Aku memang selalu merasa ada yang berbeda dari Ara. Aku merasa bahwa Ara seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi aku tidak bisa menebak apa itu.
Dan malam ini, Ara mengungkapkan apa yang menjadi masalahnya.
Aku tidak pernah menyangka bahwa seorang Ara bisa memiliki masa lalu yang begitu sulit. Padahal kalau dilihat lagi, sepertinya kehidupan Ara dan keluarganya sangat membahagiakan. Tapi memang begitu kan? Kehidupan orang lain itu memang akan nampak menyenangkan kalau dari kacamata kita. Padahal itu belum tentu.
Sama seperti aku. Kalau dibandingkan dengan kehidupanku yang mengenaskan ini, aku merasa Ara memiliki kehidupan yang lebih baik. Mungkin memang lebih baik, menurutku. Tapi kan kita tidak tahu.
Apa aku lantas merasa iba dengan Ara? Entah, aku tidak bisa memutuskan. Yang jelas, aku bersyukur masalah yang dulu Ara hadapi, sekarang sudah berlalu.
"Belum terlambat untuk berubah kan? Aku yakin kamu bisa menjadi orang yang lebih baik lagi." kataku. Apa itu terdengar menyemangati?
"Apa aku bisa?" ini pertama kalinya aku melihat Ara yang merasa tidak percaya diri.
"Mari kita berusaha." aku memberikan senyum terbaikku. Yah walaupun bukan yang tercantik sih.
Iya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Tapi kita bisa mengusahakan yang terbaik untuk masa depan.
Malam ini, aku merasa beban yang belakangan ini menggelayuti pundakku terangkat. Dan ketika aku melihat Ara tertidur dengan pulas disampingku, aku merasa bahwa diriku telah lengkap. Apa kalau aku berharap bahwa Ara akan membalas perasaanku, itu berlebihan?
Berlebihan atau tidak, biar itu menjadi misteri. Asalkan aku bisa lebih lama bersama dengan Ara. Seperti yang dikatakan Savana disebuah novel "sakit sedikit tak apa, itu tidak akan membunuhmu".
***
Ara's POV
Rasanya aku sudah lama tidak merasakan tidur yang sangat berkualitas. Bahkan aku merasa meski singkat, tidurku sangat nyenyak. Tidak ada mimpi yang menganggu ataupun pemikiran negatif yang mengusik tidurku. Ini semua berkat Aini.
Gadis biasa saja yang bisa mampu memberiku kejutan dalam hidup. Yang kini masih memejamkan matanya disampingku. Rasanya seperti mimpi bisa memandangi wajah tenang dan teduh Aini dipagi hari ketika bangun tidur. Ini anugerah Tuhan yang paling indah untukku.
"Good morning." mata bulat hitam itu terbuka.
"Morning." entah apa yang mendorongku, tapi aku mendaratkan sebuah kecupan lembut ke dahinya.
"Mau sarapan apa?" tanya Aini.
Aku rindu dengan pertanyaan itu. Karena selama beberapa bulan aku mendengar pertanyaan itu. Dan kini, aku mendengar pertanyaan itu lagi.
"Sereal."
Setelah menampilkan senyum terbaiknya, Aini langsung bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar. Dalam perjalanan keluar kamar, dia mengucir rambutnya, memamerkan leher jenjangnya yang selalu menggoda. Uh, rasanya aku ingin menutupi leher itu dengan baja permanen.
Jadi, apa yang akan aku lakukan hari ini? Aku sudah mengajukan cuti untuk kepindahanku ke Jerman, jadilah sekarang aku adalah pengangguran. Iya, dua manusia yang menganggur tampaknya sedang berkumpul.
Layaknya pengangguran lainnya, kami hanya melewatkan waktu dengan menonton televisi setelah sarapan. Beruntungnya, ada pasangan pengangguran lainnya dibelahan bumi ini yang bernasib sama. Siapa lagi bukan Ayah dan Bunda. Dan sekarang, Bunda mengirim pesan.
[Abang lagi apa? Sibuk nggak?]
"Siapa?" tanya Aini ketika melihatku berkutat dengan ponsel.
"Bunda." jawabku singkat. Fokusku lebih kepada ponsel, karena aku lebih menghindari amukan Bunda. "Bunda ngajakin jalan-jalan."
"Kapan?" kini Aini yang tampak fokus ke hal lain.
"Sekarang?" aku mengerutkan alis.
Baru saja aku ingin membalas pesan Bunda, bel di pintu sudah terdengar. Aini memandangku dengan tatapan penuh pertanyaan.
Tanpa perlu berpikir dua kali, aku yakin kalau itu Bunda dan Ayah yang menekan bel pintu. Aku tersenyum semanis mungkin di depan Bunda, pun begitu Bunda. Wajah Bunda nampak berseri dan bersinar, seolah ada ribuan lampu yang menyinari wajah Bunda.
"Mana Aini?" bukannya memeluk putranya, Bunda malah menanyakan Aini yang bukan darah dagingnya. Hei, katanya darah lebih kental dari air, tapi ...? Ah sudahlah.
Aku menggeser tubuh, agar Bunda bisa masuk ke dalam. Begitu Bunda bertemu dengan Aini, suasana rumah langsung berubah menjadi ramai.
Masih berdiri di depan pintu, Ayah malah memandangku dengan penuh selidik. Lalu tersenyum penuh makna. Lalu masuk ke dalam rumah tanpa menyapaku.
Oke, aku sekarang adalah orang asing. Bagaimana tidak, Ayah pun langsung datang dan memeluk Aini, seolah sudah lama tidak bertemu dengan putri tercintanya. Mungkin sinetron 'Anak yang Tertukar' itu memang benar adanya dalam dunia nyata. Aku buktinya.
Aini langsung saja sibuk bercerita tentang apa saja kepada Bunda. Dan mereka mencari tempat ternyaman untuk mengeluarkan kata sebanyak mungkin. Sedangkan aku, masih duduk di depan televisi bersama Ayah. Bahkan Ayah tidak perlu repot-repot memulai pembicaraan.
"Oke, aku mengalah. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Ayah." kataku akhirnya. Tahu betul kalau Ayah tidak akan pernah memulai pembicaraan kalau dilihat dari raut wajahnya.
"Jadi, kamu sudah yakin?" tanya Ayah, seolah Ayah bisa membaca jalan pikiranku.
"Aku yakin. Tapi mungkin Aini belum."
Ayah menganggukkan kepalanya.
Perlu diketahui, aku bahkan belum membahas apa yang sedang kami bicarakan. Tapi aku sendiri heran, kenapa Ayah bisa membaca pikiranku.
Kami sedang membahas masa depanku bersama Aini. Aku memang sudah bercerita kepada Ayah tentang kondisi Aini dan alasan kenapa Aini tidak tinggal denganku belakangan ini. Hanya kepada Ayah, karena aku masih belum bisa menerima nasibku dimarahi oleh Bunda kalau beliau mengetahui aku ini sudah menyakiti putri tersayangnya.
"Do then. What are you waiting for?" senyum lebar Ayah terkembang kali ini. Tulus dan penuh harap. Dan aku hanya bisa menganggukkan kepala dengan penuh kemantapan hati.
***
Aini's POV
Aku hanya 8 tahun menikmati masa-masa indah memiliki orangtua. Meski saat terakhir adalah kenangan yang menyedihkan, aku tetap merindukan sosok orangtua sekarang ini. Dan aku bersyukur, Ayah dan Bunda menyayangiku seperti mereka menyayangi ketiga anak mereka.
Bahkan Bunda benar-benar klop denganku.
Yang lebih menyenangkan lagi, terkadang Bunda memiliki ide yang spontan dan penuh kegembiraan tetapi Ayah selalu mendukung. Sama seperti sekarang ini, tiba-tiba saja Bunda ingin menikmati makan malam romantis bersama kami.
Hei, padahal ini baru jam 10 pagi, kenapa sudah memikirkan makan malam?
Sudah lah, tidak usah dipikirkan. Karena kenyataannya, baik Ayah maupun Ara menyambut usulan Bunda dengan tangan terbuka. Dan bahkan ketika Bunda mengusulkan untuk double date, kedua pria itu masih saja menerima usulan Bunda.
Dasar bucin!
Here we go!!
Nge-mall. Kegiatan yang sudah lama tidak aku lakukan. Terlebih sejak aku keluar dari pekerjaanku, aku jarang keluar rumah. Oke kecuali untuk belanja bulanan ataupun menghabiskan waktu di kedai ketika Arika masuk shift pagi atau siang. Tapi itupun sangat jarang karena Arika kebanyakan memilih shift malam.
Meski lama tidak nge-mall, aku merasa biasa saja. Maksudnya ya biasa saja. Tidak heboh sendiri karena melihat barang diskon atau apapun. Aneh. Iya aneh, karena aku jarang seperti ini. Dulu ketika aku masih bekerja dan sering keluar bersama dengan Arika, kami selalu menyambangi toko yang memajang tulisan SALE, entah saat itu kami memiliki uang atau tidak.
Puas berkeliling mall dan melihat-lihat apa saja yang bisa kami pegang, akhirnya lelah menerpa.
"Setelah makan siang, kita nonton. Trus jalan buat makan malam." seolah membacakan jadwal, Bunda terlihat bersemangat.
Oke baiklah. Apa yang bisa kami lakukan? Perkataan Bunda adalah perintah bagi kami. Tidak ada rakyat yang berani membantah perkataan ratunya kan??
Kita skip makan siang dan menonton, karena kami sibuk mengalihkan perhatian Bunda. Kenapa? Karena sang ratu marah. Semua diawali dengan makan siang.
Entah apa yang ada dipikiran Bunda, beliau memilih masuk ke restoran jepang yang sangat ramai. Ayah dengan lembutnya sudah memperingatkannya Bunda kalau tempat ramai hanya akan membuat makan siang mereka tertunda. Tapi dasarnya Bunda, tetap saja beliau ngotot mau makan siang disana. Alhasil, hampir 1 jam kami menunggu makan siang tersaji. Bunda mengamuk.
Ditengah suasana hati yang panas, kami melanjutkan perjalanan untuk menonton. Bunda sempat bertanya padaku, film apa yang ingin aku tonton. Jujur aku bukan penikmat film bioskop, jadi aku hanya menggelengkan kepala karena tidak tahu film mana yang bagus. Pada akhirnya, Bunda memilih film action superhero.
Malapetaka dimulai ketika penonton di depan bunda adalah sepasang muda mudi yang berisik. Membuat Bunda tidak bisa konsentrasi penuh dengan film yang sedang dilihatnya. Awalnya sih masih mau menegur dengan halus, tapi nyatanya pasangan itu tetap saja berisik. Membuat Bunda emosi dan menyiram mereka dengan segelas besar cola. Kalau sudah begini, aku harus tertawa atau meringis?
Kharisma Ayah memang tiada duanya. Meski sedang marah meletup layaknya gunung berapi yang akan memintahkan lava panas, Bunda seketika langsung berubah menjadi kalem. Baik itu hati dan juga pikirannya. Membuatku dan Ara menghela napas bersama.