Perang sudah berkecamuk selama 18 hari. Namun tidak ada tanda – tanda Kralovna mampu memberi tekanan terhadap invasi Krale. Kekalahan dalam perebutan Tambang Branda tampak sangat mempengaruhi moral pasukan Kralovna.
Setiap titik genting di tiap – tiap perbatasan perlahan diambil alih oleh Krale. Pasukan Kralovna dipukul mundur semakin dalam setiap harinya. Invasi Krale masih belum terhentikan.
Para penduduk yang desanya telah direbut, terpaksa mengungsi menuju kota terdekat. Hal itu tentunya membawa kesulitan bagi pemimpin kota yang harus menampung lebih banyak mulut untuk diberi makan. Surat demi surat dilayangkan kepada pemerintahan pusat agar segera membuat rencana yang bisa memperbaiki keadaan.
Selain Zena dan jenderal perang yang lain, para menteri utama sedang kerepotan mengatasi dampak peperangan. Kebijakan yang dibuat sering tidak tepat sasaran. Meski begitu, semua harus dilaksanakan demi meminimalisir kerugian yang didapatkan.
Pada siang yang begitu terik, para menteri kembali berkumpul di depan singgasana Ratu Alia Krasna.
"Wahai Ratuku, sudah saatnya kita meminta bantuan dari Nenavist Timur. Kondisi perang saat ini benar – benar tidak menguntungkan kerajaan kita," ucap Zly dengan nada yang amat santun.
Beberapa menteri juga menyetujui usulan Zly. Mereka menganggap saat ini bukan waktunya untuk bimbang.
"Tidak perlu demikian, Menteri Zly," sanggah Ostrava. "Kekuatan tempur kita masih sanggup untuk menahan invasi mereka. Bahkan pasukan gelombang selanjutnya akan di kirim dari barak menuju titik pertempuran. Menteri Zena sendiri belum menampakkan tanda – tanda kekalahan."
"Menahan sampai kapan, Ostrava? Apakah sampai kepala Zena terpenggal barulah kita meminta bantuan Nenavist Timur?" sergah Zly.
"Tentu tidak!" sergahnya balik. "Yang saya maksud adalah, mari meracik rencana untuk membalikkan keadaan tanpa meminta bantuan Nenavist Timur. Kita tidak boleh berhutang budi pada mereka!"
"Aku mengerti hal itu, Ostrava! Tetapi prajurit yang mati tidak bisa dihidupkan kembali!"
Suasana yang amat tegang itu seketika terhening saat pintu ruangan terbuka paksa. Seorang wanita datang membawa sebuah informasi yang memberikan secercah harapan.
"Raja Krale telah kabur dari peperangan."
Informasi yang diujarkan oleh salah satu bawahan Zena menarik senyuman licik di wajah Zly. Selagi semuanya terkesiap dengan informasi yang tidak terduga, Zly langsung melayangkan argumennya sekali lagi.
"Wahai Ratuku, Ini adalah kesempatan kita untuk menyerang balik! Segera pinta Pachnouni untuk membantu pasukan tempur kita—"
"Tunggu dulu, Menteri Zly!" potong Ostrava. "Tidak mungkin hal itu terjadi, kan?"
Semua menteri kebingungan mendengar perkataan Ostrava. Mereka menuntut kejelasan dari ucapan sang menteri muda.
"Ra—Andrew Udanost bukanlah seorang pengecut seperti itu. Bisa saja dia diculik … atau semacamnya."
Sontak, semua menteri tertawa terbahak – bahak. Namun wajah Zly semakin masam.
"Mau Andrew Udanost diculik, kabur dari peperangan, berpesta dengan pelacur sekalipun, itu tidak mengubah fakta kalau saat ini adalah kesempatan emas bagi Kralovna untuk menyerang balik, Ostrava!"
Ostrava terkesiap melihat kebulatan dan kengerian tekad lelaki yang melototinya sangat dekat. Sampai – sampai mulut Ostrava seolah terbungkam oleh hawa keberadaannya.
"Ostrava … pandanganmu terhadap Andrew Udanost itu terlalu tinggi. Dia adalah Raja pengecut yang menyerang diam – diam dan memicu peperangan. Karena itu, berhentilah."
Ostrava tak mampu membantah perkataan Zly.
Suasana mendadak sunyi. Ketegangan yang terjadi pun turun perlahan. Pada akhirnya, semua mata kembali tertuju pada Penguasa Kralovna.
Ratu Alia telah mendengarkan dengan seksama semua pendapat dan usulan para menterinya, meski ia sedikit berbicara dalam diskusi siang ini.
Ratu Alia menarik napas panjang. Ia berusaha melenyapkan sesuatu yang memberatkan dadanya. Bagai duri yang menyangkut di relung jiwanya. Begitu menyesakkan. Dan semakin sesak saat ia mendengar informasi tentang Andrew yang kabur dari peperangan. Ia merasa amat kecewa jika benar dirinya melarikan diri dari peperangan. Bagi Alia, itu sama saja dengan kabur dari tanggung jawabnya atas ucapannya di pernikahan itu.
Kekecewaan itu tampak jelas pada wajah Alia Krasna. Senyumannya semakin kecut. Walau Ostrava ingin membela kekasihnya, namun tetap saja Alia merasa terkhianati sekali lagi.
Meski begitu, rasa cinta tetap ada. Sepupus harapan masih menyala di dalam benak Alia. Lekas mulutnya pun bertanya kepada Ostrava.
"Mengapa engkau berpikir demikian, Ostrava?"
Ostrava terkejut saat pertanyaan itu mengarah padanya. Ia berusaha menenangkan diri walau Zly sedang menatapnya tajam.
"Wahai Ratuku, Alia Krasna. Peperangan ini terasa terlalu lancar."
"Terlalu lancar?" ujar Alia. "Apa maksudmu?"
Tidak hanya Ratu Alia, menteri yang lain juga bingung dengan pernyataan Ostrava.
Melihat adanya kesempatan untuk berargumen sekali lagi, Ostrava memulainya dengan hati – hati.
"Mulai dari rumor tentang hubungan Ratu Alia dan Andrew Udanost, penyerangan desa, penyerangan balik Tambang Branda hingga yang baru saja kita dengarkan. 'Raja Krale kabur dari perang'. Kita semua sudah mengetahui bahwa menghilangnya pimpinan perang akan menjatuhkan moral prajurit. Karena itu, seluruh pegawai istana, bangsawan hingga seluruh menteri akan berusaha sekuat mungkin merahasiakan hal itu dari publik apalagi musuhnya. Lalu bagaimana informasi segenting itu bisa sampai di sini?"
Ucapan Ostrava berhasil membungkam kebisingan. Keseriusan yang tampak di wajah Ostrava tidak bisa dianggap remeh. Para menteri mulai kembali meninjau ulang pendapatnya. Khawatir jikalau ini adalah jebakan yang telah disiapkan oleh musuh.
Keheningan pun mulai dipudarkan oleh bisik – bisik pendapat. Argumen Ostrava memberikan napas baru dalam diskusi. Usulan Zly yang harusnya menjadi jawaban mutlak, kini mulai dipertimbangkan kembali.
Firasat buruk Alia pun berujung temu. Ia menyadari bahwa ada pengkhianat di dalam kerajaannya. Seseorang atau sekelompok yang menjadi pengadu domba dan belum muncul ke permukaan.
Selagi Ratu Alia tenggelam dalam pikirannya, Menteri Zly tetap bersikukuh atas pendapatnya.
"Wahai Ratuku, ini adalah kesempatan emas untuk membalikkan keadaan. Kita sedang berperang, Ratuku Alia Krasna. Tidak boleh ada belas kasih pada musuh Kralovna. Meskipun informasi ini nanti tidaklah benar sepenuhnya. Sekali lagi, Ratuku Alia Krasna, Ini adalah perang."
Ratu Alia menyimak dengan baik perkataan Zly. Ia tidak dapat mengabaikan ucapannya. Menghilang tidaknya Andrew, hal itu tidak akan mengubah fakta kalau dirinya adalah pemimpin Kralovna.
Ratu Alia bangkit dari singgasana. Gemerincing perhiasan emas di tangannya menjadi melodi tunggal dalam senyapnya ruangan. Seluruh perhatian berhasil direnggut oleh dirinya. Semuanya menanti titah yang akan keluar dari bibir yang semerah delima.
"Menteri Zly, segera pindahkan pasukan yang ada di perbatasan Nenavist Timur ke garda terdepan. Panggil Pachnouni untuk ikut ke dalam perang."
"Jadi … Ratuku, Anda ..." Ostrava menyahut terbata – bata.
Ratu Alia menatap Ostrava sekilas sebelum melanjutkan ucapannya.
"Pernikahan akan diadakan dua minggu dari sekarang. Jika dia terlambat membawa pasukannya, katakan bahwa diriku akan membenci dirinya. Segera sampaikan pesan itu kepada Pachnouni!"
Menteri Zly dan para menteri yang mendukung hal itu terlihat amat bahagia. Seolah mereka bisa membayangkan masa depan yang begitu cerah telah menanti negerinya.
Di sisi lain, Ostrava tak mampu menyanggah ataupun menolak keputusan tersebut. Ia hanya bisa menggigit bibirnya sekali lagi. Meski begitu, Ostrava masih tidak menyerah untuk berpihak pada perasaan sebenarnya dari Ratu Alia.
Setelah diskusi berakhir, Ratu Alia masih duduk di singgasana. Ia menatap pada kosongnya ruangan. Sesekali napasnya diembuskan panjang. Bibirnya tidak tersenyum sedikit pun. Meski kesenduan terlukis pada wajahnya, sorot biru matanya telah menampakkan kebulatan tekad yang setegar batu karang.
Ratu Alia berdiri dan melangkah pergi menuju kamarnya. Setibanya di sana, ia mendapati aliran darah tengah menganak sungai hingga membentuk genangan air yang lebih merah dari bibirnya.
Di depannya terlihat seorang yang sekujur tubuhnya bersimbah darah. Bahkan warna pakaiannya tak lagi sama. Sosok itu berdiri sembari menggenggam pedang yang tak kalah merahnya. Ratu Alia tahu betul siapa yang telah membantai beberapa pelayan yang ada di dalam kamarnya.
"Desti."
***
Surat yang kemarin tiba di genggaman Pachnouni masih ia baca berulang kali. Sesekali ia cium dan hirup aroma yang keluar dari kertasnya.
"Aduhai!" ujar Pachnouni. "Bahkan surat yang ditulis olehnya mampu mengundang birahi anak Adam. Sungguh luar biasa wanita yang menduduki peringkat teratas dalam daftar wanita yang ingin aku kuasai!"
Tawa anehnya menggelegar hingga membuat bingung pelayan wanita yang sedang menyajikan sarapan. Ia semakin tersentak kaget saat jemari Raja Pachnouni meremas bokongnya tiba – tiba. Sang pelayan tak bisa bersuara selain mengeluarkan desahan yang tak terkendali.
"Wahai pelayanku yang manis, sampaikan kabar kepada panglima untuk mempersiapkan seluruh pasukan menuju Kralovna." Pachnouni lekas menampar bokong kencang milik pelayan dan membuatnya mendesah sekali lagi.
Meski pikirannya sempat buyar oleh tindakan sang majikan, pelayan wanita itu segera menjalankan titah sang raja. Ia pamit pergi dengan wajah yang kemerahan.
Pachnouni pun meletakkan surat itu dengan ekstra hati – hati di mejanya. Ia meminum tehnya sembari menatap suasana istana dari jendela kamarnya.
"Sungguh pagi yang sangat indah. Hanya tinggal sedikit lagi, rencana kami akan berhasil sepenuhnya." Tawanya terlepas sekali lagi. "Sayang sang maestro tidak bisa menjadi milikku. Amat disayangkan."
Selesai menghabiskan tehnya, Pachnouni segera menyantap sarapannya dan tak lupa bersiul kegirangan.
Sementara itu, sang pelayan yang harusnya menjalankan perintah Pachnouni malah disinggahkan ke depan tempat tidur yang amat megah. Keharuman ruangan yang tercium bisa merangsang kekaguman hingga naluri manusia. Bukan. Sensasi yang dirasakan oleh pelayan wanita bukan berasal dari bunga – bunga ataupun herbal yang menjadi pewangi ruangan.
"Hmm … jadi kakanda akan segera memiliki kekasih?" Suara lembut yang keluar dari bibir merah alami tersebut mampu menggetarkan benak sang pelayan.
"Itu benar, Yang Mulia Mazany," jawab sang pelayan sembari tertunduk—ia berlutut.
Sosok yang ada di hadapan pelayan wanita adalah biang dari keharuman ruangan. Biang dari sensasi yang tak bisa ditolak oleh hasratnya. Jika ia menatap mata adik dari Raja Pachnouni, dirinya akan terpikat erat dan tak mampu menahan gejolaknya.
Mazany bangkit perlahan dari tempat tidurnya. Langkahnya amat anggun hingga telinga si pelayan merasakan getaran candu yang pernah ia dengarkan.
"Hei … Mau bersenang – senang?" Bisikan lembut Mazany nyaris membuat si pelayan wanita terbang ke angkasa. Napasnya yang ugal – ugalan segera ia paksa untuk tenang.
"Maafkan … saya … Yang Mulia Mazany … Tetapi saya harus menyampaikan pesan Raja Pachnouni terlebih dahulu," ucap pelayan terbata – bata.
Mazany tersenyum. Jemarinya membelai lembut pipi si pelayan dan perlahan mendongakkan kepalanya. Sesaat mata mereka bertemu, hasrat yang telah ditahan si pelayan terlepas begitu saja. Hingga membasahi lantai tempat ia berlutut.
"Baiklah … Setelah itu kamu harus datang kemari, ya?"
"T-Tentu … Yang Mulia."
Sang pelayan dipersilakan pergi dari kamar Mazany. Ia berjalan sempoyongan dengan rok dan kaos kaki yang basah. Meski begitu, wajahnya tampak puas sekali. Tanpa ada sedikit pun penyesalan.
Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki datang dan berlutut di depan Mazany yang tengah kembali duduk di tempat tidurnya.
"Petra Staskova telah dibunuh, Yang Mulia," ujar lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam dan penutup wajah.
"Pasti Debora, bukan?" sahut Mazany, ia menggelengkan kepalanya. "Ahh … Ironis sekali. Seorang kakak perempuan yang membunuh adik kecilnya yang telah terpisah lama. Sampai – sampai ia tidak mengenalinya lagi. Benar – benar ironis. Itu sebabnya persaudaraan yang nyata hanya ada di dalam keluarga kerajaan Nenavist."
Mazany perlahan merapatkan kedua tangannya. Wajahnya pun tertunduk. Tampak seolah Mazany ingin memanjatkan doa atas kepergian pelayan perawan yang tak sempat ia cicipi.