Saat berada di dalam reruntuhan itu, Andrew dan Alia merasakan gempa yang sangat kuat hingga mereka harus saling berpelukan agar tidak terjatuh. Ketika getarannya berhenti, keduanya tidak merasakan ada sesuatu yang berbeda dari tempat mereka berpijak saat ini.
Saat merasa keadaan telah kembali normal, mereka pun bergerak maju. Lentera yang mereka bawa itu setidaknya mampu menerangkan beberapa meter di depannya. Dengan berjalan pelan dan penuh kehati – hatian, mereka mulai menyelusuri tempat yang digenangi air tersebut.
Andrew dan Alia berjalan mengikuti arah suara sumbang itu berasal. Setelah cukup jauh melangkah, mereka hanya menemukan jalan buntu. Yakni sebuah ruangan yang cukup luas tanpa ada sesuatu yang mencolok.
Keduanya pun menyusuri ruangan tersebut. Ada sebuah pintu yang sudah terlihat lapuk. Andrew mencoba membukanya namun pintu itu tidak bergeming.
"Biar aku saja, Andrew." Secepat dia mengatakannya, secepat itu pula Alia mendobrak pintu tersebut.
"Eh—Apa yang kau lakukan, Alia?"
"Mendobrak lebih cepat, bukan? Hehe."
Andrew takjub padanya. Melihat betapa cepatnya sang wanita dalam membuat keputusan, mengukirkan senyuman di wajahnya yang disertai tawa kecil. Alia juga ikut tertawa saat melihat Andrew tak mampu menahan suaranya.
"Ssstt!"
Tiba – tiba saja Andrew menaruh telunjuk di bibir Alia. Ia merasakan sesuatu yang bergerak. Saat ia melihat ke atas, tampak dengan samar tiang – tiang penyangga itu bergeser.
"Lari Alia!" Andrew langsung menarik Alia pergi melewati pintu itu, sebelum akhirnya tiang – tiang yang ada di atas ambruk, menyebabkan gelombang air yang cukup tinggi. Gelombang itu menghanyutkan mereka berdua hingga membentur dinding yang lain. Andrew berusaha melindungi Alia dari benturan itu. Jeritan kecil pun terlepas dari mulut sang lelaki.
"Andrew! Kamu tidak apa – apa?" Alia berusaha melihat lengan sang lelaki.
"Aku baik – baik saja, Alia. Tidak perlu khawatir." Lelaki itu langsung memeluk Alia erat. "Sepertinya kita harus mencari jalan lain."
Alia pun mengangguk. Keduanya melanjutkan langkah dalam genangan air yang telah mencapai perutnya.
"Andrew, ada lorong di sini!"
Sang lelaki langsung menuju ke arah Alia. Tanpa pikir dua kali, mereka langsung naik ke sana. Lorong itu terletak agak tinggi dari permukaan air. Dengan sedikit memanjat, mereka berdua bisa masuk ke dalamnya.
Namun tidak seperti tempat sebelumnya, lorong ini sangat kering. Bahkan saat melangkah perlahan, debu – debu itu dengan mudah bertebaran ke udara. Mereka berdua menutupi hidung dan mulut sembari berjalan pelan melewatinya.
Di ujung lorong terdapat tempat seperti ruang tahta. Ada kursi yang mirip seperti singgasana di tengah ruangan. Namun hanya itu yang terlihat. Mereka mencoba lagi untuk memeriksa sekeliling tempat ini. Setelah cukup lama mereka memeriksanya, keduanya tidak menemukan celah atau jalur menuju tempat yang lain.
"Kita terjebak?" celetuk Alia.
"Sepertinya." Andrew menghela napas panjang. "Ada ide selain memanjat tempat ini?"
"Tidak ada. Tapi tempat ini lebih baik dari pada di bawah tadi. Setidaknya kita bisa beristirahat sejenak di sini, Andrew."
Andrew pun duduk di tempat yang menurutnya cukup kering, sedikit debu dan memiliki dinding untuk bersandar. Setelah menyandarkan badannya ia langsung merasa ngantuk.
Alia pun ikut menyandar di dekatnya. Namun Andrew menarik lembut kepala Alia dan meletakkannya di pangkuannya.
"Istirahatlah jika kamu lelah, Alia. Setelah ini kita harus mencari jalan keluar lagi."
Alia tersenyum mendengarnya. Kemudian memejamkan mata sejenak hingga tak lama ia pun terlelap. Andrew mengelus rambut Alia dengan lembut. Sampai ia pun jua terlelap tanpa menyadarinya.
Waktu terus bergulir.
Saat Andrew membuka mata, Alia telah menghilang dari pandangannya.
"Alia!" teriaknya.
Andrew hanya memikirkan satu hal, Alia pasti kembali ke tempat genangan air tersebut. Tapi tanpa lentera? Bagaimana mungkin?
Andrew bergegas turun ke sana membawa lenteranya.
Setibanya di tempat genangan air tersebut, Ia tidak melihat tanda – tanda wanita itu di sana.
"Alia! Di mana kau?" Teriakannya menggema ke semua penjuru.
Mata Andrew langsung teralihkan oleh riak gelembung yang mengeluarkan suara yang menggema. Dari sanalah muncul sesosok wanita yang menyeruak keluar dari dalam genangan air.
"Alia! Kamu baik – baik saja?" Andrew terus berteriak sembari turun ke bawah.
"Andrew!" Alia melambai – lambaikan tangannya. Tidak sedikit pun terlihat ketakutan atau kekhawatiran di wajahnya.
"Apa kamu menemukan sesuatu, Alia?" Andrew berjalan pelan dalam genangan air untuk menghampiri Alia.
"Aku menemukan semacam lubang yang bisa dilewati jika menyelam."
"Seberapa jauh kita menyelam?"
"Aku ... tidak tahu." Alia tersenyum. "Tapi ini pantas untuk dicoba, Andrew!"
"Maksudnya—blurg?"
Alia seketika menarik Andrew ke dalam air. Karena sudah telanjur, Andrew pun mengikuti wanita itu dari belakang. Mereka menyelam dan melewati lubang tersebut. Sementara lentera mereka harus padam karena terkena air. Andrew tak punya pilihan selain membuangnya.
Andrew mengira lubang itu hanyalah semacam retakan dinding. Namun setelah memasukinya, ia melihat ikan yang berenang ke sana kemari di antara patung – patung yang terbenam. Bukan hanya itu, tampak olehnya perhiasan, barang – barang yang tampak mewah juga ikut tenggelam di dasar tempat ini.
Alia yang melihat Andrew terlalu jauh di belakang, langsung berbalik dan menariknya. Alia memberikan instruksi agar mereka naik ke permukaan. Andrew mengangguk dan mengikuti arahannya.
Andrew yang kurang persiapan mengambil napas, membuat dadanya sesak lebih dahulu. Alia yang menyadari hal itu, dengan cepat menarik Andrew ke atas.
Setibanya di permukaan air, Mereka langsung menarik napas sepanjang – panjangnya.
"Aku ... tidak ... mau ... menyelam seperti ini lagi." Napas Andrew terdengar tidak karuan.
"Maaf ... Andrew."
"Bukan, Alia. Ini bukan salahmu." Andrew mencubit pipi Alia yang hendak mengukir kesedihan pada wajah jelitanya. "Yeee. Jangan sedih ntar keriput lho!"
Alia yang terkesiap pada tindakan Andrew, langsung mencipratkan air ke arah sang lelaki. Andrew terkejut mendapati dirinya basah sekali lagi. Tampak senyuman licik pada raut sang lelaki. Ia tidak segan – segan membalas serangan Alia dengan cipratan yang lebih besar. Sang wanita yang juga ikut basah, membalas serangannya.
Tiada lagi kekhawatiran pada raut wajah keduanya. Hanya senyuman disertai tawa bahagia yang mengisi kekosongan.
Setelah puas bermain air, Andrew dan Alia berenang ke tepian. Mereka naik ke atas permukaan tanah dan melanjutkan penelusuran.
Di sana terdapat dua lorong. Pada lorong pertama yang mereka lihat, menuju ke ruangan yang sangat luas namun tidak memiliki apa – apa. Dari celah langit – langit, terlihat angkasa yang telah menjadi vega kemerahan.
"Andrew lihat!"
Mata Andrew seketika melihat ke arah telunjuk Alia.
"Sudah selama itu kita tersesat, kah?"
Tiba – tiba saja suara perut Andrew menggema di udara. Itu membuat Alia tertawa terpingkal – pingkal.
"Kamu juga lapar, bukan? Jangan menertawakanku." Andrew cemberut.
"Enggak—Ops!" Suara perut Alia menghentikan ucapannya.
"Lihat tuh!" Andrew pun gantian menertawakan Alia.
"Andrew jahat! Lelaki jahat tidak akan ada yang suka!" Alia pun menggembungkan pipinya, ngambek.
"Lalu siapa wanita yang ada di hadapanku ini?" goda Andrew.
Alia yang termakan ucapannya sendiri membuat wajahnya semerah delima. Ia menutupi wajahnya dan mengeluarkan suara yang imut.
Setelah itu, mereka pun kembali ke tempat sebelumnya dan memasuki lorong yang lain. Dari lorong ini, mereka mendapati lorong – lorong yang lain. Cukup banyak hingga membuat mereka ragu untuk melangkah.
Mereka berhenti sejenak dan mencoba merasakan angin dengan jemarinya.
"Ke arah sini!" ujar Alia saat merasakan angin yang berhembus kuat.
Andrew dan Alia pun perlahan menelusuri lorong tersebut. Hingga sampailah mereka di sebuah kolam kecil yang bercahaya biru terang.
"Ini benar – benar menakjubkan!" Alia kegirangan.
Andrew yang sedang mengamati kolam, melihat ada semacam gorong – gorong di dasarnya.
"Sepertinya kita akan menyelam lagi, Alia."
"Hayuk!" Alia langsung menjeburkan tubuhnya ke kolam itu.
Andrew langsung mengikutinya tanpa basa basi.
Cahaya yang menyilaukan terpancar dari ujung gorong – gorong tersebut.
Sesampainya di sana, mereka bisa melihat dengan jelas langit sore. Keduanya pun langsung naik ke permukaan tanah dan berhasil keluar dari reruntuhan.
Namun ada yang menarik Alia untuk kembali berenang ke tepi yang lain. Saat Andrew melihat arah tujuan Alia, terdapat sebuah gereja tua dengan lonceng besar yang telah terjatuh di tanah. Andrew pun ikut menepi ke sana.
Alia yang telah berada di sana terpaku melihat keindahan cahaya yang terpantulkan oleh kaca pelangi yang memberikan kesan kesyahduan. Ada perasaan nostalgia saat melihat ruangan tersebut. Perasaan itu terus menggerayangi relung hati sang wanita.
Saat Andrew berjalan mendekati Alia, secercah ingatan itu muncul ke permukaan.
"Apakah kamu ingat pernikahan kita dulu di dalam ruangan itu, Andrew?" tanya Alia.
"Ya. Aku ingat jelas. Seperti terjadi kemarin sore."
Tiba – tiba Alia mengeluarkan air mata tanpa sebab. Ia menggenggam erat tangan Andrew dan bersandar pada lelaki itu.
"Andrew ... aku ingin menikah denganmu." Ucapan yang terlepas dari bibirnya itu membuat jantung Andrew nyaris berhenti berdetak.
Namun gejolak yang ada di dalam jiwa memaksanya untuk menjawab permintaan sang wanita. Tanpa berpikir panjang, Andrew pun langsung mengecup kening wanita itu dan menatap ke dalam matanya.
"Aku juga merasakan hal yang sama, Alia."
Alia begitu bahagia mendengar jawaban dari lelaki yang ia cintai. Dirinya langsung mendekapnya seerat mungkin.
Andrew pun membalas pelukan itu dengan sama eratnya. Ia mengecup lembut rambut keemasan Alia yang memantulkan cahaya senja. Dalam kemilau yang begitu singkat, Andrew berdoa agar kebahagiaan ini abadi.
***
Desti yang terus – terusan berusaha mengangkat bebatuan itu sampai membuat jemarinya berdarah – darah.
Moravia yang khawatir terhadapnya, menyuruh Desti untuk beristirahat sebentar.
Namun Desti tak mendengarkan. Ia terus berusaha mengangkat bebatuan yang menutup jalan keluar itu. Ostrava dan Moravia tak lagi mampu bergerak. Mereka langsung membaringkan diri.
"Percuma."
Suara Dedic yang terdengar oleh Desti memancing emosinya.
"Percuma kau bilang!" Air mata Desti belum juga mengering. "Kenapa dengan gampangnya kau berkata demikian, Dedic!" Teriakannya itu semakin keras terdengar.
"Percuma saja! Semua jalan keluarnya tertutup oleh bebatuan!" teriak Dedic keras. "Butuh waktu berhari – hari untuk kita mengeluarkan mereka dari dalam reruntuhan ini!"
"Maka dari itu angkat dan pindahkan bebatuan ini dari sekarang! Jika tidak semuanya sudah terlambat!"
"Ini sudah terlambat!" balas Dedic.
"Apa ... maksudmu? Apa maksudmu!" Desti melepaskan bebatuan itu dan menarik kerah baju lelaki itu. "Jika saja engkau melarang mereka kemari, semua ini tidak akan terjadi!"
Moravia dan Ostrava tidak tahu harus bagaimana melerai Dedic dan Desti. Keduanya hanya bisa menahan emosi yang hendak meledak. Menahan diri dan berharap akan keselamatan Andrew dan Alia adalah solusi terbaik yang ada di dalam kepala kedua menteri tersebut. Bukan mengabaikan, hanya saja mereka bisa memahaminya.
"Aku ... tidak punya pilihan ..." Dedic mengepalkan tangannya kuat sekali.
"Kalau kau memang tidak punya pilihan ... mengapa kau tetap datang kemari, Dedic? Bukankah datang kemari adalah sebuah pilihan yang kau ambil sendiri?"
Tersadarkan oleh ucapan Desti, matanya pun melihat sekelilingnya. Ia telah berada di reruntuhan itu.
"Mengapa aku datang kemari?" lirihnya.
"Tanya pada dirimu, Dedic!" tukas Desti yang kemudian mengangkat bebatuan itu kembali.
Di dalam hatinya, Dedic merasakan sebuah kepiluan yang tak memiliki dasar. Semakin mencoba untuk lari darinya, semakin terjebak ia masuk ke dalamnya. Sampai ia merasakan sesak yang membuatnya sulit bernapas. Ia ingin sekali berteriak namun suaranya tidak mau keluar. Ia seolah tenggelam di dalam palung terdalam di dunia. Hingga ia tidak mendengar apa pun lagi.
"Dic ... Des ... Dedic ... Desti ..."
Suara sumbing itu terdengar pelan sekali. Perlahan demi perlahan, suara itu berubah menjadi panggilan yang terdengar jelas dan menggema di udara.
Saat menyadari hal itu, Dedic langsung menghadap ke arah sumber suara. Di sana ia melihat dua bayangan manusia yang bergerak mendekat. Air mata yang menghalangi pandangannya itu tak mampu diseka olehnya.
"And … rew …?"
"Dedic! Moravia!" Lelaki itu melambai – lambaikan tangannya dari kejauhan.
Sesaat Dedic hendak berlari menemui lelaki itu, balutan dosa di dalam jiwa menahannya untuk pergi ke sana. Dosa itu terlalu kuat mengikatnya. Lelaki hanya bisa menyaksikan reuni itu dari kejauhan. Tanpa ada dia di dalamnya.
Waktu terasa begitu lambat bagi Dedic. Yang ia rasakan hanyalah dengung yang membawa kegelisahan di batinnya. Hingga …
"Kenapa kamu hanya diam saja, Dedic?" Andrew berjalan mendekatinya dan tersenyum. "Dasar asisten keras kepala!"
Dedic hanya bisa tertunduk.
"Maafkan saya, Yang Mulia. Maafkan saya." Dedic yang berusaha menahan isakannya itu mengundang kepiluan di dalam benak Andrew.
"Aku akan selalu memaafkanmu, Dedic. Karena kau adalah asisten dan teman pertama yang aku miliki." Andrew menarik tangan Dedic dan membawanya pergi berkumpul bersama yang lain.
Dedic tak kuasa menolak. Kakinya dengan begitu mudah mengikuti langkah Andrew. Seolah beban itu dalam sekejap menjadi kapas yang beterbangan. Dedic tak kuasa menahannya. Ia hanya bisa tertunduk dan mengikuti dalam keheningan.
Setibanya di sana, terlihat Alia yang menangis melihat keadaan jemari Desti yang berdarah – darah. Walau Desti bersikeras bahwa dirinya baik – baik saja, Alia tetap tidak bisa menerimanya.
Moravia tidak mampu menahan tangisnya yang meledak – ledak itu. Begitu juga Ostrava. Mereka berdua saling berduet menciptakan alunan nada kebahagiaan yang syahdu.
Pada senja itu, mereka kembali ke tenda. Setibanya di sana, Andrew dan Alia menyampaikan niat mereka.
"Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan kepada kalian semua."
Andrew dan Alia saling menatap satu sama lain. Sementara yang lain diam menyimak.
"Kami memutuskan untuk menikah saat pertemuan berikutnya. Di gereja tua yang ada di belakang Reruntuhan Jeden."
"M-M-Menikah! Maksud Anda menikah?" Moravia terkejut tak karuan.
"Benar, Kakek Moravia."
Semua terbisu dalam keterkejutannya.
Ada sebuah kengerian dalam kekhawatirannya. Ada sebuah kebahagiaan dalam keniscayaannya. Keduanya pun berpadu menjadi kehangatan yang begitu menyesakkan.
Pada pertemuan berikutnya, pernikahan rahasia itu akan digelar dan disaksikan oleh mereka yang mengetahuinya. Demi mewujudkan makna cinta di dalam jiwa.