Chereads / Remoire / Chapter 24 - Bab 22 : Serangan

Chapter 24 - Bab 22 : Serangan

Andrew telah kehilangan kesempatannya untuk menjelaskan kepada Alia tentang kesalahpahaman ini. Ada pihak yang ingin mengadu domba mereka.

Namun, Andrew hanya bisa melangkah maju. Dengan mengharapkan akan adanya sebuah kesempatan lagi untuk berbicara kepada Alia nanti.

Sementara itu, perang sudah berkecamuk sejak tadi malam. Menteri Praha yang langsung memimpin pertempuran. Dengan membawa setengah dari jumlah pasukan Krale secara diam – diam, ia maju ke dalam medan perang.

Perebutan kendali terhadap Tambang Branda terjadi hingga berhari – hari. Jumlah korban jiwa terus bertambah setiap harinya, baik Krale ataupun Kralovna sama – sama mendapatkan kerugian.

Kemudian Menteri Praha menggunakan taktik pengepungan dan kekuatan pasukan secara penuh dari segala sisi hingga berhasil menjatuhkan pertahanan terakhir Kralovna di dalam Tambang Branda.

Namun, Kralovna juga tidak ingin membiarkan Krale memperoleh keuntungan yang besar. Mereka menghancurkan tiang penyangga sehingga membuat tambang longsor pada beberapa titik.

Tidak berhenti sampai di situ, Menteri Praha bersikeras untuk melakukan invasi ke dalam wilayah Kralovna. Setiap titik perbatasan vital seketika menjadi medan pertempuran.

Raja Andrew hanya bisa melihat dari kejauhan melalui tenda yang dibuat untuknya. Sayangnya, kecurigaan terhadapnya tetap tidak hilang. Menteri Koruna dan Praha pun meminta Raja Andrew untuk menarik diri dari peperangan. Karena dikhawatirkan Raja Andrew akan memberikan simpati kepada Kralovna.

Sudah lebih dari sepuluh hari sejak peperangan ini berlangsung. Laporan akan kematian prajurit Krale terus berdatangan. Kabar itu menyesakkan dada Andrew. Ia tidak pernah ingin peperangan ini terjadi.

Selama di Istana Krale, Andrew hanya bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Namun, ia sudah tidak bisa lagi mengirimkan surat kepada Alia. Mengingat perbatasan menjadi wilayah yang berbahaya untuk Dedic datangi sekarang.

"Yang Mulia!" Suara Dedic memecahkan lamunannya.

"Oh—Ada apa, Dedic?"

Tangan Dedic menunjuk ke arah pintu masuk. Ada Jadiz yang sedang mengintip dari balik pintu. Lebih tepatnya, Jadiz tidak berani masuk ke dalam ruangan Andrew setelah persidangan yang terjadi beberapa minggu lalu.

Andrew pun berjalan mendekat dan membuka lebar pintu itu. Ia melihat penuh sosok Jadiz di sana.

Andrew lekas menepuk lembut kepala wanita tersebut. Sembari mengambil gulungan yang telah dibawa oleh Jadiz, Andrew pun berkata dengan lembut kepadanya.

"Itu bukan kesalahanmu, Jadiz. Itu semua hanyalah kebetulan belaka. Jangan terlalu dipikirkan. Sekarang istirahatlah." Setelah Jadiz menampakkan senyuman di wajahnya, Andrew segera menutup pintu dan kembali duduk di kursinya.

Raja Krale membuka gulungan tersebut di atas meja. Benda itu adalah peta semenanjung benua. Kemudian Andrew menaruh beberapa anak catur di atasnya.

"Apa yang sedang Anda lakukan, Yang Mulia?"

"Aku sedang memperhatikan kekuatan tempur Krale saat ini. Meski aku tidak diperbolehkan untuk ikut dalam pertempuran di luar sana, bukan berarti aku boleh lepas tangan dengan yang terjadi di dalamnya."

Andrew membuat garis – garis yang menuju Ibukota Krale. Juga melingkari beberapa bagian dengan tinta.

Dedic kurang lebih mengerti maksud dari simbol – simbol tersebut. Namun, ia melihat kejanggalan saat Andrew mengetuk bagian Ibukota berulang kali.

"Maksud Anda … ada kemungkinan akan terjadi serangan ke Ibukota Kerajaan Krale?"

"Benar. Walau masih sekadar firasat." Andrew meletakkan dan menyusun anak – anak catur sesuai dengan gambaran yang ada di kepalanya. "Karena sebagian besar kekuatan tempur Krale dipakai untuk peperangan. Keamanan di dalam istana menjadi longgar. Aku harus menyusun kekosongan ini."

Sorot matanya menguat saat ia mendapatkan keyakinan atas firasatnya. Andrew segera mengambil kertas dan tinta untuk menuliskan surat. Kemudian menyuruh Dedic untuk menyerahkannya kepada kepala pasukan keamanan istana.

Setelah Dedic pamit pergi, Raja Andrew kembali melanjutkan pekerjaan yang tersisa.

Alih – alih menemui kepala pasukan istana, Dedic menyambangi ruang kerja kepala pelayan yang berada cukup jauh di dalam istana.

"Mengapa tidak mengetuk pintu lebih dulu, Dedic? Kau tahu sendiri bahwa tidak ada satu pun yang boleh memasuki ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, bukan?" Sang Kepala Pelayan lekas berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Dedic.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Kepala Pelayan."

"Sepenting itukah sampai kau melupakan tata krama? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?"

"...Saya mendapatkan informasi tentang keberadaan simpatisan Jeden saat ini."

"Lalu kau ingin aku membawa pasukan untuk menyergap dan memusnahkan mereka?"

Dedic tersenyum tipis dan memberikan secarik kertas kepadanya. "...Itu terserah Anda, Kepala Pelayan."

Kepala Pelayan menatap tajam Dedic sebelum mengambil kertas tersebut.

"Tunggu sebentar di sini. Aku akan mengantarkan informasi ini kepada mereka lebih dahulu."

Kepala Pelayan pergi keluar dari ruangan dan kembali beberapa waktu kemudian. Kepala Pelayan mengunci pintu ruang kerjanya dan berdiri menghadap Dedic.

"Ada yang tidak aku mengerti, Dedic."

"Apa yang tidak Anda mengerti tersebut?" tanya Dedic.

"Mengapa kau menjual rakyatmu sendiri?"

Keterkejutan Dedic tak bisa disembunyikan dari raut wajahnya.

"Apa yang Anda maksud, Kepala Pelayan?" Dedic menatapnya balik dengan seutas senyuman di wajahnya.

"Tidak perlu berpura – pura lagi. Aku sudah lama menanti tibanya waktu untuk mengakhiri dinasti Jeden dengan tanganku sendiri, Dedic Milovat."

***

Rembulan pun tiba menggantikan pekerjaan saudarinya. Bersinar terang meski tak secerah mentari. Siraman cahaya itu masuk sampai ke dalam kamar sang Raja Krale. Di sana, sang lelaki hanya duduk berdiam diri menatap angkasa. Makanan yang ada di atas meja sama sekali tidak disentuh olehnya.

Hal itu terus ia lakukan sampai – sampai tidak menyadari jikalau malam sudah semakin larut. Rasa kantuk pun mulai merasuk. Andrew ingin mengganti pakaiannya dan lekas beristirahat. Sesaat ia membuka lemari, sebuah teriakan terdengar sampai ke dalam kamarnya.

"Lindungi Yang Mulia!! Ada penyusup masuk!"

"Simpatisan Jeden menyerang!"

Teriakan saling bersahutan satu sama lain.

Kericuhan itu terdengar semakin menjadi – jadi. Ada api di mana – mana. Bunyi pedang yang saling berbenturan bahkan semakin nyaring terdengar.

Menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang amat krusial, Andrew tidak jadi mengganti pakaian dan langsung mengambil pedang yang terletak di samping mejanya.

Suara langkah kaki yang mencurigakan itu terdengar dari balik pintu kamar Andrew. Benar saja, Pintu itu didobrak hancur dan segera menampakkan pelakunya. Seorang yang memakai jubah hitam dan topeng tanpa ekspresi. Dari postur tubuhnya, Andrew yakin dia seorang lelaki.

Penyusup itu telah mengarahkan pedangnya ke Raja Krale. Andrew langsung menarik pedangnya dan memasang kuda-kuda. Dalam ruangan yang tidak begitu luas, Andrew harus berhati – hati agar tidak mati langkah.

Dengan cepat, sang penyusup menyerangnya lebih dahulu. Tusukan yang ia lancarkan berhasil dielakkan oleh Andrew. Lekas Andrew membalas serangan dengan mengayunkan pedangnya dari samping. Sayang, serangan Andrew berhasil ditepis.

Andrew langsung melangkah mundur saat serangannya berhasil digagalkan. Ia mengamati gerakan lawannya kembali dengan penuh perhatian.

Sekali lagi, penyusup itu mengambil langkah cepat dan menebas dari depan. Andrew mencoba menahannya. Namun ia sedikit terdorong ke belakang oleh kerasnya tebasan lawan. Melihat tidak adanya kesempatan untuk kabur, Andrew langsung memberikan serangan balik.

Keduanya pun terus beradu pedang satu sama lain dalam tempo yang cepat. Saling menyerang dan menangkis serangan satu sama lain. Sesekali tajamnya pedang lawan berhasil menggores kulit Andrew di beberapa bagian. Begitu pula Andrew yang memainkan pedangnya dengan lihai dan memasukkan tusukan pada bahu si penyusup.

Meski nyawanya sedang terancam, Andrew merasakan sesuatu yang familiar terhadap lelaki yang menjadi lawannya.

Atas dasar asumsi tersebut, Andrew mencoba melakukan sebuah tipu daya. Ia menggerakkan mata dan menatap lengan kiri lawannya. Dari sudut mata Andrew, sang lawan terlihat langsung mengantisipasi serangan yang akan dilancarkan. Namun, itulah yang menjadi tujuan Andrew.

Andrew secepat kilat mengubah arah serangannya. Tebasan dari arah luar seketika menjadi tebasan dari arah dalam. Penyusup tersebut kecolongan dan tak mampu menahan serangan cepat Andrew. Pedangnya terhempas karena benturan kuat dari serangan tersebut.

Sang lelaki yang telah kehilangan pedangnya masih akan menyerang lagi. Tetapi, ramainya bunyi hentakan kaki yang terdengar dari luar membuatnya tidak punya banyak pilihan. Sang musuh melempar keras sarung pedangnya ke arah Andrew dan bergegas lari ke arah jendela. Andrew terlambat menghentikan sang penyusup untuk kabur. Namun, Andrew tetap mengejarnya sembari membawa pedang.

Andrew memanjat dengan sangat hati – hati ke atap istana menggunakan tali – temali yang juga digunakan oleh si penyusup. Sesampainya di atap, Andrew berusaha mengikutinya.

Sesaat lelaki itu menyadari bahwa ada yang mengikutinya, ia langsung melemparkan pisau ke arah belakang. Sial! Andrew tidak sempat mengelak karena pijakannya yang tidak rata. Paha kanannya terkena lemparan pisau tersebut.

Sang penyusup langsung mengeluarkan pedang satu lagi yang ada di punggungnya dan berlari ke arah Andrew sembari mengayunkan pedangnya sekuat tenaga. Dengan sisa tenaga yang tersisa, Andrew berhasil menahan serangan itu. Namun kekuatan yang menyerbunya itu sangat kuat. Bertubi – tubi. Pedang yang menahan serangan itu pun mulai rompel dan tercabik – cabik. Andrew tidak tahu berapa lama dirinya bisa bertahan.

Sesaat tangannya mulai terasa lemas dan kebas, tanpa sadar Andrew mengucapkan sebuah nama melewati bibirnya.

"Dedic ...?"

Ketika si penyusup mendengarnya, tangannya berhenti mengayunkan pedang dan memberikan sebuah kesempatan bagi Andrew untuk melakukan serangan balik. Sayangnya, Andrew tidak bisa melakukannya. Kuda – kudanya tidak sempurna dan tenaganya juga telah terkuras habis menahan serangan lawan. Beruntungnya, lelaki bertopeng juga berhenti mengangkat pedangnya.

Sang penyusup kemudian melepaskan penutup wajah dan memperlihatkan sosok diri yang sebenarnya.

"Bagaimana Anda bisa tahu ... Andrew?"

Andrew perlahan mendongakkan kepalanya, menatap sosok yang baru saja menjadi lawannya.

"Memangnya sudah berapa lama aku mengenalmu, Dedic? Kamu juga yang mengajariku teknik berpedang. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyadari teknik guruku sendiri?" celetuk Andrew dengan napas terengah – engah. "Jadi apa alasan dari tindakanmu ini, Dedic? Aku rasa kamu bukanlah tipe lelaki yang menginginkan kekuasaan atau semacamnya."

Dedic menggigit bibirnya. Ia menghempaskan topeng yang digenggamnya.

"Anda benar – benar mengerti diriku, Andrew. Namun aku adalah Dedic Milovat. Keturunan terakhir dari Raja Jeden. Aku memiliki tugas dari para sesepuh untuk menghancurkan Krale—"

"Jadi ini adalah pertarungan antar dua Raja. Menarik sekali!" sela Andrew sembari berusaha menyangga tubuhnya tuk berdiri.

"Ini tidak menarik sama sekali, Andrew! Ini benar-benar ironi. Ketika Raja diatur oleh rakyatnya sendiri. Dan ..." Dedic melihat telapak tangan dan mengepalkannya kuat. "Aku tidak punya apa pun lagi selain dosa yang telah kuperbuat."

"Bukankah kau memiliki aku, Dedic? Kau adalah teman pertamaku. Aku tahu beratnya menanggung dendam masa lalu. Aku juga mengerti—"

"Kau tidak mengerti, Andrew!" Dedic menjerit tiba – tiba. "Saat aku bertemu denganmu! Semuanya menjadi kacau! Aku ... Aku pada awalnya menjadi pelayanmu dengan tujuan agar dapat membunuhmu! Tapi kau!" Dedic mengacungkan telunjuknya. "Kau malah menawarkan persahabatan! Kau malah memberikan tempat untukku bernaung! Dan kau malah memberikanku kesempatan untuk bahagia!"

Semua perasaan yang ia keluarkan melalui untaian kata diikuti oleh air mata yang mengalir deras. Wajahnya yang terlihat sedih juga mengundang air mata Andrew.

Andrew mengulurkan tangannya.

"Maaf karena aku tidak pernah menyadari beban yang selama ini kau pikul, Dedic."

"Hentikan, Andrew! Jangan beri aku kesempatan untuk menebus dosa!" Tangannya semakin gemetaran. "Jika kau terus baik kepadaku ... lebih baik aku mengakhiri hidupku di sini."

Dedic mengarahkan mata pedangnya ke arah leher dan bersiap untuk menusuknya. Dalam sepersekian detik, muncul tali – tali yang beterbangan di udara dan berhasil menjerat Dedic. Jeratan itu amat kuat sampai ia merasa kesulitan untuk terlepas darinya. Dedic berusaha memotong tali – tali itu dengan pedangnya, namun jeratan itu terus berdatangan dan tak kunjung berhenti mengikat tubuhnya.

Dari sudut – sudut atap istana, mulai bermunculan prajurit yang langsung datang melindungi Andrew. Merekalah yang melemparkan tali untuk menjerat Dedic. Melihat orang yang mengancam nyawa sang Raja masih begitu gigih, salah seorang prajurit maju dan menghempaskan pedang Dedic. Kemudian para prajurit yang lain langsung melumpuhkan Dedic dan membuatnya tak berdaya.

Dedic berusaha melepaskan diri. Meronta sekuat tenaga namun tak membuahkan hasil. Ia berhasil ditaklukkan sepenuhnya.

Pada malam itu, Dedic dijebloskan ke dalam penjara dan akan segera menghadapi hukuman yang amat mengerikan.