Chereads / Remoire / Chapter 30 - Bab 28 : Sebuah Pengorbanan

Chapter 30 - Bab 28 : Sebuah Pengorbanan

Burung – burung berhamburan ke udara. Gemuruh tanah yang berisik mengusik ketenangan mereka, alam dan hewan kecil lain di sekitarnya. Goresan baru pada tanah memberi petunjuk pada apa yang terjadi. Sebuah kereta kuda terperosok dan terguling mengikuti landai daratan. Keretanya tersangkut di pohon sementara dua kuda yang menariknya tergelincir lalu mati di bawah jurang.

Guncangan hebat di dalam kereta hampir merenggut kesadarannya. Andrew berusaha bangkit dan keluar dari sana. Saat mengambil langkah pertama, ia terpeleset dan jatuh berguling mengikuti permukaan yang landai. Dipenuhi keterkejutan dan rasa takut di dalam diri, refleks tangannya meraih tunggul pohon mati dengan tenaga yang tersisa.

Andrew bisa melihat bebatuan yang berguling jatuh ke dalam jurang dan menyisakan kesunyian. Ia menelan ludahnya. Meski berhasil menghentikan laju tubuhnya, ia tahu bahwa itu hanya sebuah keberuntungan. Napas lega yang dilepaskan tak mampu menenangkan dirinya.

Sementara itu, Jazdia berusaha keras agar tetap hidup. Jemarinya sekuat tenaga bertengger di tepi jurang sembari menopang beban tubuhnya. Ia menggerakkan seluruh otot lengan dan kaki untuk memanjat naik. Sekuat apa pun ia berusaha, keadaannya tetap sama.

Bayangan seseorang datang menghalau sinar matahari. Saat matanya melihat Andrew ada di sana, sekujur tubuhnya mendadak diselimuti ketakutan. Semua penyiksaan yang ia lakukan terlintas di dalam hati yang ingin keselamatan.

Sayangnya, Jazdia tahu bahwa tidak ada keselamatan di atas sana. Semua hal yang telah ia lakukan hanya bisa ditebus oleh hukuman besar—hukuman mati oleh kerajaan. Rasa takut pun kemudian menjelma menjadi keputusasaan. Hingga kepasrahan menyelinap di sudut hati seiring jemari yang kesemutan. Terlepas dari tepi jurang, kerikil dan bongkahan tanah kecil terjatuh ke dasarnya.

….

"...Apa yang kau lakukan?" Bibir Jazdia melepaskan kata, wujud dari keterkejutannya.

Jazdia menyaksikan lelaki itu menangkap erat tangan kirinya.

"Raih tanganku, Jazdia!"

"Kenapa … kenapa kau menyelamatkan orang yang telah menghancurkan hidupmu, Ariel?" ucapnya gemetaran.

"Apa yang kau bicarakan?" lirih Andrew, suaranya terbata – bata. Rasa sakit di sekujur tubuh membuatnya sulit berbicara. Ditambah dengan beban nyawa yang harus diselamatkan, keseimbangan tubuh yang harus dipertahankan, ia bersikeras melawan derita. "Tentu, karena engkau adalah orang yang bekerja untukku di Kerajaan Krale. Setiap nyawa dari orang-orang yang hidup di sana adalah tanggung jawabku. Aku tidak ingin kehilangan siapa pun. Terlebih lagi, dikau adalah wanita yang memberiku dorongan pertama untuk maju. Meski kejahatanmu harus ditebus, kau harus tetap hidup, Mbak Jaz!"

Air mata Jazdia meleleh dan membasahi pipinya. Panggilan akrab yang amat ia sukai, diucapkan oleh lelaki yang ia cintai, bagai siraman air pada hatinya yang telah lama tandus.

Wanita itu kembali teringat mengapa ia jatuh cinta kepada lelaki ini di sana.

Ariel hanyalah lelaki biasa. Punya kekhawatiran yang sama dengan banyaknya manusia. Tentang hidup, sosial, juga masa depan. Ia selalu berusaha yang terbaik untuk menjalani hidupnya. Ariel yang begitu gigih menjalani hidup membuat Jazdia mendekat, bagai lebah yang terpikat dengan aroma bunga.

Ariel terkadang kikuk, penuh ragu, dan tidak punya rasa percaya diri dalam menghadapi masalahnya. Jazdia juga sama seperti dirinya. Didorong oleh empati, Jazdia datang memberikan semangat. Itu adalah kontak pertama yang menjadi pengikat antara dia dan dirinya. Menyebabkan Ariel menjadi seorang yang memiliki senyuman paling cemerlang di mata sang wanita.

Waktu berlalu, jarak pun semakin dekat. Setiap hari dipenuhi kehangatan dan corak bahagia dalam lebar hidup Jazdia. Meski sesulit apa pun keadaan, Ariel tak pernah memberikan senyum kecut padanya. Kepedulian sang lelaki pada dirinya dan orang – orang di sekitarnya, membuatnya mengerti.

Ariel telah menyelamatkan hatinya dengan senyuman yang menanamkan rasa cinta.

Kini, hal itu terjadi lagi. Meski dirinya adalah orang yang menghancurkan hidup Ariel untuk kedua kali, lelaki itu tak ragu untuk menyelamatkannya.

"Cepat raih tanganku, Mbak Jaz!" pinta Andrew lagi.

Suara itu memecahkan lamunan sang wanita.

Didorong oleh manifestasi kebahagiaan di dalam memori, Jazdia terlepas dari kecemburuannya yang tidak beralasan.

Bunga yang sempat membusuk di dalam hati, bangkit lagi dengan warna yang menghangatkan. Kehangatan itu memberikan impuls pada tangan kiri Jazdia untuk menggenggam erat tangan sang lelaki. Menggenggam erat harapan baru. Jazdia telah bersiap untuk maju.

Ketika hendak mengikuti aba – aba Andrew untuk memanjat ke atas, ia melihat tanah di mana Andrew bertumpu mulai bergetar dan menimbulkan retakan.

Saat itulah, Jazdia membuat sebuah siasat.

Sebuah siasat tentang cinta yang abadi.

"Ariel, lepaskan tangan kiriku lalu pegang tangan kananku dengan cepat!" Jazdia mencengkram kuat tepi jurang dengan tangan kanannya. "Tangan kananku lebih bertenaga, itu akan mempermudah menarik tubuhku ke atas!"

Tanpa menaruh curiga, Andrew pun mengikuti instruksi Jazdia. Karena siapa pun ingin keluar dari situasi yang mencekam. Bahkan penjahat sekali pun.

Andrew melepaskan tangan kiri Jazdia. Di saat bersamaan, Jazdia juga melepaskan tangan kanannya dari tepian jurang. Segera ia menarik kedua tangan ke dada sehingga Andrew tak bisa menggapainya. Jazdia bagai memeluk kehampaan. Ibarat memeluk sebuah harapan yang dibekukan oleh waktu. Ia hanya mampu melihat wajah Andrew yang semakin menjauh. Diiringi oleh air mata perpisahan, mulutnya pun berbisik kepada jurang yang akan memakan harapannya.

Terima kasih, Andrew. Aku mencintaimu.

Tubuh Jazdia terjatuh dan membentur dasar jurang. Remuk dan mengeluarkan semua darahnya. Sebuah akhir perjalanan. Ia telah mati.

"JAZDIA!!!" Keheningan pecah dan teriakan Andrew menggema ke semua penjuru.

Tak sempat melepaskan syok di dalam jiwa, tanah tempatnya bertumpu mulai runtuh. Andrew pun bergerak mundur dengan cepat hingga retak tanah tak lagi mengejar.

Andrew terduduk lemas di sana. Kemudian jatuh dalam kesenduan yang semakin pekat. Ia hidup, tetapi gagal menyelamatkan orang yang ada di hadapannya. Seseorang yang tidak bisa digantikan begitu saja.

Ketidakmampuannya membuahkan penyesalan yang menyesakkan, memenuhi dada hingga keluar menjadi jeritan nestapa.

Berkat jeritan yang bergema, para pengejar berhasil menemukan Raja Andrew yang terduduk di tepi jurang. Dengan penuh kehati – hatian, mereka mengamankan sang Raja dan membawanya kembali kepada sang majikan.

***

Andrew Udanost dibawa ke sebuah rumah yang berada di perbatasan terjauh Krale dan Nenavist Barat. Setelah mendapatkan perawatan luka dan pakaian yang layak, ia dihadapkan kepada seorang lelaki yang duduk di kursi mewah. Kedua pengawal pamit sesuai intruksi sang majikan. Saat pintu tertutup rapat dan menyisakan keheningan ringan, pria itu bangkit dari kursi. Ia menunduk sedikit untuk menunjukkan rasa hormatnya.

"Apa kabarmu, Keponakanku?"

Andrew jarang sekali bertemu dengan sang paman. Mungkin terakhir kali ketika penobatannya dahulu. Ia adalah lelaki yang harusnya duduk di atas tahta. Penuh kehormatan dengan mahkota di atas kepala meski tidak sedikit bangsawan yang membencinya. Tetapi bagi Andrew, ia adalah penyebab utama mengapa kebebasannya direnggut.

"Saya baik-baik saja, Paman Moudry."

Andrew berusaha menegarkan raut wajahnya. Menutupi semua peristawa yang membawa depresi.

Sang Paman tidak marah, tidak pula senang mendengar jawaban singkat Andrew. Ia hanya mengangguk – angguk. Kemudian duduk kembali di kursi mewahnya.

"Bila ingin kembali, maka kembalilah. Tanggung jawabmu sebagai Raja tidak sekadar memuaskan egomu, wahai Keponakanku."

Andrew mengerti makna ucapan sang paman. Kabar tentang masalah di Kerajaan Krale pasti sudah sampai ke telinganya. Tentang rumor Ratu Alia, pengkhianatan Dedic, dan penculikan dirinya. Ucapan sang paman adalah kritik pedas yang memaksanya menggigit bibir sembari menelan sebuah kegagalan.

Andrew tanpa pamit berbalik arah dan membuka pintu. Ada sebuah pertanyaan yang menyelinap di benaknya, namun segera ia singkirkan seiring beranjak keluar dari ruangan.

Semua persiapan untuk kembali telah selesai dilaksanakan. Seolah hal itu telah diprediksi sang paman. Andrew tak terkejut, mengingat reputasi sang paman yang dikenal sebagai sosok penuh perhitungan dan cerdik. Ia lekas menuju karavan dan masuk ke dalamnya. Ia berpesan pada pengawal agar tidak mengganggunya sampai esok pagi.

Perjalanan itu akan memakan waktu lebih dari tiga hari. Dalam waktu luangnya, Andrew tak sekali pun berhenti merenung, menimbang, hingga memperoleh sebuah keputusan di akhir perjalanannya.

Kepulangannya ke istana disambut haru oleh Moravia, para bangsawan yang hadir, dan segenap pekerja di dalamnya.

Dengan segera Andrew diantar oleh Moravia ke dalam kamar disertai para pelayan wanita untuk merawat lukanya. Namun, Andrew meminta mereka pergi agar dirinya bisa berbicara empat mata dengan sang kakek.

Andrew menceritakan semua yang ia dengar dari Jadiz Barka kecuali tentang identitas aslinya. Kemudian ia mengatur napas sejenak. "Segera kumpulkan semua menteri yang bisa hadir untuk pertemuan akbar."

"Semua menteri telah saya beri kabar lebih dulu, Yang Mulia. Sementara itu, Koruna juga sudah saya tangkap dan berada di penjara."

"Koruna?"

"Benar, Yang Mulia. Koruna adalah benefaktor dari Jadiz Barka dan alasan mengapa Anda terculik. Buktinya sudah saya dapatkan. Dan tenang saja, saya akan memberikan kematian paling berat atas pengkhianatan durja yang ia lakukan."

"Sabarkan dirimu, wahai Moravia," sela Andrew. "Aku akan mendengarkan apa yang akan ia katakan padaku di sidang besok pagi."

Sang menteri menghela napas panjang. Ia sampai termakan emosi mengingat rekan sesama petinggi kerajaan sampai mengkhianati sang raja. "Baik. Saya akan memberitahukan petugas untuk membawanya besok pagi."

Meski telah menduga, tetap saja terasa menyakitkan terkhianati oleh seseorang yang ia percaya. Ini adalah satu bukti lagi betapa lemahnya ia saat menjadi raja. Andrew lekas membuang pemikiran itu dan kembali fokus pada pembicaraan.

"Sekarang ceritakan padaku tentang kondisi istana dan perang yang sedang berlangsung."

Moravia berhenti sejenak. Lelaki tua sedang mempertimbangkan kondisi sang Raja yang penuh luka.

"Sebaiknya Anda harus beristirahat dahulu, Yang Mulia. Biarkan kami—para menterimu yang akan mengurus masalah ini."

"Tidak bisa, Moravia. Aku tidak bisa lagi membiarkan orang mati demi melindungiku."

Sebuah pernyataan yang sangat terbalik dengan posisinya. Moravia tak tahu apa yang telah dialami sang Raja selama masa penculikan terjadi. Tetapi, ia ingat sekali sorot mata yang terlihat dari lelaki di hadapannya. Sorot mata yang penuh harap, pilu, dan ingin melangkah maju tanpa memikirkan konsekuensi pada dirinya.

Tentu sang kakek ingin menghentikan bila ia punya kuasa lebih atasnya. Tetapi, bagai seorang cucu yang bersikeras demi keinginannya, maka seorang kakek hanya bisa mengabulkan.

Moravia bangkit dari kursi kemudian berlutut di hadapan Andrew Udanost seraya berkata, "Baik, Yang Mulia. Saya akan memberitahukan segalanya."

Moravia menjelaskan semuanya dengan rinci. Satu demi satu. Tentang kondisi perang yang berlangsung, aliansi Kralovna dan Nenavist Timur, serta informasi pernikahan kedua pemimpin negeri tersebut.

Mendengar hal itu membuat keheningan memenuhi ruangan. Hati Andrew bagaikan kaca, pecah berkeping-keping. Air matanya yang mengalir adalah satu – satunya melodi yang mengisi keheningan. Moravia sangat mengerti. Namun, ia tidak mengetahui seberapa dalam kesedihan yang ada di tiap tetesan air mata sang raja. Mengingat wanita yang telah dinikahinya akan dinikahi oleh lelaki lain.

Andrew pun meminta Moravia untuk meninggalkannya sendiri. Moravia patuh lalu menutup rapat pintu dan melarang siapa pun datang melewati pandangannya. Termasuk para pelayan yang ditugaskan untuk merawat luka.

Tak ada yang terdengar dari balik pintu yang dijaga oleh Moravia. Tetapi ia tahu, itu adalah nestapa sunyi.

Satu atau dua jam berlalu. Pintu terbuka dari dalam dan memperlihatkan mata sembab sang Raja.

"Bantu aku, Moravia." ujarnya. "Aku ingin memikirkan sebuah rencana."

"Baik, Yang Mulia." Moravia menunjuk para perawat dengan tatapannya. "Sembari merawat luka Anda, tentunya."

Andrew menatap para wanita dan mengangguk. Ia mengerti kalau tubuhnya perlu dirawat sebaik mungkin.

Keduanya pun masuk ke dalam kamar beserta para pelayan istana. Duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai perantara. Tanpa menghela napas percuma, mereka mulai berbicara.

Para pelayan selihai mungkin mengobati luka tanpa mengganggu diskusi dua petinggi kerajaan. Sebisa mungkin fokus pada pekerjaan dan melupakan apa yang terdengar oleh mereka. Satu demi satu goresan dibersihkan dan dilapisi ramuan obat. Luka yang cukup dalam dijahit setelah diberi tetesan alkohol, tentu meminta izin pada Yang Mulia sebelum menusuk kulitnya.

Dedikasi para pelayan tampak kecil, namun mereka berjuang dengan gigih. Andrew memahami hal itu. Sebabnya, meski rasa sakit yang dirasakan sempat tak tertahankan, ia hanya berdiam diri, tersenyum, lalu kembali melepaskan pemikirannya pada lawan bicara.

Waktu berlalu hingga malam tiba. Para perawat luka pun undur diri setelah diminta oleh sang Raja agar beristirahat. Sebelum keluar dari kamar, kekhawatiran mereka terlukis pada raut wajahnya. Andrew pun mengucapkan terima kasih dan berkata bahwa ia telah baik – baik saja. Dengan kalimat pendek itu, kegusaran perawat luka lenyap diterpa angin apresiasi yang berharga.

Tepat sebelum makan malam, diskusi berhasil menemui titik temu. Tetapi, Moravia menyatakan keberatan akan rencana yang telah dirancang mereka berdua. Pasalnya, rencana ini berdasarkan dua asumsi liar.

Pertama, perkataan Jadiz Barka kalau ia dapat mengembalikan kondisi seperti semula. Kedua, watak Alia Krasna yang dikenal olehnya. Meski demikian, rencana Andrew memiliki potensi untuk mencegah aliansi kedua kerajaan musuh dalam jangka panjang. Hanya saja benak sang menteri belum mantap percaya.

"Anda yakin ini rencana yang terbaik untuk kerajaan kita, Yang Mulia?"

"Hanya ini yang dapat kuberikan untuk kerajaan dan rakyatku."

"Anda tidak perlu meragukan kesetiaan saya dalam melaksanakan rencana ini, tetapi izinkan saya bertanya lagi, Yang Mulia. Apakah ini rencana yang terbaik untuk diri Anda?"

Andrew menggigit bibirnya. Pertanyaan itu menusuk tepat sasaran pada keteguhan palsu yang dipasang di wajah. Ia hanya diam. Tidak memberikan gelagat akan menjawab pertanyaan sang kakek.

Moravia menarik napas dalam - dalam. Lalu berdiri dan memberikan penghormatan. "Kalau begitu, saya akan mengabarkan kepada semuanya, Yang Mulia. Beristirahatlah malam ini, wahai Rajaku Andrew Udanost … anak dari Tvrdohlavy Udanost yang keras kepala."

Sang menteri tersenyum pasrah kemudian beranjak keluar dan menutup pintu.

Kamar menjadi sunyi. Meski beragam kemewahan ada di dalamnya, Andrew kembali meneteskan air mata.

"Maafkan aku, Kakek Moravia. Aku tidak bisa mengabulkan mimpimu."

***