Penyerangan simpatisan Jeden kemarin malam berhasil digagalkan. Dedic selaku pemimpin penyerangan langsung dipenjarakan dan akan dieksekusi mati dua hari kemudian. Kabar itu tentu saja menghebohkan seluruh istana. Mengingat tangan kanan sang Raja ternyata adalah pengkhianat yang tidak dapat diampuni.
Krale berhasil menumpas seluruh simpatisan Jeden yang menyerang Istana. Dengan informasi yang didapatkan oleh Kepala Pelayan, Krale juga berhasil menyerbu tempat berkumpulnya Jeden pada malam itu. Pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan.
Meski demikian, kemenangan yang didapatkan sangatlah mahal. Salah satunya adalah kematian kepala pelayan dan sejumlah bangsawan yang ada di istana. Ditambah lagi kematian para prajurit dan pelayan yang tidak sedikit jumlahnya.
Namun Andrew mengerti satu hal dari daftar korban yang telah diidentifikasi. Sebagian besar dari para bangsawan yang mati adalah mereka yang menjadi oposisi dirinya dan yang diduga berkomplot dengan Koruna.
Walaupun demikian, Andrew tidak tahu harus berbuat apa. Kebimbangan itu bergetar keras di dalam batinnya. Hingga membuat dirinya sulit untuk menelan makanan yang sedang dikunyahnya saat ini.
Sembari menatap rembulan yang bersembunyi di balik gelapnya awan, Andrew berbisik pada kebijaksanaan malam. Berharap sebuah petuah yang dapat menghilangkan kegusaran di dalam benaknya.
Dini hari, Andrew pergi ke penjara bawah tanah tempat Dedic ditahan. Kaki dan tangan Dedic dirantai, membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Banyak sekali memar yang menghiasi tubuh lelaki tersebut. Andrew tak kuasa menahan air matanya. Isakan tangis Andrew itu pun terdengar oleh Dedic.
"And ... rew?" Dedic berbicara dengan rahang yang tak mau terbuka.
"Benar. Ini aku. Andrew."
Andrew berjalan mendekati jeruji besi itu. Ia meraih kepala Dedic yang tergeletak di lantai batu yang dingin.
"Kamu akan dieksekusi sekarang juga, Dedic."
Dedic mencoba menampakkan senyuman di wajahnya yang sudah bonyok.
"Ya ... itu memang ... pantas untukku ..."
"Kalau begitu jangan tidur – tiduran di sana." Andrew mengeluarkan kunci dan membuka pintu sel tersebut.
Ia melangkah masuk dan melepaskan setiap rantai yang mengekang lelaki itu. Lalu memberikan jubah hitam untuk menutupi tubuh Dedic yang nyaris telanjang.
Andrew pun membantunya untuk duduk. Lalu memberikan air minum kepadanya.
"Minumlah," ujar sang Raja. "Ini mungkin air terakhir yang bisa kuberikan untukmu."
Dedic menenggak air itu sedikit demi sedikit. Saat air itu telah habis, Andrew membantunya untuk berdiri dan berjalan keluar. Satu tangannya menopang Dedic dan satunya lagi memegang lentera.
"Ternyata kalau kamu lemah seperti ini sangat merepotkan, Dedic," celetuk Andrew.
"Maafkan ... aku, Yang Mulia."
"Eh! Kamu memanggilku dengan 'Yang Mulia' lagi. Sudah kubilang itu terlalu formal. Apalagi ini mungkin terakhir kalinya kita bisa bertemu, Dedic. Ayolah, bersikap seperti biasa."
Dedic diam membisu. Ia tidak mau menjawabnya.
Sepanjang perjalanan itu Andrew terus mengajaknya berbicara. Namun Dedic enggan menjawabnya. Entah mengapa kalau ia menjawabnya, membuat dirinya semakin berat untuk pergi ke tempat eksekusi. Sebuah ketakutan yang amat mendalam untuk berpisah dengan Andrew.
"Mohon berhenti, Yang Mulia." Salah satu penjaga penjara segera memeriksa orang yang ditopang sang Raja.
"Saya takut ... saya tidak bisa mengizinkan Anda membawanya, Yang Mulia."
"Kau tidak mengizinkanku untuk mengeksekusinya, begitu?"
"B-Bukan begitu!"
"Kalian tidak perlu khawatir. Pengawalku sudah menunggu di seberang jalan untuk membawanya."
"B-Baiklah kalau begitu, Yang Mulia. Mohon berhati – hati." Setelahnya, penjaga penjara menawarkan bantuan untuk membawa tahanan namun ditolak oleh Andrew.
Andrew dan Dedic berjalan melewati jembatan dan lekas tiba di seberang. Kabut dan kegelapan malam membuat mereka tidak bisa melihat dengan jelas bahkan dengan lentera yang dibawa oleh Andrew.
Di depan mereka ada sebuah kereta kuda yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Andrew pun membantu Dedic untuk naik di gerobaknya. Andrew duduk di depan dan memacu kudanya kencang.
Kuda – kuda itu terus berlari sejauh mata memandang. Menembus kabut malam dan udara yang begitu dingin.
Saat mentari sudah mulai menampakkan sinarnya, Andrew menghentikan kereta kudanya.
"Kita sudah sampai."
Perkataan Andrew membuat Dedic yang tergeletak di gerobak pun duduk dan mengamati sekelilingnya.
Dedic tidak melihat ada tali untuk menggantung dirinya ataupun Guillotine untuk memotong kepalanya. Yang dilihat oleh matanya adalah padang rumput yang sangat luas membentang.
Andrew pun melepas satu dari dua kudanya. Lalu ia menggendong Dedic ke atas kuda tersebut seolah barang dagangan.
"Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" ucap Dedic terbata-bata.
"Dedic Milovat telah mati!" teriak Andrew tiba – tiba. "Saat ini mayatnya akan dibawa oleh kuda liar hingga sampai kuda itu letih untuk melangkah!"
Dedic seketika meneteskan air mata saat menyadari niat sebenarnya dari Andrew. Ia berusaha turun. Namun Andrew telah mengikatnya agar tidak bisa bergerak.
"Anda tidak boleh melakukan ini, Yang Mulia! Kerajaan Krale—Seluruh bangsawan akan marah dengan hal ini! Aku mohon, Yang Mulia! Hentikan!"
"Aku adalah Raja Krale. Seseorang yang telah mati tidak perlu mengkhawatirkan lelaki yang berdiri di kasta tertinggi."
Andrew lekas menampar paha kuda itu dan membuatnya berlari kencang. Dedic terus berteriak. Namun teriakannya itu perlahan demi perlahan tidak terdengar lagi oleh Andrew.
Diterpa oleh badai kesedihan yang belum berhenti, Andrew berkata dengan berlinangan air mata.
"I have lost the way to meet the woman I love. Now, I lost my best friend forever."
Beberapa jam setelahnya, Andrew pun ditangkap atas tuduhan ikut dalam meloloskan seorang kriminal. Lantas, Andrew dikurung di dalam kamarnya tanpa boleh keluar selangkah pun dalam waktu yang tidak ditentukan.
Saat itu, dirinya hanyalah Raja yang bersifat simbolis dan kehilangan kekuatannya.
***
Tubuh Andrew semakin terkulai lemas. Bahkan makanannya sama sekali tidak disentuh. Sudah hampir seminggu semenjak kurungannya dimulai, Andrew kehilangan nafsu makannya. Bahkan seolah kehilangan hasratnya untuk hidup.
Moravia sangat khawatir dengan keadaannya tersebut. Maka paling tidak, setiap hari sekali Moravia datang dan menyuapi Raja Andrew untuk makan. Jika tidak, Andrew tidak akan pernah mau menyentuh hidangan tersebut.
Bahkan dengan obat-obatan herbal yang dibawakan oleh Jadiz tidak dapat menambah nafsu makannya. Moravia hampir putus asa dengan kondisi Rajanya. Hampir setiap hari ia menemui Spravedlnost untuk mencabut hukuman yang diterima oleh Raja Andrew. Namun Spravedlnost tidak memiliki alasan untuk menerima gugatan tersebut.
Moravia hanya bisa duduk di ruang kerjanya sambil memikirkan cara agar bisa membantu Andrew.
"Menteri Moravia?" Suara wanita yang ia kenal terdengar dari balik pintu.
"Silakan masuk, Jadiz."
Wanita itu masuk dan memberikan tumpukan berkas yang menggunung.
"Ini adalah dokumen yang harus diselesaikan hari ini. Dan untuk mengurus Yang Mulia Andrew, biar saya yang akan melakukannya secara penuh untuk beberapa hari ini, Menteri Moravia."
"Terima kasih banyak, Jadiz. Bantuanmu sangat saya hargai." Moravia tersenyum bahagia.
Jadiz pun membalas senyuman Moravia dan segera pamit keluar.
Saat ini, dirinya senang bukan kepalang. Karena mendapatkan izin penuh untuk masuk ke kamar Andrew adalah salah satu tujuannya.
Saat masuk ke dalam kamar, Jadiz melihat Andrew sedang termenung dan menatap kosong ke arah jendela. Makan siangnya tidak tersentuh sama sekali. Namun justru itu yang menimbulkan senyuman di wajah Jadiz.
Jadiz pun menutup rapat pintu kamar dan menguncinya. Lalu berjalan perlahan mendekati Andrew.
"Siapa?" ujar Andrew tiba – tiba.
"Jadiz, Yang Mulia," jawabnya.
"Pergilah, aku tidak membutuhkanmu."
Jadiz merasa tergelitik dengan ucapan Andrew itu hingga ia mengeluarkan tawa kecilnya.
"Apa kau melupakan siapa aku, Ariel?"
Saat mendengar nama yang hanya diketahui oleh dirinya dan Alia, Andrew langsung memberikan perhatian penuh pada wanita tersebut.
"Dari mana kau tahu nama itu? Siapa kau?" Tatapan Andrew mendadak tajam.
"Aku adalah wanita yang mendandanimu saat pernikahan di gedung XX. Tempat resepsi pernikahanmu dengan Annie. Bagaimana? Apa sekarang ingatanmu telah kembali segar?"
"Jaz … dia?!" Mata Andrew langsung terbelalak.
"Tepat sekali, Ariel," sahut Jadiz dengan senyuman yang dipenuhi hasrat.
"Pantas saja aku merasakan keganjilan saat pengakuanmu mengenai 'bahasa kuno Jeden'. Ternyata itu hanya bualanmu belaka!" hardik Andrew.
Jazdia berusaha menahan tawanya.
"Kenapa kau baru sadar sekarang, Ariel? Padahal aku sudah susah payah membuatnya agar terlihat sebagai kebohongan! Kau mengecewakanku, Ariel."
Andrew semakin terkesiap menyadari kegagalannya dalam menembus akting Jazdia.
"Lalu apa maumu yang sebenarnya, Jazdia? Kenapa kau membuat hubunganku dengan Alia menjadi seperti ini?"
"Kenapa? Tentu karena aku membenci Annie. Dari pada melihat kalian menikah lagi, lebih baik aku mengakhiri Annie dengan mengenaskan seperti waktu itu."
"Seperti waktu itu? Apa maksudmu?" Tangan Andrew mendadak menjadi gemetaran. Dadanya mendadak sesak.
"Ingatanmu payah sekali, Ariel. Biar aku yang akan mengingatkanmu lagi."
Jazdia mengambil tempat dan duduk di sebelah Andrew. Andrew berusaha menolaknya. Namun dirinya tidak memiliki tenaga sama sekali. Jazdia mengelus lembut rambut lelaki itu dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Apa kau ingat penyebab kematianmu di sana?"
"Penyebab … kematian?"
"Ya..." sambung Jazdia. "Kematian kalian itu karena bom yang aku ledakkan saat resepsi pernikahan kalian. Dan saat aku melihat Annie mati ... saat itu aku sangat – sangat bahagia sekali! Tapi kematianmu membuatku benar – benar sedih. Hingga aku pun memutuskan bunuh diri."
Andrew tidak bisa mencerna dengan jelas apa yang dikatakan wanita itu. Seolah dia adalah sosok wanita yang berbeda dan menjadi tidak waras.
"Kau gila!" teriak Andrew.
"Aku memang tergila – gila padamu, Andrew! Aku sangat – sangat mencintaimu! Karena itu tidurlah!" Jazdia tiba – tiba menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh Andrew.
Andrew berusaha meronta dan memanggil bantuan. Namun, efek dari ramuan itu dengan cepat membuatnya kehilangan kesadaran.
"Tidurlah sayangku, Ariel. Karena sebentar lagi kau akan terbebas dari semua beban hidupmu." Jazdia mengelus pipi sang lelaki yang telah tertidur pulas.
Jazdia segera mengeluarkan sebuah kain terpal yang ia sembunyikan di bawah tempat tidur Andrew. Kemudian ia membungkus Andrew dan memastikan lubang udaranya cukup agar lelaki yang ia cintai tidak sesak napas.
Setelah segala persiapannya selesai, senyuman Jazdia langsung merekah sejadi – jadinya. Kemudian ia berkata dengan penuh percaya diri. Layaknya seorang proklamator kemerdekaan.
"I win this time, Annie."
***
Keesokan harinya, Istana digemparkan oleh kabar menghilangnya Raja Andrew dari kamarnya. Semua orang mencari sang Raja hingga ke sudut ibukota namun tidak menemukan jejaknya.
Menurut penjaga gerbang Istana Krale, bahwa Jadiz keluar untuk mengantarkan sesuatu di gerobaknya. Saat Moravia bertanya alasan mereka tidak memeriksa gerobaknya, mereka menjawab karena ada surat dengan tanda tangan dan stempel dari Menteri Kurona.
Menteri Moravia langsung mengirimkan surat kepada Kurona yang berada di perbatasan untuk segera kembali ke Istana Krale. Moravia juga membawakan kabar ini kepada Spravedlnost.
Dengan waktu yang begitu sempit, Moravia mengerahkan tim untuk mencari keberadaan Raja Andrew dan Jadiz.
"Dengar kalian semua! Ini adalah misi terpenting yang pernah kalian dapatkan seumur hidup kalian! Cari dan temukan Raja Andrew dengan selamat! Aku, Moravia, akan memberikan jaminan kehidupan yang kaya kepada yang berhasil menemukan Raja Andrew terlebih dahulu!"
Pencarian itu berubah menjadi sebuah sayembara. Hal itu pun dilakukan Moravia agar mereka bisa mencari dengan cepat dan tidak kenal lelah.
Meski begitu, kabar menghilangnya Raja Andrew sekuat mungkin ditekan agar tidak diketahui oleh selain pegawai istana dan para bangsawan. Jika tidak, kekacauan menjadi tidak terkendali. Sebuah negeri tanpa rajanya adalah sasaran empuk bagi musuh mereka.