Aini's POV
Setelah keluar dari rumah sakit, aku pindah ke sebuah apartemen. Kata Dokter Arya, ini apartemennya yang sudah lama tidak ditempati. Istrinya tidak suka tinggal di apartemen, katanya.
Ah, orang kaya memang bisa seenak itu kali ya. Mereka bisa memilih mau tinggal dimana saja tanpa perlu memikirkan hal remeh, tidak sepertiku yang harus dipusingkan dengan ini itu untuk pindahan.
Apartemen ini luas, memiliki 3 kamar yang luas juga. Aku sengaja tidak mau memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk memiliki sebuah unit apartemen ini, karena pasti hanya akan membuatku pusing. Lagipula, aku yakin aku tidak akan memiliki uang sebanyak itu untuk membelinya. Bahkan meski aku bekerja seumur hidup tanpa makan dan minum sekalipun.
"Ain, mau tidur dimana?" suara Arika membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh dan mendapati Arika yang berdiri dengan sebuah koper yang berisi pakaianku. Untuk membeli pakaian saja aku tidak mampu, apalagi membeli apartemen? Kalau aku mampu membeli pakaian, tentu saja Arika tidak akan berdiri disamping sebuah koper. Sebuah koper yang berisi seluruh pakaianku.
"Aku ngikut. Dimana aja nggak masalah." jawabku, sembari tersenyum.
Terlihat Arika menarik koperku menuju kamar yang terletak disisi kanan. Kamar yang ku ketahui adalah kamar paling besar di apartemen itu. Kamar yang memiliki pemandangan paling indah yang bisa aku lihat. Dan kamar yang mengingatkanku kepada Ara.
Entahlah, rasanya ini seperti kamar Ara. Tata letak ruangan ini mirip dengan kamar Ara yang ada di gedung. Bahkan pemilihan warnanya juga sama. Duduk di tepi ranjang, aku seolah bisa mencium wangi parfum Ara yang biasanya digunakan pemuda itu.
Nggak, aku nggak membenci Ara karena hal itu. Aku memang sedikit takut dengan Ara setelah kejadian itu, tapi entah kenapa aku merasa bahwa Ara tidak akan melakukan hal mengerikan kalau tidak ada alasan yang tepat. Dan aku yakin, Ara bukan tipe yang mau melakukan hal itu.
Bela aja terus Ain. Nyatanya dia hampir melakukannya. Untung hanya hampir ya, kalau dia melakukannya, kamu akan dinodai 2 kali dalam hidup yang cuma sekali ini. Miris banget kan. Sekalian aja melacurkan diri!
Hanya sebentar aku merebahkan tubuh, tapi ternyata aku terlelap. Suara Arika yang berteriak kepadaku membangunkanku. Aku tidak mimpi buruk itu lagi, tapi aku memimpikan hal lain. Yang nyatanya sama menakutkan dengan mimpi buruk itu.
"Lo berangkat jam berapa?" tanyaku kepada Arika. Dia sekarang menemaniku tinggal di apartemen ini.
"Jam 9an mungkin, atau jam 8? Lo nggak masalah kan gue tinggal?" tanya Arika sedikit khawatir. Aku hanya mengangkat bahunya.
Apa yang harus dipermasalahkan? Apartemen ini aman, sistem keamanannya juga canggih. Yang harus ditakutkan hanyalah ketika nanti Dokter Arya menagih biaya sewa untuk tinggal di apartemen ini. Itu lebih masuk akal untuk dipikirkan.
Jarak apartemen dengan kedai sekarang jauh, membuat Arika harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Dan ketika jam menunjukkan pukul 8 malam, Arika sudah meninggalkanku di apartemen sendirian. Aku tidak takut.
Ketika hari berlalu dengan cepat, ada sesuatu yang aku rasa tidak tepat. Kehadiran Ara.
Ya ampun, aku merasa aku ini sekarang adalah jalang yang mengharapkan sentuhan dari orang yang sudah menodaiku.
Tapi memang itulah yang aku rasakan. Kehadiran Ara yang biasanya menghiasi hari-hariku, sekarang tidak ada. Aku bahkan tidak tahu apa Ara makan dengan baik. Apa Ara tidur dengan nyenyak.
Please deh, Ain, kamu bukan emaknya Ara ataupun baby sitter-nya Ara oke?!
Akhirnya, 3 hari setelah aku pindah kesini, aku memberanikan diri bertanya kepada Dokter Arya. Bagaimana keadaan Ara. Dan jawaban Dokter Arya hanya klise, mengatakan bahwa Ara baik-baik saja dan berencana untuk kembali ke Jerman.
Jerman? Dulu Ara pernah bercerita kalau dia besar dan tinggal di Jerman lebih lama daripada tinggal di Indonesia. Wajar saja kalau dia memutuskan untuk tinggal disana kan? Mungkin itu pilihan terbaik buat Ara.
[Jangan lupa, Ain, kamu ada sesi denganku hari ini pukul 4 sore.]
Pesan itu masuk ketika aku sedang membersihkan rumah.
Ini adalah hari kelima aku tinggal di apartemen ini. Sesi konseling dengan Dokter Arya, itu artinya aku harus ke rumah sakit. Apa aku sanggup bertemu dengan Ara lagi setelah kejadian itu?
Sanggup atau tidak, aku tetap harus datang ke rumah sakit. Entah bertemu dengan Ara atau tidak, aku tidak peduli. Karena tujuanku ke rumah sakit hanyalah konseling dengan Dokter Arya. Titik!
Kenyataannya? Aku memilih bersembunyi ketika melihat Ara dikejauhan. Aku tidak mau Ara bertemu denganku lagi, paling tidak untuk waktu dekat ini.
Tapi kok sedih ya?
Ara terlihat tidak sehat. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat kurus. Apa Ara makan dengan baik? Apa Ara harus tidur dengan obat tidurnya lagi?
"Ain, ngapain disini?" suara Dokter Arya mengagetkanku.
"Eh Dokter. Nggak, nggak apa-apa." jawabku basa basi. "Kita mulai sekarang?"
Tanpa menunggu jawaban Dokter Arya, aku langsung berjalan menuju ruangannya. Bersikap seolah ini adalah ruanganku sendiri, aku mulai mengitari ruangan. Berusaha melakukan apapun untuk menghindar dari tatapan Dokter Arya.
Ini pertama kalinya aku berharap kalau sesi konseling ini cepat berakhir. Aku merasa tidak mampu berlama-lama dengan Dokter Arya, meski Dokter Arya tidak mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh. Tapi sumpah, tatapan Dokter Arya membuatku tidak nyaman, seolah ada sesuatu pertanyaan yang sengaja Dokter Arya tahan untuk mengejutkanku.
"Apa kamu kangen sama Ara?" apa itu pertanyaan yang sengaja Dokter Arya tahan sedari tadi?
Kalau iya, itu sukses mengejutkanku. Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaan Dokter Arya. Jadilah aku menundukkan kepala.
"Ain, kangen itu bukan dosa. Suka dan cinta juga bukan dosa. Kamu, aku, kita, siapapun itu berhak untuk merasakan hal itu."
"Aku takut." hanya itu balasanku.
"Ain, kalau kamu nggak bisa jujur sama diri sendiri, gimana orang lain akan menerima kamu? Love your self first. Kalau orang lain nggak bisa membuat kamu bahagia, paling nggak kamu bisa membuat diri kamu sendiri bahagia."
"Gimana kalau aku jujur dan Ara ninggalin aku?"
"Then, he doesn't deserve for you."
"Who deserve for me?" tuntutku lagi. "A criminal, a rapist, robber or other depraved men?"
Aku benar-benar ingin segera mengakhiri sesi konseling ini. Pembicaraan ini tidak cocok untukku.
Siapa yang mau denganku? Perempuan yang sudah tidak suci yang dibuang oleh keluarganya? Miskin pula.
"Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Harus kamu ingat, baik. Bukan perawan ataupun perjaka."
"Anda lelah menanganiku? Yang bertahun-tahun tidak pernah bisa move on dari masa lalunya?" itu adalah pertanyaan yang sangat ingin aku ajukan, dan aku sangat ingin mendengar jawabannya dari Dokter Arya. Sekaligus mengalihkankan pembicaraan tentang love dan lain sebagainya, yang kadang membuatku ingin muntah.
"Iya, aku lelah. Rasanya setelah sekian tahun ini kita tetap berputar ditempat yang sama. Aku berpikir untuk mengopermu ke dokter lain, dokter yang lebih hebat, karena aku berpikir kalau aku bukanlah dokter yang baik untukmu. Karena menurut standar, tidak ada kemajuan yang nampak ketika kamu konseling denganku. Aku takut, kalau aku hanya menyia-nyiakan waktumu konseling denganku. Aku ragu dengan kemampuanku sendiri."
Untuk pertama kalinya hari itu, aku menatap mata Dokter Arya. Di mata itu terlihat Dokter Arya yang lelah. Juga merasa putus asa. Apa yang Dokter Arya ucapkan itu benar? Atau dia yang merasa lelah menghadapiku?
"Aku berkonsultasi dengan profesorku, dan beliau juga sempat menyarankanku untuk mengoper kamu. Tapi aku kembali merenung. Apa itu hal yang tepat? Apa Aini akan baik-baik saja dan menunjukkan progres yang baik setelah dioper? Jadi, sekarang aku bertanya kepadamu, apa menurutmu aku ini dokter yang baik? Dokter yang bisa terus kamu ajak ngobrol? Apa kamu merasa puas dengan pelayananku?"
Aku harus menjawab apa?
Ditengah kebingungan itu, aku menggelengkan kepala.
"Aku bangga menjadi pasien Dokter. Aku puas dengan pelayanan Dokter. Aku merasa lebih ringan ketika bisa menceritakan apapun kepada Dokter. Aku ingin Dokter terus menjadi teman konselingku."
"Trust yourself, you can win beating your fears."