Karavan kuda itu diparkirkan di dekat pohon Oak yang begitu tinggi dan besar. Dalam kerindangannya, sang kusir berteduh dan menyandarkan diri untuk mengistirahatkan sendi – sendi yang telah menua. Melakukan pemeliharaan karavan sekaligus mencari pakan untuk dua kudanya terasa begitu melelahkan.
Lelaki baya itu harusnya sudah pensiun bekerja, namun seorang gadis memintanya untuk menjadi kusir dengan bayaran yang tinggi. Sekantung penuh kepingan emas. Hanya untuk mengantar mereka hingga ke desa terjauh di Nenavist Barat, tentu saja si lelaki tua dengan senang hati melakukannya.
Namun dirinya tidak pernah menyangka jikalau sang gadis itu ternyata sedang menyekap seorang lelaki. Meski kata sang gadis bahwa dia hanya ingin membawanya kembali ke rumah, tentu saja sang lelaki baya tidak sebodoh itu. Dengan rantai dan cairan berbau tajam yang dia coba masukkan ke dalam tubuh sang lelaki dengan paksa, siapa pun pasti akan menyadarinya. Meski demikian, sang kusir tidak ingin terlibat lebih jauh. Ada masa depan sejahtera yang telah menantinya.
Lelaki baya itu menutup wajahnya dengan topi. Berharap rasa kantuk akan menyerangnya. Semilir angin yang begitu sejuk membuatnya tersenyum saat menarik napas. Ia tertawa kecil sekali. Kemudian berdoa pada pilihan yang telah ditempuhnya. Berharap kekhawatirannya tidaklah mengundang senyuman dewa kematian. Meski suara rintihan sang lelaki yang tersekap terus didengarnya berulang – ulang.
Di balik semak tinggi yang tidak jauh dari Pohon Oak, kedua tangan Andrew dirantai dan diikat pada pepohonan yang kokoh. Ikatannya begitu kuat hingga wajah Andrew tidak akan pernah mencapai tanah. Ia dibuat bertekuk lutut tanpa perlawanan. Layaknya lelaki yang akan segera diperbudak oleh majikan wanitanya.
Meski begitu, Jazdia telah mempersiapkan tenda di atasnya agar Andrew tidak kehujanan. Kemudian matras di bawahnya agar Andrew bisa cukup nyaman saat ia terlelap—tak sadarkan diri oleh rasa sakit akibat pecutan cambuknya. Begitu juga selimut untuk mengusir rasa dingin bila malam hari tiba.
Jazdia keluar dari balik selendang yang di gantung sebagai sutrah. Pakaiannya yang sebelumnya masih cukup wajar, kini berubah seperti seorang dominatrix. Pakaian hitam ketat membuat lekukan tubuhnya menonjol. Belahan dada, keseksian perutnya, hingga kepadatan pahanya dibiarkan terbuka begitu saja. Rambut panjangnya jua dibiarkan terurai di samping dadanya.
Wanita itu berjalan melenggok – lenggok layaknya ratu dari hutan yang berkabut. Kakinya melangkah sebebasnya tanpa khawatir akan apa pun. Ranting – ranting kayu seolah mendesah saat terinjak oleh sepatu bootnya yang berwarna hitam legam.
Jazdia meraih wajah Andrew yang tampak lemas lalu mengelus pipinya dengan lembut. Saat menyentuh wajah lelaki yang begitu dicintainya, gejolak hasrat dalam benaknya tiba – tiba menjadi liar. Bibirnya lekas mencium pipi sang lelaki. Namun hasratnya malah semakin menjadi – menjadi. Ciumannya mulai bergeser dari pipi ke mulut sang lelaki. Jazdia melumat bibirnya dan tak memberikannya waktu untuk menarik napas. Andrew berusaha menghindar—menutup rapat mulutnya, namun ia tak mampu berbuat apa – apa di hadapan kegigihan yang tak kenal ampun.
Ciuman pun berakhir menyisakan air liur yang mengalir di bibir sang lelaki. Sang lelaki lekas terbatuk – batuk dan napasnya menjadi berantakan.
"Aku benar – benar menikmati ciuman kita, Ariel." Jazdia menyeka air liur yang tersisa lalu menelannya. Kepuasan yang tampak bagaikan candu ekstasi merekah di wajahnya.
"Lepaskan aku, Jazdia!" ujar Andrew dengan tenaga yang tersisa. Matanya memancarkan perlawanan. "Tidak ada untungnya kau melakukan semua ini!"
"Aku tidak membutuhkan keuntungan apa pun! Harta dan tahta itu tidak berguna bagiku, Ariel." Jazdia mendekatkan wajahnya dengan Andrew sekali lagi. "Aku hanya ingin dirimu. Seluruhnya. Hatimu, dengan seluruh cinta di dalamnya. Aku ... Ya ... Karena aku sangat mencintaimu, Ariel. Cintaku ini jauh lebih besar dari pada rasa cinta Annie kepadamu. Jika kau bersumpah untuk mencintaiku sepanjang hidupmu, aku akan melepaskanmu dan membuat semuanya menjadi normal seperti sedia kala."
"Jadi menurutmu, semua yang kau lakukan ini adalah bentuk dari cintamu?"
"Tentu, Arielku sayang!" jawab Jazdia sambil mengelus pipi lelaki itu sekali lagi. Senyumannya langsung merekah selebar – lebarnya.
"Benarkah demikian?" balas Andrew. "Aku merasa kalau yang kau lakukan ini bukanlah bentuk dari cinta yang ada di dalam hatimu. Ataukah keegoisanmu yang ingin menguasai diriku? Aku tidak pernah menyangka kalau engkau akan berbuat sebodoh ini, Jazdia. Dulu aku sangat menghormatimu. Namun sekarang, aku bahkan tidak bisa membencimu. Karena engkau tampak begitu kasihan di mataku saat ini, Jazdia."
Jazdia merasa tersinggung dengan ucapan Andrew. Ia pun menjambaknya lalu menaikkan suaranya.
"Kau tidak perlu mengasihaniku, Ariel! Karena aku akan memilikimu segera! Tubuhmu, cintamu hingga benihnya! Dan kabar bagusnya adalah … Anniemu yang tersayang akan segera ternoda oleh Raja Pachnouni!" Amarah Jazdia lekas berubah menjadi tawa setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
"A-apa yang engkau katakan, Jazdia?" Andrew terkejut bukan main. Berharap jikalau wanita yang menyekapnya salah berucap.
"Akan kukatakan sekali lagi, Arielku sayang! Setelah Annie menikah dengan Pachnouni, lelaki yang berjidat porno itu akan membuat wanita yang engkau cintai menjadi pelacur dan tidak berguna!"
Andrew yang tak sanggup mendengarnya seketika mengerang keras dan berusaha mengeluarkan diri dari jeratan rantai yang mengikatnya.
"Percuma, Ariel! Percuma!" tukas Jazdia. "Kalian berdua tidak akan pernah bertemu lagi. Kalian berdua tidak ditakdirkan untuk bersama, Arielku tersayang."
Erangan Andrew semakin menjadi – jadi. Melihat tingkah Andrew yang begitu meratapi Annie, membuat Jazdia kesal sekali. Sang wanita langsung mengangkat cambuknya dan memecut sang lelaki.
"Percuma, Ariel! Percuma!" Jazdia terus memecutnya. "Jika kau tidak mau bersumpah untuk mencintaiku selamanya, cambuk ini akan terus mencium seluruh tubuhmu!"
Andrew tetap mengerang keras. Ia berusaha bangkit dan menarik rantai yang mengekangnya. Namun usahanya langsung pupus saat cambukan yang sangat keras menghantam paha dan lengannya. Membuatnya tersentak lemas tak berdaya.
"Percuma, Ariel! Kau tidak akan pernah lagi menemuinya! Untuk selamanya!" Jazdia sekali lagi tertawa terbahak – bahak. Tawanya begitu keras layaknya terompet yang mengumandangkan kemenangan.
Andrew tak lagi mengerang. Ia tertunduk pasrah dengan air mata yang berlinang. Melihat lelaki yang dicintainya jatuh dalam kesenduan, Jazdia merasa bahagia.
Jazdia lekas merenggangkan rantai yang mengikat tangan Andrew sehingga ia bisa tergeletak di atas matras. Jazdia pun membersihkan luka sang lelaki. Kemudian memberikan ciuman mesra di bibirnya yang tertutup rapat.
"Kita akan lanjutkan nanti, Ariel. Sekarang beristirahatlah." Jazdia menyelimuti lelaki yang telah terbaring lemas dengan kaki dan tangan masih dirantai.
Jazdia pergi meninggalkan Andrew lalu menemui sang kusir yang tengah beristirahat di bawah rindangnya pohon Oak.
"Pak Kusir!" sapa Jazdia ramah.
Sang kusir mengangkat topi di wajahnya dan seketika terbelalak melihat tubuh gadis yang memberikan pekerjaan padanya. Ia segera mengaburkan hasrat yang nyaris menguasai nalurinya.
"A-ada apa, Nona? Apakah kita akan segera berangkat?"
"Tidak, Pak Kusir. Kita akan berada di sini beberapa hari lagi."
"Maaf jika saya lancang, Nona. Tetapi berlama – lama di sini, saya khawatir orang lain akan menemukan kita. Meski saat ini kita berada di hutan milik Nenavist Barat sekalipun—"
Ada keheningan yang terjadi tiba – tiba. Pak Kusir seperti menggali lubang kuburannya sendiri karena telah mengatakan apa yang harusnya tidak ia katakan. Tetapi sang gadis itu hanya tersenyum dengan manisnya.
"Tidak perlu khawatir," tutur Jazdia. "Pasukan Krale tidak akan bisa masuk ke dalam hutan ini karena bisa itu terjadi, perseteruan mereka akan semakin bertambah runyam."
Mendengar kata 'pasukan Krale' terdengar dari mulut sang penyewa, membuat keringat dinginnya mengucur pelan.
"B-baiklah kalau begitu, Nona. Saya akan mengambil kayu bakar dan rumput buat pakan kuda. Tetapi saya berharap kita tidak berlama – lama di tempat ini, Nona. Karena bahan makanan yang dibawa tidak akan cukup untuk jangka panjang."
"Tentu, Pak Kusir. Kalau begitu mohon bantuannya." Setelah Jazdia menundukkan kepalanya untuk berterima kasih, ia teringat satu hal penting. "Pak Kusir, jika Anda tidak keberatan, saya mohon untuk memantau keadaan sekitar. Saya akan berikan imbalan lebih untuk Anda nantinya."
"T-tidak perlu diberi upah tambahan lagi, Nona. Saya dengan senang hati akan melakukannya."
Pak Kusir segera memberikan penghormatan pada wanita yang berpakaian seperti wanita simpanan Raja Skaredy yang pernah ditemuinya di Istana Nenavist Barat dulu. Ia tidak mungkin mengatakan hal itu pada penyewa jasanya.
Lekas setelah Nona itu kembali ke tempatnya, sang kusir pun berkeliling mencari kayu bakar. Ia pelan berjalan ke sana ke mari dan berhati – hati pada bidang tanah yang tidak ramah. Meski pernah beberapa kali melewati hutan ini, ia tetap tidak terbiasa oleh tebalnya kabut dan topografinya.
Sang kusir sadar betul jikalau rute yang diambil olehnya bukanlah jalur yang umum digunakan untuk bepergian. Meski jaraknya lebih singkat ke tujuan, namun resiko yang ditanggung jauh lebih besar. Tanah berlumut dan jurang yang berada di sisi dalam hutan harus benar – benar diperhatikan dengan seksama. Sekali tergelincir, pasti nyawa akan melayang. Untung saja kalau masalah hewan liar, sang kusir masih bisa mengatasinya.
Kegiatan yang sama terus berlalu berhari – hari. Bagi sang kusir, ia sudah mulai terbiasa dengan segalanya. Termasuk mendengar jeritan sang lelaki yang semakin menjadi – jadi. Rasa khawatir masih menyambangi benaknya, namun ia bertekad untuk tidak ikut campur.
Sementara itu, Jazdia masih terus memberikan 'kasih sayangnya' kepada Andrew kemudian menyiksanya saat sang lelaki enggan bersumpah untuk mencintai dirinya. Roda kengerian itu terus berputar dan berputar. Entah apa yang merasukinya, Andrew mengatakan sebuah kalimat yang membuat Jazdia menggeretakkan giginya.
"Apakah kau benar – benar menikmati perbuatanmu ini, Jazdia? Menghancurkan hidup orang-orang yang tidak berbuat buruk kepadamu, apa kau begitu menikmatinya? Apakah kau telah kehilangan dirimu yang sebenarnya?"
Jazdia langsung naik pitam dan memecut Andrew dengan liar. Tanpa disadari darah mulai mengalir pelan di kulit wajah sang lelaki. Darah pun semakin banyak mengalir seiring cambukan yang membabi buta. Meski sang lelaki telah tak sadarkan diri, pecutnya masih terus menari – nari.
Saat hendak melancarkan pecutan terakhir, tiba – tiba Jazdia berhenti mengangkat cambuknya. Sesuatu mengalihkan perhatiannya. Terdengar ringkikan kuda dan suara layaknya teriakan manusia bergema di dalam hutan yang berkabut. Meski samar, teriakan itu mulai terdengar saling menyahut satu sama lain. Seolah sedang melakukan penyisiran hutan untuk mencari sesuatu.
Dalam sepersekian detik Jazdia tersadar akan kelalaiannya. Bibir yang tergigit mengeluarkan darah yang tak kalah kentalnya dengan penyesalan di dalam benaknya. Tanpa membuang waktu lagi, ia lekas menyumpal mulut Andrew dengan kain dan melepaskan rantai yang mengikatnya.
"Kusir!!" teriak Jazdia.
"S-sudah saya persiapkan, Nona!" Sang kusir telah membawa kereta kudanya mendekat.
"Cepat naikkan lelaki ini ke dalam kereta!" perintah Jazdia.
"B-baiklah!"
Keduanya menggotong Andrew masuk ke dalam kereta dan menutup pintunya. Kemudian keduanya bergotong royong untuk membereskan barang – barang mereka. Namun, teriakan yang bergema itu semakin dekat terdengar. Mereka tidak punya pilihan selain meninggalkan sebagian barang bawaannya.
Sang Kusir lekas memacu kudanya secepat angin. Bunyi tapak dan ringkikan kudanya bergema keras hingga jauh. Bunyi itu memancing perhatian dari orang – orang yang harusnya dihindari oleh Jazdia.
"Hei! Berhenti di sana!" Teriakan yang menjelma menjadi perintah itu terdengar jelas.
"Cepatlah, Kusir!" paksa Jazdia. "Jika kita tertangkap, kamu juga akan binasa!"
Rasa takut mulai menggerayangi sang pria tua. Mendengar ancaman seperti itu, mau tidak mau dia harus menguatkan keberaniannya. Ia tidak boleh berhenti pada masa depan yang akan menantinya. Pada kepingan emas yang tak sabar untuk dibelanjakan.
Tebalnya kabut dan jalan yang dipenuhi akar pepohonan membuat karavan kudanya bergetar hebat. Dengan segenap kemampuannya, sang kusir berusaha memastikan agar kereta kudanya tidak tergelincir.
Jazdia—yang duduk di sebelah kusir—terus menggigit jarinya. Ia tidak mengerti bagaimana pasukan Krale bisa memasuki hutan tersebut. Padahal jika mereka memaksa masuk melalui pegunungan Alven, tentu memakan waktu sampai satu minggu untuk tiba di hutan yang berkabut ini.
Rencana yang disusun dengan persiapan yang sangat matang, bagaimana mungkin ada yang mampu mengetahuinya?
"Jangan – jangan Skaredy mengkhianatiku?!" culas Jazdia, wajahnya mengerut murka. "Harusnya aku tidak mempercayainya begitu saja dalam menentukan rute perjalanan ini! Sialan!!"
Selagi Jazdia merenungi penyesalannya, terdengar langkah kuda yang semakin bergema mengikuti mereka. Jazdia mengintip ke belakang namun masih tidak ada yang terlihat.
"Kabut ini menghalangi penglihatan mereka. Kusir, tidakkah ada rute tercepat yang bisa kita gunakan?"
"Ada, Nona. Tapi saya khawatir jika di sana sudah ada yang akan menghadang."
"Kalau kita lebih cepat dari mereka, itu pasti tidak akan terjadi!"
"Kita membawa karavan, tidak mungkin lebih cepat dari para penunggang kuda yang hanya membawa satu orang, Nona!"
Jazdia mendecakkan lidahnya. Ia lekas menarik kerah sang lelaki tua dan menatapnya tajam.
"Itu tugasmu untuk membawaku sampai ke tujuan, bukan?"
Tatapan menusuk dari mata Jazdia membuat sang kusir semakin bertambah takut.
"B-baiklah! Saya akan membawakan Anda ke sana."
Sang kusir semakin kencang memacu kudanya. Melewati celah sempit kemudian menuju jalur hutan yang semakin lebar.
Kereta kuda masih melaju kencang. Menempuh jalanan berliku yang berdindingkan pepohonan yang berbaris rapi.
Suara yang membuat Jazdia gusar semakin tidak terdengar. Meski begitu, ketegangan di wajahnya belum memudar. Jazdia kembali menatap ke depan. Pepohonan mulai semakin jelas terlihat. Jarak pandangnya semakin membaik oleh kabut yang mulai menipis.
"Berapa lama lagi kita akan keluar dari hutan?" tanya Jazdia.
"Harusnya setelah melewati persimpangan hutan yang ada di depan, kita hanya perlu mengambil jalur lurus, Nona."
"Setelah itu, kita akan berhasil …." Wajah Jazdia yang sempat kusut kembali melukiskan senyuman yang manja.
Rasa lega itu juga menyambangi benak sang kusir, namun setelah pepohonan yang bertindak sebagai dinding habis terlewati, tampak segerombolan pasukan telah berbaris rapi seolah menanti kehadiran mereka.
"Kejar mereka!!" Seruan yang menggema berasal dari para penunggang kuda yang telah memacu kuda – kuda mereka.
Kepanikan menyerbu bagai air bah yang datang tiba – tiba. Sang kusir spontan membelokkan laju kereta kudanya ke arah yang berlawanan dari gerombolan pasukan tersebut.
"Kenapa kau malah berbelok, kusir sialan!!" sergah Jazdia, matanya melotot nyaris keluar.
"Mereka pasti sudah menghadang di penghujung jalan, Nona! Jika mengambil jalur lurus, kita pasti akan tertangkap!"
Jazdia tidak bisa membantah pernyataan sang kusir, namun gerombolan yang mengejarnya semakin mendekat. Sejengkal demi sejengkel orang – orang berseragam layaknya pasukan kerajaan terus menghampiri. Hingga salah satu dari pengejar telah berhasil berdampingan dengan kereta kudanya.
"Cepat berhentikan kereta ini!" teriak sang pengejar.
Jazdia lekas berdiri dan berpegangan pada dinding karavan. Kemudian ia mengeluarkan cambuk dan memecut lelaki tersebut. Sang pengejar spontan menghindari cambuknya. Naas, hal itu malah membuatnya lengah dan melepaskan kendali akan kuda yang dipacunya. Sementara sang kuda yang berlari tanpa kendali tuannya pun menerobos ke dalam semak belukar tanpa aba – aba.
"Rasakan itu!" raung Jazdia "Kusir cepatlah!"
Sang kusir mengangguk dan tetap memacu kudanya. Namun, kali ini bukan dia yang menentukan kendali. Melainkan dirinya telah menyerahkan segalanya pada insting bertahan hidup yang dimilikinya.
Jalur yang terlanjur diambil adalah rute yang tidak pernah ada di dalam kepala sang kusir. Bahkan semakin jauh kudanya melangkah, semakin tak terlihat sebagai rute perjalanan. Semak semakin tebal, ranting pepohonan juga semakin rendah, layaknya sebuah bagian hutan yang belum terjamah manusia.
"T-tenang saja, Nona. A-aku akan membawa Anda dengan selamat. Dan aku juga akan bisa hidup bahagia ��� haha … ha." Sang kusir tengah menegarkan dirinya. Ia masih mencoba meraih asa.
Namun para pengejar bukanlah malaikat yang bermurah hati. Anak – anak panah melesat dari belakang melewati jendela karavan dan mengenai bahu sang kusir. Ia berteriak menahan sakit. Saat melihat darah yang mengalir dari bahu, paniknya semakin menjadi – jadi.
"Tenangkan dirimu, Kusir!" seru Jazdia. "Itu hanya luka gores!"
Sang kusir mendengar ucapan Jazdia. Ia mencoba tetap teguh membawa kereta kuda mengikuti jalur yang tampak mudah dilewati. Meski tangannya gemetaran tak menentu dan celana yang sudah basah oleh air seninya, sang kusir terus memacu kudanya.
Sementara itu, Jazdia terus menghalau para pengejar yang hendak meraih karavan. Cambuknya menari – nari guna mencegah tangan – tangan durjana itu merusak rencananya. Namun Jazdia hanya perempuan biasa, anak panah yang begitu cepat melesat tak mampu dielakkan olehnya.
Jazdia mengerang kesakitan saat bahu dan pahanya ikut terhujam anak panah. Namun, ia masih berdiri tegar menantang para penunggang kuda. Lagi – lagi, cambuknya berhasil menjatuhkan pengejar yang hendak meraih tangannya. Sang wanita pun berteriak seolah mengumandangkan kemenangan.
Silih berganti, para pengejar terus berusaha menyamai posisi kereta kuda. Mereka juga melepaskan anak panah ke arah kusir agar dia berhenti memacu kudanya.
"Berhenti! Kami tidak akan membunuh kalian!" seru salah satu dari gerombongan yang mengejar.
"Mana mungkin aku akan berhenti!" teriak sang kusir.
Atas respon sang kusir, satu anak panah menghujam bahunya sekali lagi. Sang kusir pun mulai murka oleh rasa sakit yang tak henti dirasakannya. Ia menggiring kudanya ke samping dan membenturkan karavannya kepada para penunggang kuda.
Naas, tindakannya yang begitu gegabah, membuat kereta kudanya oleng dan tak terkendali. Sang kusir berusaha menyelaraskannya lagi, namun roda kereta yang tergelincir tak dapat dihentikan.
Kereta kuda terperosok ke bawah mengikuti gravitasi yang menariknya. Berputar – putar hingga membentur pohon yang menahan karavannya agar tidak terus tergelinding. Sang kusir tak ikut terjatuh. Tubuhnya tersangkut—tertusuk pada kayu besar nan runcing. Mulutnya mengerang atas rasa sakit yang tak mampu diterjemahkan oleh bahasa. Hingga jiwanya terlupa pada sekantung koin emas yang menanti untuk dibelanjakan.