Chereads / Remoire / Chapter 21 - Bab 19 : Janji Suci Dan Peniup Terompet Kehancuran

Chapter 21 - Bab 19 : Janji Suci Dan Peniup Terompet Kehancuran

"I promise you my unconditional love, tenderness, and undying devotion, to not ask you to be more than you are, and to love you forever."

-Anonim

***

Setelah kembali dari pertemuan rahasia tersebut, Andrew masih tidak percaya dengan keputusan yang diucapkannya. Ia sering kali tersipu malu sendiri saat memikirkan kata – katanya yang sok keren kemarin.

"Yang Mulia, Anda baik – baik saja?" Dedic yang melihat tingkah majikannya itu membuatnya khawatir.

"Ah! Aku baik – baik saja, Dedic. Bagaimana persiapannya?"

Dedic melihat ke arah pintu dan memastikan tidak ada orang yang akan menguping pembicaraan mereka.

"Jas hitamnya telah dipesan dan kemungkinan akan selesai dalam dua minggu. Lalu untuk pesanan Anda tentang hadiah untuk Ratu Alia juga akan siap sekaligus."

"Syukurlah." Andrew menghempaskan punggungnya ke kursi. "Aku benar – benar khawatir sekali."

"Kalau begitu saya mohon pamit dulu, Yang Mulia. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Dedic melangkah keluar ruangan.

Ada sesuatu yang mengganjal di dalam batinnya tentang perilaku Dedic beberapa hari ini. Lebih tepatnya, ia mulai seperti itu setelah pulang dari pertemuan rahasia tersebut.

Namun seolah Dedic bisa membaca Andrew, ia selalu berhasil menghindari topik tersebut. Andrew tidak ingin membawa terlalu jauh permasalahan yang Dedic sendiri tidak ingin membahasnya.

"Asal dia bisa tersenyum, bukankah itu sudah cukup?" gumam Andrew sembari menutup matanya.

Hari demi hari pun terus berlalu.

Andrew tetap melakukan aktifitasnya seperti biasa. Hanya saja semakin waktu mendekati hari H tersebut, membuatnya semakin susah untuk tidur.

Moravia yang sesekali melihat kantung matanya itu menyarankan kepada Andrew agar mengambil cuti sehari. Namun Andrew bersikeras agar dapat menyelesaikan pekerjaannya seperti biasa. Moravia hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.

Selain itu, ada hal yang masih membuat Moravia gelisah hebat. Yakni tentang pernikahan itu sendiri.

Tak ada yang mampu Moravia ungkapkan kala itu. Ia terbiaskan pada kebahagiaan dan kegusaran yang melanda sanubarinya. Namun setibanya ia di depan meja kerjanya, keruh masalah itu pun kembali menghantui pikirannya.

Haruskah ia hentikan rencana pernikahan tersebut?

Pertanyaan itu terus terngiang di dalam kepalanya. Bukanlah Moravia yang tidak menginginkan kebahagiaan Raja Andrew, namun ada sesuatu yang jauh lebih genting.

Bagi Moravia, pernikahan itu tidak hanya menikahkan tubuh keduanya. Namun juga hati mereka. Tatkala telah terikat janji, sang pemilik hati akan sulit untuk menentukan pilihan. Haruskah mereka memilih pengabdian pada cinta yang telah diikrarkan atau pengabdian pada kerajaan yang mereka cintai.

Hal itulah yang ingin Moravia hindarkan pada keduanya. Sayang, rasa cinta pada kebahagiaan Raja Andrew membuatnya tak mampu merangkai kalimat penolakan.

Hingga suatu hari, Moravia datang menemui Raja Andrew. Berbicara empat mata dalam masalah yang sangat serius tersebut.

Wajah yang ditunjukkan oleh penguasa Krale itu berkilauan. Senyumnya secerah mentari pagi. Sorot matanya begitu dekat dengan kebahagiaan. Kesemua itu membuat Moravia gentar. Ia sesekali menunduk saat mata mereka bertatapan.

Namun seolah Andrew bisa menerawang isi pikiran Moravia, raut gembira di wajahnya memudar.

"Haruskah aku membatalkannya, Kakek Moravia?"

Moravia tak mampu menahan air matanya saat melihat kesenduan pada sorot mata Andrew Udanost.

"Kakek Moravia? Apakah aku melangkah ke jalan yang salah?"

Moravia membatu. Pertanyaan itu telah menjawab semuanya.

Sempat Moravia beranggapan bahwa Andrew akan melihat sebelah mata pada kenyataan yang ada. Namun kekhawatiran itu salah besar.

Moravia terbungkuk dalam tangisnya. Ia tak mampu merasakan apapun selain pahitnya kenaifan juga kesedihan yang bercampur aduk dengan desir kebahagiaannya. Ia menyeka air matanya lagi dan lagi. Wajah yang berantakan itu memunculkan senyuman di bibirnya sendiri.

Belum sempat ia merapikan wajahnya, Moravia meraih tangan Andrew dan menciumnya. Ia pun menatap mata sang raja dengan penuh ketegaran.

"Yang Mulia … Semoga Anda menjadi pengantin lelaki yang paling bahagia."

Ucapan Moravia membuat raut sendu Andrew pecah. Serpihannya melebur menjadi air mata yang berkilau.

Andrew segera memeluknya. Sembari mengucapkan terima kasih yang terus berulang – ulang. Yang menguatkan dirinya, juga Moravia.

Setelah kegelisahannya mereda, Moravia diminta untuk menjadi pendeta pernikahan oleh Andrew. Permintaan itu membuat Moravia harus membeli buku panduan untuk menjadi pendeta pernikahan.

Namun ia harus memakai penyamaran saat masuk ke toko buku tersebut. Karena Moravia pernah ketahuan membeli buku itu oleh Menteri Praha sebelum dia berangkat kembali ke perbatasan utara.

"Apa? Kau mau jadi pendeta saat pernikahan Raja Andrew?" Praha tertawa sekeras – kerasnya sampai membuat merpati yang ada di dekat mereka beterbangan.

"Aku rasa itu bukan hal yang memalukan, Praha. Setidaknya aku bisa melihat pernikahan itu dari jarak yang paling dekat. Itu pasti membuatku sangat bahagia."

Praha terdiam mendengar kebulatan tekad lelaki gemuk yang selalu menjadi sahabatnya sewaktu muda.

"Memang sejak dulu kau terlalu memanjakan Raja Andrew, Moravia."

"Apa itu sebuah pilihan yang salah?"

"Oh tidak – tidak." Praha yang duduk di sampingnya pun merangkul bahu lelaki itu. "Berkat dirimu raja kita, Andrew Udanost, menjadi raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan dia juga mencintai rakyatnya. Itu adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh raja – raja sebelumnya. Karena itu aku mengucapkan terima kasih. Namun sikap keras kepala yang kau turunkan kepadanya itu benar – benar menyebalkan, kau tahu?"

"Bukankah itu sifat yang kau turunkan kepada Raja Andrew?"

"Eh—Sejak kapan aku keras kepala?" protes Praha.

Moravia pun mendesah panjang.

"Gajah di depan mata tidak akan pernah kelihatan, Praha." Moravia pun berdiri dan membawa belanjaannya. "Aku harus pulang sebelum orang lain melihatku membolos hari ini."

Lagi, Praha tertawa keras melihat kekhawatiran sahabatnya itu.

"Sampai nanti, Moravia. Jaga dirimu baik – baik."

"Kau juga, Praha." Moravia berjalan meninggalkan Praha yang masih duduk santai di dekat taman tersebut.

"Jika Raja Andrew menikah, hadiah apa yang akan aku berikan kepadanya?" Praha pun berpikir keras sampai ia tidak menyadari senja telah menyapa.

***

Hari demi hari terus berganti. Hingga tanpa disadari sebulan telah berlalu semenjak pertemuan terakhir mereka. Tepat pada tanggal 17 bulan ke tujuh tahun 90 kalender Spaseni, mereka pun berkumpul di sebuah gereja tua.

Hari yang ditunggu oleh kedua mempelai telah tiba. Dengan memakai jas hitam dan gaun berwarna putih berkilauan, mereka mulai melangkah berdampingan satu sama lain. Setiap langkah yang mereka ciptakan, menambah gema kesyahduan di dalam gereja tua.

Langkah mereka pun tiba di altar pernikahan. Moravia yang menjadi pendeta mempersilakan keduanya untuk bertatapan satu sama lain.

Para saksi dari kedua pihak yang telah hadir melihat dari kursi yang telah disediakan.

Dedic dan Moravia adalah saksi dari mempelai pria.

Ostrava dan Desti menjadi saksi dari mempelai wanita.

Kemudian Moravia selaku pendeta pun membacakan sebuah pengantar pernikahan Andrew dan Alia.

"Dua insan yang telah dipertemukan oleh takdir telah hadir di hadapan kita pada pagi yang berbahagia ini. Mereka menjalin cinta dan kasih sayang walau mengerti dan memahami bahwa tidak akan bisa bersama setiap waktu. Mereka saling mencintai walau tradisi dan aturan di masing – masing kerajaan yang mereka pimpin menentang romansa ini terjadi. Mereka tetap memilih untuk bersatu pada takdir yang mempertemukan mereka, meski takdir itu akan membawa mereka kepada kesulitan demi kesulitan yang tidak akan pernah mereka bayangkan. Namun cinta yang telah bermekaran di hati keduanya membuat mereka mampu hadir dan berdiri di hadapan kita semua. Dengan memasang senyuman di wajah – wajah mereka, keduanya berharap akan kebahagiaan yang dirintis akan bersemi menjadi bunga harapan untuk kelangsungan cinta mereka." Moravia berhenti sebentar dan menarik napas. "Kepada mempelai pria, Andrew Udanost. Apakah engkau bersedia menerima pengantin wanita ini menjadi bagian dari hidupmu?"

"Saya bersedia," tutur Andrew.

"Kepada mempelai wanita, Alia Krasna. Apakah engkau bersedia menerima lelaki yang ada di hadapanmu menjadi bagian dari jiwamu?"

"Saya bersedia."

Mata Moravia berkaca – kaca ketika mendengar jawaban dari kedua mempelai. Isakan tangisnya bergema di dalam gereja tua tersebut.

"Dengan petunjuk dan rahmat Penguasa Alam Semesta yang memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kalian. Pada pagi yang berbahagia ini, kalian berdua telah sah menjadi pasangan suami istri. Silakan pasangkan cincin kawin ke jari manis pasangan kalian."

Andrew dan Alia mengambil sepasang cincin yang dibawakan oleh Dedic. Andrew memasangkan cincin itu di jari manis Alia dan Alia juga memasangkan cincinnya ke jari manis Andrew.

Setelah prosesi pemasangan cincin selesai, Andrew lekas mencium bibir Alia. Seketika tepuk tangan dan isakan tangis ikut memeriahkan suasana pernikahan mereka berdua.

Moravia yang turun dari podium langsung memeluk Andrew dan mengucapkan selamat yang sebesar – besarnya atas pernikahan ini.

Desti yang paling keras suara tangisannya langsung memeluk Alia dari belakang.

"Terima kasih banyak atas dukunganmu, Desti." Alia berbalik dan memeluk Desti erat lalu mencium pipinya.

Dedic yang juga turut datang ke sana dan menjabat tangan Andrew.

"Selamat atas pernikahan Anda, Yang Mulia."

"Terima kasih banyak, Dedic. Hal ini tidak akan pernah terjadi tanpa bantuanmu."

Raut bahagia yang dipancarkan oleh Andrew itu menusuk sanubari Dedic. Membuatnya sekali lagi berkemelut dengan dosa yang pernah ia lakukan. Air mata Dedic yang mengalir menjadi bukti kuat pada kebahagiaan yang ia rasakan di pagi itu. Namun tetap saja ia tidak bisa mengakuinya.

Ostrava yang tahu dirinya tidak memiliki kesempatan, tetap mengucapkan selamat kepada Andrew dan memeluknya erat. Kekalahan itu menjadi ikatan tersendiri bagi Ostrava dan Andrew.

Setelah sesi pernikahan selesai, acara selanjutnya adalah pemberian hadiah kepada mempelai.

Moravia kembali menaiki podium dan menjadi protokol dalam kelanjutan acara tersebut.

"Dipersilakan kepada mempelai pria untuk memberikan hadiahnya kepada mempelai wanita."

Sebuah kotak kecil ia ambil dari saku bajunya. Saat dibuka, isinya adalah sebuah gelang rajutan yang tertorehkan huruf 'A&A'. Andrew memasangkannya di pergelangan tangan Alia.

Alia terkejut melihat hadiah yang Andrew berikan kurang lebih sama dengan yang akan ia berikan kepada Andrew.

Ia langsung mengeluarkan hadiah yang telah dipersiapkannya untuk Andrew.

"Aku tidak menyangka kalau hadiah yang kuberikan juga sama sepertimu, Andrew."

Alia memasangkan rajutan gelang itu ke pergelangan tangan Andrew. Di sana terulis kalimat, I love you.

Sesaat Moravia hendak turun dari podium, Andrew dan Alia telah mempersiapkan hadiah untuk semua yang hadir.

Andrew memberikan Dedic sebuah sapu tangan dan minyak wangi kepada Moravia.

Alia memberikan sebuah kalung kepada Desti dan kaca mata baru kepada Ostrava.

Pagi itu benar – benar menjadi hari yang begitu membahagiakan bagi semuanya.

Setelah acara selesai, mereka pun kembali ke tenda masing – masing.

Mereka tidak memiliki banyak waktu, Pada siang harinya mereka harus kembali pulang. Sangat disayangkan, namun itu adalah kenyataan yang harus mereka pikul. Menikah namun tidak bisa bersama.

Andrew menggenggam tangan Alia sebelum mereka berpisah. Mencium tangannya dan mengikrarkan janji.

"I promise you my unconditional love, tenderness, and undying devotion, to not ask you to be more than you are, and to love you forever."

Alia juga mengikrarkan janjinya kepada Andrew.

"I vow to love you as you love me, through all hardship, darkness, and pain to reach for our joys and our hopes."

Mereka pun menutup janji setia itu dengan ciuman yang mesra.

Semakin lama mereka berciuman, semakin banyak pula air mata yang mereka keluarkan. Hasrat tidak ingin terpisah itu menimbulkan kepiluan dan rasa sakit yang mendalam. Namun mereka telah bersumpah, bahwa apa pun yang terjadi mereka akan tetap bersama dalam hidup dan mati di dalam keabadian cinta.

***

Pada hari yang sama, di sebuah tempat yang berada di perbatasan Krale dan Kralovna, sebuah pertemuan terjadi tanpa sepengatahuan Raja dan Ratu dari kedua negeri tersebut.

"Bagaimana rencanamu untuk membunuh Raja Andrew, Skaredy? Aku dengar pembunuh bayaranmu, Charliekova, bahkan dilenyapkan tanpa jejak oleh penjaganya."

"Jaga bicaramu, Babi Busuk Krale!" Skaredy naik pitam. "Hanya karena kali ini rencanamu berjalan mulus, bukan berarti aku bersedia untuk bekerjasama denganmu!"

Koruna tertawa keras sekali. Namun gemeretak gigi Skaredy itu juga tak kalah keras terdengar.

"Sudahlah, Kakanda. Ucapan Koruna tidak perlu diambil pusing." Pachnouni memijat bahu sang abang untuk meredakan amarahnya. "Untuk kali ini saja, kita harus bekerjasama. Kali ini saja, ya?"

Skaredy menatap saudaranya itu tajam. Ia sempat menggeram namun kembali tenang.

"Baiklah. Karena rencana adik kita, Mazany, juga gagal. Mau tidak mau."

"Mazany?" sela seseorang yang diam sedari tadi. "Adik perempuan kalian itu?"

"Mazany memang jelita. Sangat cantik sampai – sampai semua orang di istana menganggapnya sebagai wanita. Jangan salah paham, Zly. Jika Mazany benar wanita, maka Pachnouni tidak akan ikut serta dalam pertemuan ini."

"Incest adalah kemenangan. Praktik primitif demi menjaga kesucian darah kerajaan."

"Tertawa dan kau tamat, Zly," tandas Skaredy.

"Sudah sudah, Kakanda. Ini tidak perlu dilanjutkan."

"Aku mengerti, Adikku, Pachnouni. Sudahi pijatanmu dan kembali ke kursimu."

Pachnouni dengan letoy berjalan menuju kursinya.

Setelah Pachnouni duduk kembali, suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Akhirnya pemimpin rencana ini telah tiba." Koruna berdiri dan menyambut tangannya.

Semua yang ada di pertemuan itu terkejut bukan kepalang. Peniup dari terompet kehancuran adalah seorang wanita yang sangat seksi dan menggiurkan. Disertai wajahnya yang jelita membuat sesuatu berdiri tegak namun bukan keadilan.

"Perkenalkan Tuan – Tuan. Dirinya adalah Sang Maestro. Jadiz Barka."

Jadiz berjalan dan duduk elok di kursi yang telah disediakan untuknya. Ia meletakkan selendangnya ke meja dan melonggarkan pakaian di sekitar dadanya.

Jadiz melemparkan sebuah senyuman mematikan dan membuka bibirnya perlahan.

"Baiklah Tuan sekalian. Mari kita mulai rencana untuk menghancurkan Krale dan Kralovna."

Tawa dan senyuman bengis mereka akan membuahkan tangis dan kepiluan bagi sasaran dari rencana busuknya. Dengan membuang jauh – jauh loyalitas dan kehormatan, mereka siap mengeksekusi rencana tersebut dengan sempurna.