Ara's POV
Kami berbelanja lagi. Mengisi kulkas yang kosong dan juga lemari penyimpanan yang terbengkalai. Dari sini terlihat kan kalau peran Aini di rumah sangatlah besar. Kalau dia pergi, kacau sudah rumah ini.
Wajah Aini terlihat bersinar. Memang masih ada cekungan dimatanya, tapi paling tidak Aini tersenyum. Aku berharap Aini tidak melakukan itu hanya untuk menyenangkanku. Siapa gue?!
Aku masih belum bisa mendapatkan jawaban yang tepat kenapa perempuan bisa sangat suka berbelanja. Meski itu hanya belanja bulanan untuk mengisi dapur. Dan sekarang, Aini dengan sangat efisien memasukkan beberapa barang yang kami butuhkan. Tidak seperti kebanyakan orang, Aini berbelanja dengat cekatan. Seolah sudah ada daftar belanja yang tersusun dikepalanya, sehingga tidak memerlukan banyak waktu untuk mengitari pusat perbelanjaan.
"Mau belanja apa lagi?" tanyaku, ketika Aini sudah puas memeriksa barang belanjaannya.
Aini menggelengkan kepala, "Ini udah semua. Aku udah laper."
"Kita makan dulu?"
Sekali lagi Aini menggelengkan kepala. "Kita kan mau makan capcay yang aku masak, kenapa malah makan dulu sih? Kamu nggak akan pingsan kalau menunda makan satu jam lagi kan?"
Senyum menggoda yang menggemaskan. Ingin aku mencubit kedua pipi Aini. Membuat Aini marah dan memukuliku karena diperlakukan semena-mena.
Sesampainya di rumah, Aini tidak langsung menyimpan semua bahan makanan yang baru saja kami belanja. Dia langsung memasak. Hebat kan? Seolah tenaga Aini tidak ada habisnya.
Tak sampai 30 menit, masakan Aini tersaji. Capcay seafood yang sangat menggiurkan.
"Makan yang banyak." Aini mengambilkan makan untukku. Nasi dengan capcay yang sangat banyak.
Aku tidak protes. Karena melihat Aini tersenyum adalah anugerah. Dan bisa menikmati masakannya lagi adalah berkah lainnya.
Ketika aku menyelesaikan makan, aku baru menyadari kalau Aini tidak ikut makan. Dia hanya memandangiku makan sedari tadi.
"Kenapa nggak makan?" tanyaku keheranan.
Aini masih dengan senyumnya hanya menggelengkan kepala. Sedetik kemudian wajahnya berubah gelap. Apa pertanyaanku menyinggung perasaannya?
Mengelus pipiku, Aini terlihat sedih. "Maaf, aku nggak seharusnya pergi. Kamu jadi nggak makan dengan baik. Kamu juga nggak tidur nyenyak. Maaf."
Jadi aku harus bersikap apa? Tersentuh dengan apa yang Aini katakan atau menertawakan kebodohan Aini? Disaat aku sudah menyakitinya dengan melakukan perbuatan bejat itu, Aini dengan baik hatinya meminta maaf dan khawatir kepadaku.
Aku mengenggam tangan Aini dan menariknya dalam pelukan. Hal yang ingin aku lakukan selama seminggu ini. Berpisah dengan Aini membuatku tidak bisa berlaku normal.
"Maaf, aku sudah melakukan hal yang mengerikan itu. Maaf sudah menyakiti kamu." aku mengatakan itu sambil menangis.
Iya, aku menangis. Apa yang menyakiti Aini juga menyakitiku. Apa yang membuat Aini bahagia, aku juga akan merasa bahagia.
Lama aku menangis dipelukan Aini. Entah kenapa, tubuh mungil Aini bisa memberiku kekuatan yang besar untuk bisa berdiri lagi. Aku sadar, selama seminggu ini aku hancur tanpa Aini. Dan inilah yang aku butuhkan. Aini disampingku dan mendukungku.
Puas menangis dipelukan Aini, aku berusaha untuk bersikap biasa. Tapi nyatanya sulit. Terlebih ketika Aini tersenyum menggodaku. Bukan marah, hanya merasa risih mendapati Aini yang bersikap menyebalkan begitu. Seolah tidak pernah terjadi apapun dalam hubungan kami.
Setelah puas dengan capcay seafood buatan Aini, aku merasa sangat mengantuk. Apalagi cuaca sedang mendung.
"Kamu nggak kerja?" seperti biasa, Aini multitasking. Mencuci piring dan juga memanggang biskuit.
"Cuti." jawabku singkat. See, aku berusaha untuk selalu menjawab pertanyaan Aini. Ini usaha terkerasku yang pernah aku lakukan.
"Kapan kamu mau pindah ke Jerman?" tiba-tiba saja Aini menghentikan pekerjaannya.
Kapan? Aku ingin secepat mungkin kembali ke Jerman, tapi aku juga tidak mau meninggalkan Aini disini sendirian. Apalagi setelah tahu kalau Aini masih mau menerimaku setelah apa yang aku perbuat kepadanya.
Denting oven membuat suasana hening itu teralihkan. Aini segera mengeluarkan biskuit dari dalam oven. Segera saja bau harum menyebar keseluruh rumah.
Apa ini saatnya bagiku untuk bercerita kepada Aini? Mungkin iya. Karena kesempatan itu dibuat, bukan ditunggu.
Aini heran ketika aku menarik tangannya dan membawanya duduk di sofa. Aku duduk menghadap Aini dan mengamati reaksinya. Bingung. Mungkin sebentar lagi akan menjadi kaget dan jijik. Lalu Aini akan meninggalkanku.
"Boleh aku bercerita?" aku menunggu respon Aini. Tidak ada perubahan pada wajah Aini, masih diliputi kebingungan.
Untuk menghela napas kok rasanya berat ya? But I have to.
"Aku ... " ragu, aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada Aini. Lalu, apa manfaat yang akan Aini ambil ketika mendengar ceritaku?
Inilah yang aku suka dari Aini. Meski dia memiliki segudang pertanyaan yang berputar dikepalanya, Aini tidak pernah bertanya. Sama seperti sekarang, Aini hanya menggenggam tanganku sembari tersenyum.
"Nggak usah maksa cerita kalau memang kamu belum siap." usapan lembut ditanganku membuatku merasa tenang. Sama seperti ketika Bunda memelukku.
Taoi aku tetap pada pendirianku, bahwa aku akan mengungkapkan apa yang selama ini menjadi rahasiaku.
"I have to." ucapku lirih.
"Kita punya waktu yang banyak untuk saling bercerita." senyum Aini terlihat jelas. Bahkan aku sekarang bisa melihat dengan jelas lesung pipi di pipi kirinya. Tidak dalam, tapi terlihat.
"Aku pejuang kanker." sengaja memberi jeda, aku ingin melihat reaksi Aini. Tidak ada wajah yang terkejut disana, lalu aku memutuskan untuk melanjutkan. "Bima harus lahir lebih cepat karena menolongku. Bunda harus berkali-kali keguguran karena aku. Ilham harus lahir dari ibu pengganti karena aku. Dan Ayah harus meletakkan karirnya demi bisa mendampingiku dan Bunda. Aku mengacaukan kehidupan mereka."
Sekali lagi, aku melihat ke mata Aini. Berusaha menemukan sesuatu yang aku pikirkan. Wajah terkejut Aini dan juga ekspresi takut mengetahui orang seperti apa aku ini.
"Aku bertekad untuk menolong para pejuang kanker lainnya. Dengan segala kemampuan yang aku miliki. Aku memilih belajar dan meneliti daripada bersosialisasi. Karena terbiasa mengurung diri, aku jadi kesulitan bersosialisasi. Aku bukan tidak mau membaur, aku hanya canggung dan tidak tahu harus bagaimana bila bertemu dengan orang."
Berapa kata yang sudah aku ucapkan? Sepertinya sudah ribuan. Dan mungkin ini adalah rekor bicaraku terpanjang yang aku lakukan dengan orang asing. Orang yang tidak ada hubungannya dengan keluargaku.
Aini tersenyum. Seolah dia tahu bahwa yang aku butuhkan sekarang adalah telinga untuk mendengarkan, bukan mulut untuk menghakimi. Dia tetap mengenggam tanganku, mengusap lembut dengan ibu jarinya.
"Aku tahu kamu berusaha keras untuk itu. Its okay kalau kamu tidak bisa cerewet, yang penting kamu sudah mencoba. Dan aku yakin, keluarga kamu akan tetap menerima kamu apa adanya, karena sebenci apapun mereka ke kamu, itu tidak akan mengubah masalalu."
Tak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku benar-benar merasa bersyukur bisa kenal dan dekat dengan Aini. Karena dia adalah sosok sempurna dimataku.
"Dont leave me." aku berucap sangat lirih, berharap Aini tidak mendengarnya. Ternyata tidak. Aini mendengarnya.
"I wont."
Setelah sesi kejujuran itu, Aini mengajakku untuk membereskan barang belanjaan. Selain itu, berkegiatan membuatku bisa mengalihkan pikiran.
"Boleh aku tanya sesuatu?" Aini tiba-tiba saja memecah keheningan. Aku mendongankkan kepala untuk menaruh perhatian kepadanya. Seolah mengartikan tatapanku dengar perkataan 'silahkan', Aini lalu melanjutkan kalimatnya. "Kenapa kamu harus minum obat tidur?"
Ternyata memilih kata yang tepat lebih sulit daripada harus memilih jenis obat mana yang akan digunakan.
"Aku sibuk belajar, sampai lupa caranya tidur. Dengan obat tidur, aku bisa beristirahat meski sejenak." jawabku perlahan.