Pedang yang amat besar itu menebas leher prajurit yang datang menghadang. Satu demi satu para penunggang kuda yang menjadi lawannya hanya menyisakan tubuh tanpa kepala. Kuda – kuda yang mengira majikannya masih hidup pun terus berlari dengan gagahnya. Hingga saat mata menyaksikan tubuh sang majikan terjatuh, kawanan kuda pun meringkik ketakutan dan berlari entah ke mana.
Ayunan pedang besar itu menimbulkan deru angin yang menyebarkan ketakutan kepada lawannya. Sekali tebasan pasti melayangkan nyawa.
Meski sudah resmi pensiun dari militer Krale, jiwa sang pemilik pedang tetaplah seorang Jenderal Admarni yang perkasa. Nama sang jenderal adalah Praha. Lelaki bertubuh tinggi besar dan memakai baju perang yang terbuat dari logam. Walaupun anak panah musuh yang telah diluncurkan berhasil menembus jirahnya, Praha masih tetap gagah menantang.
"Maju dan tebas kepalaku, wahai prajurit bar – bar!" teriak Praha pada pasukan Kralovna yang perlahan mundur. "Apakah kalian begitu pecundang?"
Wajah masam para prajurit Kralovna itu menunjukkan ketidakinginan untuk mundur. Namun siulan untuk mundur telah diperdengarkan. Sebagai prajurit, mereka harus patuh pada jenderal perangnya.
Formasi Kralovna yang dipimpin oleh Hibitost mulai mundur teratur. Satu per satu membentuk barisan rapi yang berpusat pada Jenderal Kralovna tersebut.
Praha melihat keanehan pada tindak – tanduk pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Hibitost. Tidak seperti Zena yang menyerang dengan begitu tajam dan dalam, pasukan milik Hibitost tampak terlalu tenang—seperti sedang menunggu sesuatu. Bukan hanya itu, jumlah pasukan mereka hari demi hari semakin sedikit. Seolah pasukan yang digunakan untuk melawan Praha memang disengaja agar jumlahnya sedikit. Alhasil, pasukan Hibitost hanya bisa kalah hari demi hari. Sejengkal demi sejengkal, tanah mereka pun berhasil dikuasai.
Tiba – tiba, sebuah kengerian merasuki batin sang veteran perang. Firasatnya semakin menajam saat melihat gumpalan debu meninggi dari ufuk timur. Dari arah gumpalan debu terlihat sesosok prajurit Krale yang tampak terluka parah dengan panji yang telah robek. Sosok itu berteriak memanggil nama sang komandan.
"Menteri Praha!! Jenderal Porucik Brno telah tewas!! Mereka beraliansi dengan Nenavist Timur!!"
Mata Koruna membulat. Napasnya tertahan. Setumpuk penyesalan menggerayangi kenaifannya. Menganggap Kralovna sebatas kerajaan bar – bar yang tidak mengerti seni berperang menjadi kesalahan fatalnya.
"Mundur!!" teriak Praha tiba – tiba. "Semua pasukan!! Mundur!!"
Seluruh prajurit Krale sempat bingung. Namun para penyampai pesan lekas meniupkan terompet yang menjadi sinyal untuk mundur.
Mendengar bunyi terompet yang telah dikumandangkan, pasukan Krale lekas berbalik arah dan mengikuti instruksi. Formasi yang sempat rapi menjadi acak – acakan seketika. Pasukan berkuda langsung memimpin di depan. Sementara pasukan infanteri berjuang sekuat tenaga untuk kabur. Sebagian berinisiatif untuk tidak mundur dan menahan musuh agar tidak dapat mengejar seluruh pasukan.
"Menteri Praha, Apa yang terjadi? Mengapa kita mundur padahal sedang memegang momentum? Apakah karena kematian anak sulung Anda?" tanya sang tangan kanan Praha di tengah mundurnya pasukan.
"Kematian Brno adalah bukti bahwa pasukan yang dilawan anak sulungku pasti jumlahnya amat besar."
"Bukankah jumlah kita sama besarnya?"
"Kau tidak mengerti juga?! Mereka ingin memotong formasi kita dari belakang! Lalu menjebak kita di tengah – tengah pasukan mereka. Jika itu terjadi, leher kita pasti terpenggal sia – sia!"
Sang tangan kanan Praha hanya bisa menelan ludah. Rasa takut dan kekhawatiran sang komandan langsung menular padanya.
"Sepertinya itu gawat sekali, Jenderal ..." ujarnya. "Lalu apa rencana Anda?"
"Jika bisa mendahului pasukan musuh yang akan memotong formasi, kita akan tetap memegang momentum peperangan." Praha langsung mengisi penuh paru – parunya. "Larilah pasukanku!! Apa pun rencana para biadab itu, kita akan menang!! Larilah dan rapatkan barisan kalian! Persiapkan diri atas gempuran yang akan terjadi!!"
Teriakan Praha menggelegar ke seantero pasukan. Perkataannya langsung didengungkan para pembawa pesan untuk menguatkan moral prajurit yang sempat dilanda kebingungan.
Teriakan Praha disambut oleh kuatnya jawaban para prajurit yang juga tak kalah berdengung. Kepercayaan mereka terhadap sang komandan kembali sempurna.
Namun di belakang mereka, pasukan Hibitost telah mengejar dengan kecepatan penuh. Para infanteri yang sempat menghalangi mereka hanya tinggal tubuh tak bernyawa.
"Jangan biarkan para pecundang itu kabur!!" Teriakan Hibitost tak kalah menggelegar. "Pasukan pemanah!! Tarik busur kalian!!"
Seluruh pemanah yang berada di belakang penunggang kuda, lekas mempersiapkan busur dan anak panahnya. Tarikan yang begitu kencang telah diarahkan kepada pasukan musuh.
"Lepaskan!!"
Sesaat Hibitost memberikan perintah, puluhan anak panah menerjang kencang ke arah pasukan Krale. Mata anak panah itu tertancap pada punggung prajurit yang ada di belakang. Membuat mereka tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan. Kuda – kuda yang terkena serangan juga ikut tak terkendali sebab menahan rasa sakit yang luar biasa.
Satu per satu prajurit Krale yang ada di belakang tumbang. Praha sangat menyadari hal itu. Kemudian memerintahkan beberapa pemanah untuk berada di belakang pasukan.
"Balas serangan mereka!! Tarik busur kalian!! Lepaskan!!"
Anak panah yang diluncurkan pasukan belakang Krale dengan cepat menghujam musuh yang mengejar. Meski tidak ada satu anak panah pun yang berhasil mengenai Hibitost, setidaknya sebagian pemanah mereka terpukul mundur.
Adu serangan terus terjadi di bagian belakang pasukan. Begitu sengit hingga korban terus terjadi pada kedua sisi.
Sementara dari ufuk timur, gerombolan pasukan Kralovna yang ingin memotong sudah terlihat jelas. Praha hanya bisa menelan ludah. Mereka bagaikan telur di ujung tanduk.
"Menteri Praha. Saya akan menahan pasukan mereka."
"Apa kau gila? Pasukan yang bisa kau bawa hanya sedikit!"
"Meski begitu, asal Anda selamat, pasukan kita pasti akan dapat berjaya. Belum juga Jenderal Velka Obet dan Olomouc yang ada di sisi barat dan selatan bergabung. Anda pasti bisa membawa Krale pada kemenangan."
Praha menggigit bibirnya. Berat sekali baginya untuk melepaskan lelaki yang telah mengabdi bersamanya dalam sepuluh tahun terakhir.
"Jangan mati, wahai sahabat seperjuanganku."
Kalimat yang terlontar dari bibir Praha mengukir senyuman yang penuh kepuasan.
"Tentu, Jenderal."
Setelah memantapkan tekad dalam sepersekian waktu, sang tangan kanan pun berteriak sekerasnya.
"Wahai prajurit pemberani! Adakah dari kalian yang mampu mengorbankan nyawanya demi kemenangan Krale? Hari ini adalah pembuktian akan darah dan kesetiaan kalian! Ikutilah aku, wahai pasukanku! Mari ciptakan kesempatan agar kita bisa membalas serangan para biadab itu!!"
Seluruh pasukan yang ada di bawah naungan sang tangan kanan lekas berseru sekerasnya hingga terdengar ke pasukan Kralovna yang sedang mengejar.
Sang tangan kanan dan pasukan yang mengikutinya lekas mengambil formasi di sebelah kanan. Merapikan barisan dan lekas memisahkan diri.
"Demi kejayaan Krale!!" Jeritan sang tangan kanan menggelegar di udara, membakar semangat yang telah dibakar tak menyisakan satu pun keraguan.
Segelintir pasukan yang dibawa olehnya berlari menuju musuh yang hendak memotong barisan. Berbaris lurus seperti tombak yang bertujuan untuk menghantam musuh dari depan sehingga dapat memecah belah barisan musuh dan menghambat mereka.
Bentrokan terjadi dalam hitungan detik.
Teriakan pasukan dari kedua belah pihak menggema di dataran rumput yang menjadi kanvas yang melukiskan kematian. Darah – darah yang terciprat dari leher menjadi warna dasar dari lukisan yang durjana.
Meski tak kembali dengan selamat, pasukan yang dibawa sang tangan kanan tetap membuahkan hasil.
Praha berhasil membawa sebagian besar pasukannya mendahului pasukan musuh yang hendak memotong. Meski demikian, raut Praha terjebak dalam kesenduan yang begitu pekat.
"Engkau memang benar – benar hebat, Ratu Alia Krasna," umpat Praha. "Mampu membuatku tersudut seperti ini adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh penguasa sebelum dirimu. Karena itulah, aku pasti akan membawa kepalamu ke hadapan seluruh prajuritku sebagai penebusan penghinaan ini!"
Praha memacu kudanya sekencang angin. Terus membakar semangat juang pasukan agar terus berlari hingga sampai pada kota yang berhasil mereka kuasai sebelumnya.
Sesampainya di sana, Praha langsung memberikan instruksi untuk bersiap – siap meninggalkan kota jajahannya setelah cukup beristirahat.
"Di mana Koruna?" tanya Praha pada ajudan yang harusnya bersama sang menteri gendut berkepala botak.
"Menteri Koruna dijemput paksa oleh Moravia, Tuanku Praha."
"Hah?"
Suara Praha yang terdengar kesal, membuat sang ajudan sedikit gemetar.
"Y-yang saya dengar, beliau mendapatkan tuduhan atas sesuatu yang tidak menyenangkan."
Praha mendecakkan lidahnya.
"Di saat – saat seperti ini, Apa yang sebenarnya kau lakukan, Moravia?" Praha menggeram dalam penyesalan yang belum mereda.
***
Ruangan sang menteri sangat berantakan. Sang pemilik ruangan tak memiliki waktu untuk mengurus hal sepele seperti itu. Saat ini, seluruh sel tubuhnya ia gunakan hanya demi Raja Krale yang masih belum ditemukan.
Sudah lebih tiga hari, Moravia tidak pernah mandi satu kali pun. Bau badannya sangat menyengat sampai – sampai pelayan yang masuk harus menutup hidungnya.
Moravia yang biasa menegur sapa pelayan yang datang, kini begitu dingin meski ruangannya terasa panas karena pintu dan jendela yang selalu tertutup rapat.
Tangan Moravia terus menulis. Jemarinya tak berhenti membolak balikkan dokumen demi dokumen. Kepalanya terus berpikir cara untuk mempercepat dan memperluas pencarian.
Sesaat, jemari Moravia terhenti oleh sentuhan lembut jemari seorang wanita. Mata Moravia yang hendak memancarkan kemarahan seketika mereda saat melihat sosok yang mengganggu pekerjaannya.
"Ada baiknya Anda juga beristirahat, Tuan Moravia."
"...Nyonya Liberec?" Moravia mengatur napas dan berusaha menampakkan seutas senyuman. "Mengapa Anda datang kemari?"
Nyonya Liberec tersenyum. Ia kemudian menyusun berkas yang berantakan di atas meja sang menteri. Sang menteri merasa hal itu tidak perlu, namun ia tidak sanggup untuk menghentikannya.
"Tuan Moravia, seluruh pelayan di Istana sangat mengkhawatirkan diri Anda. Sebagian bangsawan, saya, bahkan mendiang suami saya juga. Anda harus beristirahat. Memaksakan diri seperti ini tidak akan mendatangkan maslahat sedikit pun."
Moravia memukul mejanya. Alih – alih memarahi Nyonya Liberec, beliau tiba – tiba meneteskan air mata.
"S-saya juga mengerti hal itu, Nyonya Liberec. Tetapi … saya tidak bisa berhenti khawatir. Tiap kali tertidur, saya diperlihatkan akan kematian Raja Andrew. Saya .. tidak kuat."
Air mata Moravia semakin mengucur deras. Menambah legam kantung mata yang telah hitam.
Nyonya Liberec melepaskan celemeknya. Ia mendekat dan merangkul kedua tangan sang menteri. Kemudian berkata dengan penuh kelembutan pada lelaki di depannya.
"Izinkan saya dan yang lain juga ikut mengemban beban itu, Moravia. Kamu tidak sendiri. Sebagai sahabat, saya tidak ingin membiarkanmu menderita seperti ini."
Air mata Moravia semakin tak terbendung. Lelaki paruh baya itu terisak – isak dan bersandar pada genggaman tangan Nyonya Liberec.
Tangisan Moravia juga mengundang keharuan Nyonya Liberec. Membuatnya teringat pada kenangan yang telah terkubur lama.
Keharuan itu terus berlalu. Hingga mentari telah meninggi, Moravia pun kembali menegakkan kepalanya.
"Maaf telah merepotkanmu, Nyonya Liberec." Moravia tersenyum.
"Anggap saja kita impas, Moravia." Nyonya Liberec membalas senyumannya.
"Sebenarnya … masih ada satu orang yang bisa membantu dalam pencarian ini. Tetapi, aku ragu kalau dia akan mau membantuku."
"Bertindak lalu menyesal lebih baik dari pada diam dan menyesal, bukan?"
Moravia nyaris tak bisa menahan tawanya saat mendengarkan perkataan sang wanita.
"Jangan mengingatkanku akan kejadian lama, Nyonya Liberec. Bisa – bisa saya akan dikutuk oleh suamimu."
"Aku yakin—asal demi kerajaan Krale—suamiku tidak akan keberatan sama sekali, Moravia."
Saat Moravia menatap penuh perhatian pada mata sang wanita, terlihat sebuah ketegaran yang begitu kuat. Amat teguh hingga mampu menyirnakan keraguan yang menggerayangi benaknya.
"Saya benar – benar berterima kasih padamu dan pada suamimu, Nyonya Liberec."
"Sama – sama, Moravia. Setelah selesai, jangan lupa untuk beristirahat."
"Terima kasih banyak sekali lagi," sahut Moravia. "Setelah menyelesaikannya, saya pasti lekas beristirahat."
Nyonya Liberec tersenyum melihat api semangat sahabatnya telah kembali. Bersinar terang dan begitu menyilaukannya.
Bagai terciprat api semangat, Nyonya Liberec kembali memasang celemeknya dan merapikan ruangan itu sekali lagi.
Moravia berusaha melarangnya tetapi dirinya terlalu gelagapan di hadapan wanita yang pernah dicintainya sewaktu muda.
Moravia pun hanya tersenyum dan kembali fokus pada inisiatif yang telah ditetapkannya. Ia mengambil kertas dan pena bulu. Lalu menuliskan sebuah nama pada putihnya kertas. Nama yang pernah menggoreskan kenangan buruk bagi Moravia.
"Moudry Udanost. Meski engkau telah berada di Benua Tengah sekalipun, harusnya masih ada sedikit kepedulian dalam benakmu pada nasib Andrew Udanost."
***
Hutan yang dilewati oleh kereta kuda tak kunjung berakhir. Kabut tebal di sekitarnya membuat perjalanan sang wanita berjalan semakin aman dan lancar. Semakin jauh dari tempatnya dulu berada, semakin merekah pula senyumannya.
"Tidak lama lagi, kita berdua akan tiba di Benua Tengah, Ariel. Dengan begitu, kau dan aku bisa memulai hidup baru. Tanpa ada satu pun yang dapat menghalangi cinta ini."
"Hentikan rencanamu ini, Jazdia," lirih Andrew.
Jazdia mengelus pipi lelaki yang telah dibaringkan di pahanya.
"Tentu saja tidak, Ariel. Engkau akan menjadi milikku. Bagaimana mungkin aku akan berhenti?"
Jazdia lekas tertawa. Suaranya pun sampai membuat bulu kuduk sang kusir berdiri.
Dalam kondisi yang masih terbius dan terikat oleh rantai, Andrew yang begitu tak berdaya hanya mampu menggerakkan bibir dan matanya. Ia hanya bisa melihat, makan, berbicara, dan mengeluarkan air mata.
"Aku tidak akan pernah bisa mencintai dirimu, Jazdia."
Ucapan Andrew sontak memicu amarah wanita.
"Berhenti, kusir!" perintahnya.
Kereta kuda pun mulai berjalan lambat dan berhenti di tengah hutan belantara.
Jazdia lekas menjatuhkan Andrew—yang ada di pangkuannya—ke lantai karavan. Kemudian ia membuka tempat duduknya untuk mengambil sebuah cambuk yang telah dipersiapkannya.
"Sepertinya engkau tidak mengerti posisimu sendiri, Arielku yang tersayang."
***