Benteng kokoh yang melindungi segenap Tambang Branda berhasil diruntuhkan. Hanya dalam dua hari, Ratu Alia sukses mengambil alih sumber utama penghasilan bagi Kerajaan Krale. Taktik penyergapan yang diterapkan membuat seluruh pengawas dan para prajurt yang melindungi tambang pun lengah. Akhirnya, Kralovna dengan mudah mengalahkannya.
Hari ini sebuah surat tiba kepada Ratu Alia. Dari warna dan bentuk segelnya, itu pasti sebuah surat resmi dari Kerajaan Krale.
"Pasti untuk perundingan. Bukankah begitu, Ratuku?" Zly menerka isi dari surat yang sedang dibaca Ratu Alia.
Ratu Alia yang duduk di kursi penguasa kastel tetap membaca isinya dan mengabaikan selaan Menteri Zly.
Empat menteri yang berkumpul menanti jawaban Ratu Alia saat selesai membaca suratnya.
"Raja Krale, Andrew Udanost menawarkan sebuah perundingan untuk kita," ujar Ratu Alia. "Kita akan menolaknya."
"Tunggu dulu, Ratu Alia!" sanggah Ostrava. "Bukankah amat gegabah bagi kita menolak perundingan tanpa menghadirinya?"
"Apa maksudmu, Ostrava?" sergah Zly. "Mereka yang tidak pernah mendengarkan keluhan Kralovna. Mengapa kita harus peduli dengan apa yang mereka keluhkan?"
"Aku tidak ingin terjadi pertumpahan darah yang sia – sia, Menteri Zly!"
"Hipokrit!" tandas Zly. "Kita sudah memulai pertumpahan darah. Untuk apa keraguan yang tak berdasar itu, Ostrava?"
Ostrava membisu. Tangannya mengepal keras. Namun matanya masih memancarkan gejolak penolakan yang kuat.
"Agar tidak terjadi perang!" balas Ostrava.
"Hah! Apa maksudmu, Ostrava?" Zena menyela, matanya menatap tajam sang Menteri kerdil layaknya predator. "Sejak kapan Kralovna takut untuk berperang?"
Ostrava sempat melangkah mundur. Kengerian yang ia dapatkan nyaris membuatnya terkencing di celana. Tetapi, dia tetap bersikukuh. Ada alasan kuat di balik keegoisannya.
"Bukan masalah takut atau tidak, Menteri Zena! Tapi tentang nyawa! Seberapa banyak nyawa penduduk Kralovna akan terbuang jika terjadi perang nantinya?"
"Sudah menjadi kebanggaan bagi setiap penduduk Kralovna mati demi melindungi kerajaan ini!"
"Tidak! Tidak ada yang bisa dibanggakan dari sebuah kematian!" tandas Ostrava.
Zena menggeram. Tangan kanannya segera meraih leher Ostrava dan mencekiknya.
"Jaga perkataanmu, Ostrava! Apa kau mengatakan bahwa semua yang mati demi tujuan itu hanya sia – sia belaka?!"
Ostrava tak bisa menjawabnya. Ia kesulitan mengeluarkan suara. Napasnya tersengal dan air liurnya mulai mengalir ke luar.
"Hentikan, Zena," perintah Ratu Alia.
Zena melepaskan cekikan itu dan menjatuhkan Ostrava ke lantai.
"Maafkan atas kelancangan saya, Ratu Alia." Zena berlutut sebentar lalu kembali berbaris.
Zly meminta izin untuk kembali bersuara.
"Ostrava," seru Zly, sorot matanya memancarkan keramahan. "Kamu tidak perlu khawatir tentang perang. Bukankah kita memiliki Nenavist Timur sebagai tameng jika terjadi perang?"
"Bagaimana kamu begitu yakin mengenai raja negeri asing yang tidak kita ketahui kebusukannya?"
Zly tersenyum dan menjawab pertanyaan itu dengan sangat percaya diri. "Tentu karena saya mengetahui bahwa Raja Nenavist Timur tergila – gila dengan kecantikan Ratu Alia. Kesediaannya dalam surat itu bukanlah omong kosong, Ostrava. Meski tidak menafikan rumor buruk tentangnya, setidaknya memberikan sedikit kepercayaan kepada aliansi tidak akan menyakitkan, bukan?"
"Meski begitu ..." Ostrava berlutut di depan Ratu Alia. Memohon dengan suara yang bergetar hebat. "Ratu Alia … Saya mohon agar menyelesaikan masalah ini tanpa memperbanyak korban jiwa."
Ratu Alia terkesima. Ia tidak pernah menyangka kalau Ostrava akan sejauh ini. Meski dirinya mencoba menutup mata akan kenyataan yang ingin dilindungi oleh menteri kerdilnya, namun hatinya tak mampu berbohong.
Heningnya ruangan tak berlangsung lama. Suara yang akan keluar dari bibir Alia adalah keputusan mutlak yang harus dipatuhi oleh setiap insan Kralovna.
"Kralovna akan menghadiri perundingan."
Wajah Zly dan Zena langsung berkerut saat mendengarnya. Meski demikian, titah sang ratu adalah segalanya.
"Baik, Ratu Alia. Akan kami laksanakan," jawab semuanya.
Empat menteri segera melaksanakan segala persiapan. Satu per satu memberi penghormatan dan keluar dari ruangan.
Sesaat Ostrava hendak berbalik, Ratu Alia berbisik padanya melalui udara sebagai pengantar aksara.
"Terima kasih, Ostrava."
Ostrava yang mendengar betapa lirihnya ucapan sang ratu, segera menunduk perlahan dan memperlihatkan sebuah senyuman yang tulus.
"Saya akan berusaha melindungi kebahagian Anda, Ratuku. Sebagaimana Anda melindungi kebahagiaan kami semua."
Ratu Alia menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Sebisa mungkin agar tidak diketahui oleh siapa pun akan kesempatan yang mungkin masih ia dapatkan.
Setelah semua menteri telah pergi, Desti datang dari luar dan segera menghadap Alia.
"Persiapannya sudah selesai, Ratu Alia," ujar Desti.
��Terima kasih, Desti."
Ratu Alia berdiri dan segera melangkah keluar. Desti berjalan mengikuti sang ratu dari belakang dan tak lupa menutup pintu ruangan.
Sementara itu, di dalam tenda darurat yang berdiri di kaki bukit Branda, Raja Andrew sedang duduk di kursinya. Bersama kesunyian, ia menanti sebuah kabar. Matanya tertuju pada jalur utama masuknya udara dingin. Sejak pagi begitu tanpa menyentuh sarapan di atas meja.
"Izinkan saya masuk, Yang Mulia."
"Masuklah."
Sosok yang datang menemuinya adalah Dedic. Lelaki itu datang membawa sebuah surat di genggamannya. Ia memberikan penghormatan terlebih dahulu sebelum menyebutkan isi surat dan menyampaikan kabar yang baru saja didengarnya.
"Ratu Alia Krasna menyetujui perundingannya, Yang Mulia."
Wajah Andrew yang kusut lekas bersemangat. Senyuman pun mencuat di wajahnya. Namun ia segera menenangkan diri dan menghapus senyum itu.
"Lalu bagaimana dengan Koruna?" Sorot mata Andrew mendadak tajam.
"Beberapa menit yang lalu, Koruna mengajak Menteri Praha berbincang."
"Apa yang mereka perbincangkan?"
"Pengawalan mereka sangat ketat dan tidak ada celah sedikit pun, Yang Mulia. Maafkan saya. Namun jika dilihat dari raut wajah menteri Praha … itu pasti cukup ekstrim."
Andrew terdiam sejenak. Jemarinya mengetuk – ngetuk lengan kursi.
"Apakah Menteri Praha marah?"
"Tidak. Beliau malah tertawa keras sekali."
Andrew langsung teringat kebiasaan sang kakek. Satu – satunya alasan dia bisa tertawa keras hanyalah dua. Pertama disebabkan tindakan atau rencana yang di luar ekspektasinya. Kedua disebabkan oleh pertumpahan darah.
"Dedic. Sampaikan pada seluruh menteri dan pengawal yang ikut dalam perundingan untuk tidak membawa senjata apa pun."
Dedic tersentak kaget. Keputusan itu sangat irrasional. Apalagi lawan diskusinya adalah bangsa yang sangat kuat bertempur satu lawan satu.
"Apa Anda yakin, Yang Mulia? Meski Ratu Alia tidak akan pernah bermaksud begitu, tetapi ada beberapa menteri mereka yang sangat ofensif terhadap Anda."
"Itu satu – satunya cara, Dedic. Aku jauh tidak ingin jika pertumpahan terjadi di meja diskusi. Kita ingin mencari solusi, bukan mati."
Sang asisten mengangguk. Ia tak mampu membantah lagi.
"Saya akan mengabari mereka, Yang Mulia." Dedic pamit lalu bergegas pergi.
Andrew menyandarkan tubuhnya ke kursi. Meregangkan setiap otot yang semakin kaku sejak mendapatkan kabar tersebut. Ia mendesahkan napas panjang lalu mengusap wajahnya. Jauh di dalam dirinya, ia sungguh berharap semua akan berjalan lancar.
***
Andrew dan Alia tidak pernah menyangka kalau mereka akan bertemu secepat ini. Namun bukan sebagai sepasang kekasih, melainkan kepala negara yang membawa tuntutan dan permintaan.
Mereka duduk di dalam tenda besar, cukup jauh dari Tambang Branda. Jaraknya tepat di tengah, antara perkemahan Krale dan kastel Branda. Andrew bersama Menteri Kurona dan Moravia. Sementara Alia bersama Menteri Zena dan Zly. Masing – masing pihak membawa tiga pengawal yang menjaga jarak dari meja diskusi.
Melihat Zena yang masih membawa pedangnya, membuat Koruna protes seketika.
"Anda tidak perlu khawatir," ujar Zena kepada Koruna. "Pedang ini tidak akan keluar dari sarungnya selama kalian tidak yang memulai lebih dulu."
Koruna nyaris naik pitam, tetapi Andrew segera menghentikannya. Sang Raja Krale menyadari bahwa saat ini pihaknya tidak layak banyak meminta. Meski bagi Andrew sendiri hal itu memang tidak pantas.
Fokus Andrew kembali ke depan. Saat Andrew menatap mata Alia, ia paham bahwa situasi kali ini benar – benar rumit. Dengan sekuat tenaga, Andrew berusaha untuk tidak membawa perasaannya ke dalam pertemuan ini. Jika tidak, hatinya bisa terenyuh saat pertemuan berlangsung.
Perundingan pun dibuka oleh Andrew yang melayangkan argumennya.
"Ratu Alia. Dengan segala hormat, saya meminta Anda untuk menyerahkan kembali Tambang Branda di bawah kendali Krale. Karena penyerangan ke Tambang Branda saat ini bisa merusak perjanjian damai yang telah disepakati sepuluh tahun yang lalu."
"Raja Andrew." Ratu Alia menatap mata sang lelaki. "Kalian yang lebih dahulu melanggar perjanjian damai tersebut."
"...Apa yang Anda maksudkan?"
Ratu Alia pun menyerahkan bukti berupa perhiasan emas yang memiliki simbol Kerajaan Krale. Benda itu hanya ditemukan pada baju kebesaran Andrew.
"Dari mana Anda mendapatkan ini, Ratu Alia?"
"Pasukan di bawah komanda Menteri Zly yang menemukannya di salah satu desa yang kalian serang. Salah satu prajurit yang tertangkap juga mengatakan kalau mereka mendapat perintah dari Raja Krale."
Andrew memikirkan segala kemungkinan yang ada. Satu – satunya yang ingin menjatuhkan dirinya adalah Koruna. Tapi tidak pernah sekalipun Koruna masuk ke dalam kamarnya. Dedic telah menjamin hal itu.
Andrew menarik napas panjang. Kemudian berbicara dengan tenang dan penuh keyakinan.
"Saya tidak mungkin melakukan hal itu, Ratu Alia."
Andrew menatap fokus kepada sepasang mata biru Alia. Namun, Alia lekas mengalihkan pandangannya.
"Bukti yang berbicara, Raja Andrew." Ia menatap balik Raja Krale dengan sorot ketidaksenangan. "Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengambil alih Tambang Branda sebagai bentuk ganti rugi Kerajaan Krale terhadap tindakan tidak bermoril tersebut."
Andrew terperanjat. Kaget dengan ketegasan yang dimiliki oleh wanita yang ia cintai. Namun, ini bukan saatnya terkagum.
Andrew lekas memperbaiki postur tubuhnya. Duduk tegak dan melihat baik – baik raut wajah lawan diskusinya. Andrew tidak mengetahui alur pembicaraan ini. Meski demikian, itu bukanlah alasan baginya untuk kalah.
"Ratu Alia, saya akan mengganti rugi untuk empat desa yang hancur. Dan sebagai gantinya, berikan kembali Tambang Branda kepada kami. Tidak hanya itu, pembuangan limbah pabrik melalui sungai akan saya hentikan total. Meski hal tersebut memberikan cukup banyak kerugian bagi kami, setidaknya itu bisa mencegah terjadinya pertumpahan darah yang sia – sia."
Kurona tampak tidak senang dengan arah pembicaraan ini.
"Raja Andrew, permintaan Anda terlalu lembek! Kenapa kita harus mengganti rugi? Bisa saja pelaku perusakan desa – desa itu adalah bandit yang memiliki perhiasan itu secara kebetulan!" sindir Kurona dengan gelak tawanya.
Andrew memukul meja dan menatapnya tajam.
"Diam, Kurona! Aku yang sedang berbicara di sini!"
Bentakan itu menyebabkan bulu kuduk Kurona berdiri dan membuatnya bungkam. Raja Andrew segera merapikan sikapnya.
"Maafkan atas kelancangannya, Ratu Alia."
Ratu Alia tidak mempedulikan tindakan menteri Krale yang tidak sopan tersebut. Saat ini, dirinya sedang memikirkan tawaran dari Raja Andrew dengan cermat.
Melihat Ratu Alia yang tampak bimbang, Menteri Zly langsung membisikkan sesuatu kepadanya.
"Ratu Alia. Ingatlah. Nyawa penduduk Kralovna itu sangat berharga. Tidak akan mungkin bisa diganti rugi dengan koin emas semata."
Ucapan Zly barusan membuat Ratu Alia kembali menimbang ulang. Sang Ratu mengerahkan semua kebijaksanaannya terhadap situasi yang ia hadapi sekarang. Menimbang dengan hati – hati karena setiap keputusan yang ia ucapkan haruslah memberikan keuntungan bagi Kralovna.
"Tidak," tegas Ratu Alia. "Tambang Branda tidak akan kami serahkan. Anggap ini sebagai bentuk pembelajaran kepada kalian agar tidak main – main dengan Kralovna."
Andrew tidak menyangka kalau proposalnya itu ditolak. Ia segera mencari solusi lain. Ia berdiskusi dengan kedua menterinya. Namun tidak menemukan solusi yang memuaskan pihak Kralovna. Adu cekcok bahkan terjadi beberapa kali antar menteri dari kedua kubu.
Diskusi berlangsung alot. Krale terus memberikan proposal dengan meminimalisir kerugian yang akan didapatkan. Sementara Kralovna tetap bersikukuh pada keputusannya.
Tatkala Alia melihat Andrew yang kesulitan dengan situasinya, hati kecilnya sangat ingin sekali membantu sang kekasih. Hanya saja, dirinya saat ini tidak memiliki hak tersebut. Semenjak rumor kedekatannya masih belum lenyap, ia tidak boleh menunjukkan rasa simpati kepada Krale.
Keputusannya bagaikan pedang bermata dua. Meski akan mampu menyelamatkan hubungannya nanti, tetapi hatinya semakin terenyuh dengan semua yang terjadi. Matanya sempat berkaca – kaca. Namun segera ia bersihkan.
Sesaat Alia sudah di ambang batas sendu, ia ingin memberikan sedikit keringanan kepada Andrew. Sayang, di saat itu pula sebuah kabar buruk sampai ke telinganya.
"Ratu Alia!" teriak seorang prajurit yang terluka parah, terjerembab jatuh masuk ke dalam tenda perundingan. "Krale menyerang Tambang Branda!"
Dalam sepersekian detik, suasana yang harusnya kondusif seketika mencekam. Kedua menteri Kralovna langsung berdiri dan memukul meja sekerasnya.
"Dasar jalang kalian, Krale!" sergah Zly.
"Ternyata kalian hanya ingin mengulur waktu saja, keparat!" teriak Zena. "Aku akan menebas kepala kalian!"
Sewaktu Zena menarik pedangnya, tangan sang Ratu berhasil menghentikannya.
"Apa yang Anda—" Mulut Zena yang hendak protes langsung terbungkam. Mata biru penguasa Kralovna memancarkan kekecewaan yang amat pekat. Seolah menghitam menjadi segelap palung terdalam. Zena mengerti. Itu adalah amarah dalam diam.
"Hahaha!" Kurona tertawa terbahak – bahak. "Dari awal Tambang Branda adalah milik kami! Kalau kami merebutnya secara paksa itu bukanlah kejahatan!"
"Sepertinya ... semuanya sudah jelas." Ratu Alia beranjak dari kursinya. Lalu mengacungkan jari ke arah Raja Andrew. "Kralovna akan menjadi musuh kalian, Krale! Perjanjian perdamaian itu sudah lenyap!"
Dada Andrew seketika menyesak. Bak tenggelam dalam lautan tanpa dasar. Andrew tidak bisa berkata apa – apa lagi. Sewaktu mendengar amarah Alia, seolah dirinya juga mendengar salam perpisahan yang tersembunyi.
Ya. Andrew mendengarnya. Sebuah retakan pada takdir yang dia harapkan. Meski begitu, dirinya tetap bersikukuh.
"Ratu Alia Krasna! Tunggu sebentar!" Raja Krale bangkit dari kursi dan bergegas menggapai kekasihnya yang hendak pergi.
"Jangan pernah kau sebut nama Ratu Kralovna dengan mulut kotormu, Raja Krale!" Zena menghadang dan menarik pedangnya sekali lagi.
"Kau tidak bisa segampang itu berbicara kasar terhadap Raja Krale, Perempuan Jalang!" Sosok yang datang tiba – tiba dari luar tenda itu membawa pedang besar. Ia segera menyambangi meja diskusi dan berdiri di belakang Raja Andrew.
"Syukurlah Anda datang, Menteri Praha," ucap Koruna kegirangan seperti iblis yang bersendawa. "Sekarang kita bisa menghabisi mereka saat ini juga!"
Praha yang melihat adanya kesempatan emas segera maju dan mengayunkan pedangnya. Begitu pula Zena yang lekas memasang kuda – kuda untuk melawan balik.
"Hentikan!!" Teriakan Andrew seketika mengheningkan suasana yang sempat tercium bau pertumpahan darah. Baik Praha ataupun Zena, keduanya sontak menahan diri.
"Menyerang seseorang dalam perundingan adalah tindakan pengecut!" tegas Andrew. "Itu bukan hal yang pantas dilakukan!"
Andrew perlahan mengatur napasnya. Berusaha melenyapkan syok yang ia dapatkan. Kemudian Andrew kembali menatap Ratu Alia yang hendak keluar dari tenda perundingan.
"Aku tidak ingin adanya pertempuran. Tetapi kesalahpahaman ini sudah terlanjur menjadi api yang tak dapat dipadamkan lagi." Andrew menggigit bibir sebelum melanjutkan perkataannya. "Dengan ini, Krale juga mendeklarasikan perang terhadap Kralovna."
Ratu Alia tidak sedikit pun menatap balik Andrew. Ia pergi begitu saja sembari membawa harapan yang telah hancur di dalam dirinya.
Setelah membiarkan lawan diskusinya pergi, Raja Andrew langsung memperoleh pujian dari Praha dan Koruna atas tindakannya. Sanjungan terus ia dapatkan hingga saat kembali ke perkemahan. Bagi mereka, seolah hari penantian telah tiba. Demi membalaskan dendam abadi yang tersemat lama.
Namun, Moravia tak mampu tersenyum dan memuji Andrew seperti yang lain. Ia mengetahui bagaimana kepedihan yang cucunya rasakan. Meskipun Andrew memasang senyuman secerah mentari, sendu tak jua sirna dari sorot matanya.