Hari pertama pencarian.
Aku dan Ara mulai mencari di rumah yang pernah aku dan keluargaku tinggali. Hampir saja kami tersesat.
Selama 15 tahun, ternyata banyak yang berubah. Sekolah SD yang dulu menjadi sekolahanku, kini sudah tertutup dengan gedung dan bangunan. Sangat berbeda dengan dulu, karena dulu sekolahan berada dipinggir jalan. Lalu lapangan yang ada di sebelah gedung SD sudah tidak ada, digantikan dengan perumahan yang ramai. Sampai-sampai aku tidak mengenali lagi daerah sekitar rumahku dulu.
Yang jelas tidak berubah adalah rumah besar yang menjadi rumah kepala dukuh. Rumah Pakdhe Muchsin. Dulu, aku sering main ke rumah Pakdhe karena disana ada Mbak Putri yang seumuran denganku. Dengan Mbak Putri aku bermain ketika Ibu sibuk bekerja. Dan di rumah Pakdhe, aku menghabiskan waktu.
Secara garis besar rumah Pakdhe Muchsin berubah meski tidak banyak, tapi tetap ada sesuatu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Bangunan kecil yang berdiri di pojok tanah yang ada di depan rumah Pakdhe. Di bangunan kecil itu, aku dan Mbak Putri sering bermain. Dan bangunan itu adalah markas kami dulu. Yang sekarang sudah menjadi sebuah toko kelontong.
"Kamu yakin?" tanya Ara, ketika aku menjelaskan tentang rumah Pakdhe Muchsin.
"Iya, yakin. Itu dulu markas aku sama Mbak Putri." kataku mantap.
Lalu dimana rumahku dulu?
Rumah kontrakan yang aku tinggali bersama Bapak, Ibu dan Angga ada tepat di depan rumah Pakdhe. Dulu rumahnya sangat sederhana. Tapi kini rumah itu sudah berganti menjadi bangunan 2 lantai yang lebih bagus dari rumah kontrakanku dulu.
Banyak orang yang tidak aku kenali melihat kearahku dan Ara. Apalagi kalau bukan karena Ara. Wajah dan kulit Ara yang sangat bule menarik perhatian siapa saja yang berpapasan dengan kami. Oke, jangan salahkan Ara karena dia terlalu tampan.
Aku mengetuk pintu, berharap Budhe Tatik yang membukakan pintu dan segera mengenaliku.
"Maaf, cari siapa ya?" tanya sang pembuka pintu. Aku mengenalinya sebagai Mbak Putri.
"Mbak Putri?" tanyaku ketika meneliti wajah itu lebih jauh.
Iya, itu Mbak Putri. Sosok kakak perempuan yang selalu ada untukku dan selalu menjagaku. Mbak Putri tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik. Bahkan lesung pipi Mbak Putri tidak menghilang.
"Maaf, siapa ya?" tanya Mbak Putri keheranan.
"Aini, Mbak." kataku, berusaha sekeras mungkin tidak menangis. Terharu karena bisa bertemu dengan orang yang mengenalku.
"Aini. Ya ampun, apa kabar?" akhirnya Mbak Putri mengenaliku.
Langsung saja Mbak Putri memelukku dengan erat. Aku tidak perlu menahan air mata lagi, karena memang sudah tidak bisa menahannya. Pun begitu dengan Mbak Putri.
Dari belakang tubuh Mbak Putri, muncul sosok lain yang begitu aku kenali. Siapa lagi kalau bukan Budhe Tatik. Meski sudah berumur, wajah Budhe Tatik tetap seperti itu, seperti terakhir kali aku melihat beliau. Mengingatkanku kepada Ibu.
"Bu, ini Aini. Ibu inget nggak?" Mbak Putri lalu menarikku mendekat kepada Budhe Tatik.
Aku hanya bisa memandangi wajah Budhe dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Dan seketika itu pula Budhe memelukku. Dengan sangat erat. Nanti, ketika aku bertemu dengan Ibu, Ibu juga akan memelukku seerat ini kan?
"Kamu kemana aja? Kamu sehat?" kini Budhe Tatik pun ikut menangis haru. Aku hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Mempersilahkan duduk, aku duduk diantara Mbak Putri dan Budhe Tatik. Setelah puas melepas rindu, akhirnya kami bisa menguasai diri.
"Kamu kesini mencari keluarga kamu?" tanya Budhe setelahnya. Aku menganggukkan kepala. Baik Mbak Putri maupun Budhe terlihat sedih.
"Keluarga kamu udah pindah setahun setelah kamu hilang." kata Mbak Putri.
Aku diam saja. Jadi, Bapak bertindak seolah-olah aku hilang. Bukan ditinggalkan begitu saja di terminal Surabaya.
"Kemana?" tanyaku lagi.
"Awalnya ke Pasuruan, lalu pindah ke Madiun. Setelah itu kami tidak tahu kemana lagi keluarga kamu tinggal." jawab Budhe Tatik sembari menggenggam tanganku.
Aku tahu, pencarian ini tidak akan berjalan dengan mudah.
"Itu artinya kami masih harus berusaha lebih keras lagi." kataku kemudian. Memberikan senyuman kepada Mbak Putri dan Budhe Tatik. Juga kepada Ara.
"Berapa hari kamu disini? Nginep disini gimana? Budhe kangen sama kamu." akhirnya Budhe mengalihkan topik pembicaraan.
Aku melirik kearah Ara sebentar. Lalu Budhe dan Mbak Putri ikut melirikkan matanya ke arah Ara. Keduanya terlihat bertanya-tanya. Siapa gerangan pemuda yang mengantarku itu.
"Budhe, ini Arael. Calon suamiku." kataku kepada Mbak Putri dan Budhe Tatik. Ara hanya menganggukkan kepalanya. Dan Budhe maupun Mbak Putri hanya membalas dengan anggukan kepala pula.
"Apa dia bisa bahasa Indonesia?" tanya Mbak Putri berbisik. Aku menganggukkan kepala.
Setelah berbincang dan berdiskusi sebentar, akhirnya kami memutuskan untuk tinggal dan menginap di rumah Budhe Tatik.
Entahlah, rasanya memang ada perasaan bahwa aku harus tinggal dan menginap di rumah Budhe. Karena nyatanya ada petunjuk lain yang akan mempermudah perjalananku untuk menemukan keluargaku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam kala itu. Ada suara motor yang mendekat kearah rumah Budhe. Itu adalah suara motor Yudha, adik Mbak Putri. Aku tidak mengenalnya, karena Yudha lahir ketika aku sudah tidak ada disana.
Mbak Putri menceritakan asal usulku kepada Yudha.
"Namanya kaya nama temenku." celutuk Yudha singkat.
"Siapa?" tanya Mbak Putri, mewakili pertanyaanku.
"Angga." jawabnya.
"Nur Angga Tedjo?" tanyaku sedikit berharap.
DAN YUDHA MENGANGGUKKAN KEPALANYA.
Ya Tuhan, rasanya aku ingin berteriak kencang di hadapan Yudha. Dia kenal dengan adikku? Adik kecilku yang aku bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya kini.
***
Menunggu jarum jam bergerak ke angka 7 itu rasanya sangat lama. Mataku benar-benar tidak bisa terpejam setelah mengetahui bahwa ternyata Angga adalah teman Yudha. Teman bermain yang entah bagaimana mereka bisa berkenalan.
Dari cerita Yudha, Angga sekarang tinggal seorang diri di Jember. Entah bagaimana ceritanya Angga bisa berakhir di Jember.
Oke, kembali lagi ke jam 7. Ada apa dengan jam 7?
Pada jam 7 pagi, Ara berjanji akan membawaku ke Jember untuk menemui Angga. Perjalanan 2 jam sudah menanti kami.
Tapi dari info yang diberikan Yudha tadi, kemungkinan besar Angga masih berada di sekolah. Masalahnya, Yudha tidak tahu dimana Angga bersekolah. Karena pertemuan mereka terakhir terjadi tahun lalu. Ketika mereka masih sama-sama SMP dan hobi modifikasi motor.
Merasa kehilangan jejak setelah membubung tinggi harapan untuk menemukan keluargaku. Beruntungnya, Ara terus saja menyemangatiku.
"Kita pasti bisa menemukan adik kamu dan juga keluarga kamu."
Iya, aku harus yakin dengan hal itu. Meski kecil kemungkinan aku akan bertemu dengan kelargaku lagi, paling tidak aku sudah berusaha.
Entah kenapa nyaliku kembali ciut. Rasa takut yang besar menggerogoti hatiku.
"Ara, apapun yang terjadi, kamu akan tetap disisiku kan?" kulihat Ara menganggukkan kepala dan memberikan senyum terbaiknya. Seolah dia ingin berkata melalui senyumannya itu, bahwa dia akan terus ada dan selalu mendukungku.
Itu saja sudah cukup. Kalau aku tidak bisa bertemu dengan keluargaku lagi, mungkin ini cara Tuhan untuk mencegahku mengalami rasa sakit akibat penolakan andai kami bertemu kembali. Kalau aku tidak bisa bertemu dengan keluargaku lagi, masih ada Ara yang akan menjadi keluargaku. Juga masih ada keluarga Ara yang akan menjadi keluargaku juga.
Tuhan Maha Adil. Dibalik sebuah peristiwa, pasti ada hal lain yang bermakna.