibu akan menyukaiku atau tidak. Terlepas dari semua itu, pertanyaan apakah Bapak dan Ibu akan merestui pernikahan kami menjadi pertanyaan terbesar yang ada di kepalaku.
Itu menyangkut hidup dan matiku.
Kalau merestui, tentu itu adalah anugerah Tuhan yang bisa aku nikmati. Tapi kalau menolak, aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku melepas Aini begitu saja. Karena Aini adalah segalanya bagiku. Saat ini maupun dimasa depan.