Akan lebih masuk akal kalau aku merindukan suami ataupun kekasih. Iya, itu bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan orang yang mendengarnya tentu akan memakluminya. Beda cerita kalau kamu kangen kepada orang bukan siapa-siapa kamu. Iya, rasanya itu yang aku rasakan. Rasa rindu yang terus berkecamuk dihatiku kepada Ara. Kita semua tahu, Ara bukan suami atau kekasihku.
Jadi, apa alasannya aku rindu?
Kalau aku menjawab hanya kangen, apa itu bisa diterima? Rasanya kok aneh ya.
Saking anehnya dengan rasa rindu ini, aku hanya berani mengirimkan pesan kepada Dokter Arya, apakah aku bisa bertemu dengan Ara.
Tapi Ain, kalau Ara yang nggak mau ketemu saka kamu gimana? celutukan itu membuatku sedih.
Benar juga. Aku sangat ingin bertemu dengan Ara, tapi bagaimana kalau Ara tifk mau bertemu denganku? Siapa aku sampai bisa memaksa Ara untuk bertemu dengannya?
[Untuk saat ini tidak bisa, karena Dokter Ara sedang keluar kota. Aku akan mengabarimu ketika dia sudah kembali.]
See, Ara sepertinya bersikap biasa saja. Dia mungkin bahkan sudah lupa kepada Aini. Siapa Aini? Apa itu nama penari striptis?
Ayolah Ain, ngapain kamu masih mikirin dia? Jelas-jelas dia nggak mikirin kamu.
Iya, untuk apa mikirin Ara? Lebih baik sekarang aku memikirkan hal yang lebih penting. Pekerjaan.
Setelah semua yang terjadi, tentu daja aku tidak akan memohon kepada Ara supaya aku kembali tinggal bersama Ara. Dan tentu aku tidak akan memohon kepada Ara supaya dia tetap mengirimi aku uang bulanan seperti biasanya. Aku bukan pengemis.
Mari kita lihat. Pekerjaan apa yang bisa aku dapatkan dengan ijazah SMA yang kumiliki.
Hampir 3 jam aku berkutat di depan layar ponsel, mencari lowongan pekerjaan yang membutuhkan keahlianku, tapi nyatanya tidak ada. Memangga apa keahlianku? Aku cuma bekas pelayan restoran dan juga kasir keda kopi kan.
Lebih baik masak untuk makan siang, karena sebentar lagi si Putri Tidur Arika akan segera bangun.
Apa Ara makan dengan baik?
Ya ampun Aini, demi kerang ajaib Spongebob! Please deh ngapain masih mikirin Ara?
"Mau masak?" akhirnya bala bantuan datang. Suara Arika terdengar merdu saat ini.
"Iya. Ada request?" tanyaku, tanpa mengalihkan pandangan.
"Aku ngikut aja. Yang penting perut kenyang."
Ternyata Dokter Arya mengirimiku pesan ketika aku dan Arika sedang menikmati makan siang.
[Hari ini ada waktu? Ayo kita makan malam, ada yang ingin aku bicarakan.]
[Jam berapa?]
[Jam 5 bisa?]
[Bisa.]
Makan malam dengan Dokter Arya?
Nggak, aku tentu saja nggak akan memikirkan sesuatu yang tidak baik. Dokter Arya orang yang baik, dan tentu saja makan malam ini hanya makan malam biasa.
"Nanti gue mau keluar, lo nggak masalah kan masak sendiri buat makan malam?" tanyaku kepada Arika.
"Gue udah gede, Ain, lagian biasanya juga gue makan sendiri. Emang lo mau kemana?" wajah Arika langsung berubah ke mode penasaran.
"Kencan dong." aku mengulum senyum jahil. Sontak saja Arika langsung menuntut penjelasan.
Meski aku mengatakan kepada Arika bahwa aku akan pergi kencan, nyatanya aku tidak mengenakan baju yang spesial selayaknya orang yang mau pergi berkencan. Tentu saja Arika langsung melayangkan tatapan protes.
"Eh Oneng, itu mau kencan apa ke panti jompo?" pertanyaan Arika memang wajar terlontar.
Mana ada orang kencan tapi hanya mengenakan kaos oblong dan juga celana jeans. Tidak ada pula pulasan make up, hanya lipstik agar wajah tidak terlalu pucat. Aku mengamati tubuh dari atas hingga bawah. Memang tidak layak untuk kencan, tapi kan memang aku tidak mau kencan?
"Nggak papa, kalo suka mah nggak masalah dandan buluk juga." kataku sembari tersenyum jahil.
Arika yang gemas tentu saja langsung menarik tanganku untuk kembali masuk ke dalam kamar. Sibuk berkutat dengan lemari pakaian yang memang tidak begitu penuh, Arika akhirnya menemukan pakaian yang layak untuk pergi kencan. Arika melepas paksa kaosku dan menggantinya dengan kaos lengan panjang. Memoles beberapa make up dan viola!!
"Ini lebih mendingan ketimbang tadi. Sumpah, seharusnya gue jadi fashion stylish lo." Arika membanggakan hasil karyanya.
Mematut diri di depan cermin, aku hanya bisa mengagumi sentuhan tangan Arika. Dia memang patut diacungi jempol untuk mix and match.
"Terima kasih kekasih gelapku." aku mengecup pipinya hingga sebagian lisptik menempel disana. Dan Arika langsung saja mengelap pipinya dengan ekspresi jijik. Aku tertawa.
Menggoda Arika memang hal menyenangkan yang sering aku lakukan.
Restoran tempat janjian.
Aku datang 5 menit sebelum Dokter Arya datang. Jadilah aku menunggu di depan restoran.
Dokter Arya langsung saja mengajakku ke dalam restoran.
"Maaf, dadakan. Nggak papa kan?" tanya Dokter Arya, ketika kami berjalan menuju tempat yang sudah dipesan.
Kadang aku harus bersyukur memiliki mata yang jelalatan, tapi terkadang aku menyesal tidak bisa mengontrol mata dengan baik. Karena sekarang, aku melihat sosok yang belakangan ini aku rindukan. Sosok yang hampir membuatku gila karena tidak bisa memandangnya meski hanya sepintas angin lalu.
Ara. Berdiri disana ketika melihat aku dan Dokter Arya berjalan menuju ke arahnya. Atau ke meja yang akan kami tuju?
Aku berhenti melangkah. "Maaf, aku takut kamu menolak, jadi aku tidak mengatakan kalau makan malam ini akan ada Ara juga."
Jadi, aku harus berterima kasih atau mengumpati Dokter Arya?
"Tapi kalau kamu nggak mau ketemu dengan Ara, aku akan bilang ke dia." tambah Dokter Arya.
"Nggak, nggak papa. Aku memang ingin menyampaikan sesuatu ke Ara." aku memberikan senyum terbaikku kepada Dokter Arya, meyakinkan beliau bahwa aku baik-baik saja.
"Aku akan duduk disana, kalau kamu memerlukan aku." Dokter Arya menunjuk meja yang ada di belakangnya, berjarak sekitar 5 meja dari tempat duduk Ara. Aku menganggukkan kepala.
Pemuda yang selalu membuatku kagum itu berdiri dan menarik kursi untukku. Dia duduk disampingku. Eh, kenapa tidak di depanku? Apa dia malas melihat wajahku?
Meski begitu aku bersyukur Ara duduk disampingku, karena dari sini aku bisa melihat wajah Ara dengan jelas. Rasanya aku belum lama meninggalkan Ara, tapi kenapa terasa sudah sangat lama? Aku hampir tidak mengenali Ara karena Ara banyak berubah. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tulang pipinya terlihat menonjol dari sebelumnya.
Apa Ara makan dengan baik? Apa Ara cukup istirahat? Bagaimana dengan tidurnya?
Aku langsung menundukkan kepala, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. Aku tidak mau menjadi wanita lemah dihadapan Ara. Bahkan aku tidak mendengar apa yang Ara ucapkan, karena aku sibuk dengan pemikiranku sendiri.
Aku berpikir ulang, kenapa aku mau tinggal di apartemen Dokter Arya bersama Arika? Kenapa aku tidak tinggal dengan Ara lagi?
Aku tidak takut dengan Ara. Ara memang sudah melakukan hal yang membuatku harus mengalami mimpi buruk itu lagi, tapi aku yakin, Ara tidak akan melakukan hal itu lagi. Ara bukan laki-laki bejat seperti mereka. Dan aku percaya Ara.
"Apa kamu udah makan?" akhirnya aku bersuara.
Entah kenapa aku sangat ingin tahu apa Ara sudah makan apa belum. Dan aku yakin Ara belum makan. Bagaimana kalau maagnya kambuh lagi dan melukai lambungnya?
Benar dugaanku kalau Ara belum makan. Dia menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Ini keputusanku. Aku mungkin bukan perempuan sempurna untuk Ara ataupun laki-laki manapun, tapi aku akan selalu berusaha untuk menjadi sempurna dimata Ara. Nggak papa sakit sedikit, toh itu tidak langsung membunuhku kan? Karena bagiku, Ara adalah segalanya sekarang.
Jadi aku hanya tersenyum semanis mungkin kepada Ara dan berkata, "Ayo pulang. Kamu mau aku masakin apa?"
"Capcay seafood." jawab Ara mantap.
Itu bukanlah menu yang sulit untuk dibuat. Selama aku bisa, aku akan membuatkan apa yang diminta Ara untuk dimakan.
"Sebelumnya, kita belanja dulu. Udah nggak ada bahan masakan di rumah." Ara berbisik tepat sebelum menutup pintu mobil untukku. Dan aku menganggukkan kepala.