Chereads / Remoire / Chapter 15 - Bab 13 : Hari Yang Mendebarkan (Part II)

Chapter 15 - Bab 13 : Hari Yang Mendebarkan (Part II)

Sesaat mata mereka bertemu, setiap sudut kerinduan yang bersemayam di relung jiwanya terangkat keluar melalui air mata yang mengalir.

Lelaki itu membelai rambut keemasan sang wanita, lalu menyeka air matanya dengan lembut. Hal itu terus ia lakukan sampai sang wanita berhenti menangis.

"Sudah baikan, Annie?" bisiknya.

Alia hanya mengangguk dan berusaha memasangkan senyuman di wajahnya.

Andrew pun bangkit dari pangkuan Alia dan menggenggam lembut jemarinya. Matanya menatap ke dalam birunya pupil sang wanita.

"Aku minta maaf atas tindakanku malam itu, Ariel," ujar Alia pelan.

"Kamu tidak perlu minta maaf, Annie. Tidak ada yang perlu disalahkan dan tidak ada yang perlu dimaafkan. Karena pertemuan kita ini adalah bukti bahwa cinta itu bisa menghubungkan dua hati manusia."

Perkataan Andrew itu membuat hatinya sedikit lega. Seolah salah satu kekosongan di dalam dirinya telah diisi oleh ucapan lelaki yang terasa begitu hangat.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Ariel?"

"Bukan Ariel," sela sang lelaki. "Setelah memahami ucapanmu pada malam itu, aku menyadari satu hal. Kisah Ariel dan Annie telah berakhir. Namun kisah Andrew dan Alia baru saja akan dimulai."

Wajah Alia memerah seperti delima. Ia tidak bisa menutup wajahnya karena jemarinya digenggam erat oleh Andrew. Namun Andrew juga demikian. Ia tersipu malu oleh ucapannya sendiri.

Terjadi keheningan seketika. Panas yang melekat di wajah keduanya, membisukan bibirnya. Walau begitu, keduanya tak bisa mengalihkan pandangan.

"Andrew," ucap Alia memecah keheningan dengan tangan yang mulai gemetaran, "Lalu bagaimana kita memulai kisah ini?"

"Mari kita mulai lagi dari awal, Alia. Aku ingin mengenalmu lebih dalam. Semuanya. Sama seperti dulu."

Andrew semakin erat menggenggam jemari Alia. Namun gemetar pada jemari sang wanita masih belum hilang.

"Bagaimana dengan kerajaan dan rakyat kita? Bagaimana pula dengan tradisi yang telah ada?"

"Memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tapi aku—kita pasti akan menemukan solusinya, Alia. Percayalah padaku. Aku tidak akan membuat kisah ini berakhir tragis seperti Romeo dan Juliet." Andrew pun mencium tangan Alia yang masih gemetaran. "Asal kita tidak pernah menyerah, pasti solusinya bisa ditemukan."

Gemetar di tangan Alia seketika lenyap bersama dengan kabut keraguan yang menyelimuti hatinya. Alia pun menunduk sebentar lalu menggenggam erat jemari Andrew. Ia mengangkat wajahnya. Mata yang berkaca – kaca itu berpadu dengan senyumannya yang tulus. Sampai – sampai Andrew terpesona dan kehilangan kata – kata.

"Terima kasih banyak untuk segalanya, Andrew. Jika saja engkau menyerah mengirim surat-surat itu, mungkin kita tidak akan pernah bertemu kembali."

Ah, Andrew lagi – lagi mendekam rasa. Ingin sekali ia memeluk wanita itu seerat mungkin.

"Padahal aku berencana mengirimkan seribu surat untukmu," ujar Andrew sedikit tertawa. Berusaha agar rasa tidak mengambil alih dirinya.

"Seribu ... surat?" Ratu Alia terkejut.

"Iya. Seribu surat. Jika engkau tidak membalas saat seribu surat telah terkirim, aku akan menyerah. Tapi aku benar-benar bersyukur saat kamu membalas suratku." Andrew meregangkan tangannya sebentar dan kembali menatap Alia. "Itu benar-benar membuatku merasa hidup kembali."

Raut wajah sumringah Andrew itu terlihat berkilauan di mata Alia. Sampai – sampai kegirangan sang lelaki juga menumbuhkan senyuman manis sang wanita.

"Aku juga demikian, Andrew. Surat-suratmu membuat belenggu yang mengekang perasaanku hancur berkeping-keping. Aku juga benar – benar bersyukur."

Andrew malah tersipu malu seperti gadis perawan. Dia menjadi salah tingkah karena Alia sedari tadi selalu memujinya.

Melihat betapa senangnya Alia dan Andrew berbincang, Desti ragu jika ia harus memberitahukan kalau makan malam telah siap dihidangkan.

"Ratu Alia! Raja Andrew! Makan malam telah siap dihidangkan." Dedic berteriak dari kejauhan.

"Hei! Berteriak seperti itu tidak sopan sekali, Dedic!" tegur Desti.

"Ah! Maaf!" Dedic tak bisa mengelak.

Andrew dan Alia pun tersadarkan akan waktu yang berlalu oleh ucapan Dedic.

Langit mulai menghitam dan gemintang juga tak lupa menampakkan kemilaunya. Suara jangkrik yang berderu menambah kesan kalau mereka tidak sedang berada di dalam istana.

Andrew pun bangkit dan membantu Alia untuk berdiri. Dengan berpegangan tangan, mereka berjalan menuju tempat hidangan yang telah disiapkan.

Lentera yang telah dipasang berjejer di sepanjang jalan itu memberikan kesan romantis yang membuat hati mereka menjadi berdebar-debar.

Langkah keduanya pun berhenti saat Dedic dan Desti menyambut mereka bak tamu spesial.

"Silakan duduk Raja Andrew dan Ratu Alia." Mereka berdua diarahkan agar duduk berhadapan satu sama lain.

"Lalu bagaimana dengan kalian?" tanya Andrew.

"Kami akan makan di belakang, Yang Mulia."

"Tidak boleh! Kalian akan makan bersama kami, Dedic."

"T-tapi?"

"Tidak ada tapi-tapi!" tukas Andrew sambil menarik lengan asisten pribadinya tersebut.

"Desti! Ostrava! Mari kita makan bersama!" ajak Alia.

"Eh!" mereka berdua keluar dari belakang tenda dengan ragu-ragu saat mendengar ucapan Sang Ratu.

"Ratu Alia, saya tidak pantas untuk makan di meja yang sama dengan Anda," ujar Desti.

"Apalagi saya, Ratu Alia," sambung Ostrava.

"Ini bukan perkara pantas atau tidak pantas. Tapi aku mengundang kalian agar ikut makan bersama kami di sini."

Desti dan Ostrava saling melihat satu sama lain. Lalu maju perlahan hingga mereka duduk di samping Ratu Alia.

"Nah! Begini kan ramai!" seru Ratu Alia dengan senyuman yang tidak pernah dilihat oleh Desti dan Ostrava.

Saat semuanya telah duduk, Ratu Alia meminta Desti untuk memimpin doa sebelum makan.

"Wahai Pemilik Semesta. Semoga setiap makanan dan minuman yang kami santap akan menjadi keberkahan bagi kami semua."

Selesai membaca doa, mereka pun mulai menyantap makanan tersebut. Para lelaki tampak begitu lahap. Sementara kedua wanita seperti malu-malu kucing saat mencicipi hidangan tersebut. Namun itu tidak bertahan lama saat Ostrava menyajikan hidangan penutup berupa kue manis. Kedua wanita itu bahkan mengambil dua porsi masing-masing. Kali ini para lelaki yang tertegun melihat mereka.

"Yang Mulia, wanita itu memang tidak bisa ditebak," bisik Dedic pelan dan itu mengundang tawa Andrew.

Telinga Desti bisa menangkap gelombang suara yang bernada ejekan tersebut.

"Ratu Alia, sepertinya para lelaki itu menertawakan kita," adu Desti.

Kali ini mata Alia menatap tajam ke arah Andrew. Andrew terpaku dan berusaha mengalihkan pandangannya. Tak lama Ratu Alia pun tertawa pelan melihat reaksi Andrew yang seperti itu.

Malam itu benar-benar begitu hangat untuk mereka semua. Khususnya Dedic, Desti dan Ostrava. Itu adalah pertama kalinya mereka makan satu meja dengan orang nomor satu di kerajaan. Ada sebuah rasa bangga yang melekat di benaknya. Dan itu menjadi kenangan yang tidak akan pernah mereka lupakan.

Setelah selesai makan, mereka pun masuk ke dalam tenda masing-masing yang telah disediakan untuk beristirahat.

Satu tenda untuk Ratu Alia dan Desti. Satu tenda untuk Raja Andrew dan satu lagi untuk Dedic dan Ostrava.

Saat Raja Andrew membentangkan tubuhnya di dalam tenda, Ada bayangan orang terlihat di depan tendanya.

"M-Maaf Raja Andrew. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda."

Suara itu milik lelaki pendek yang tampan dan memakai kacamata, Ostrava.

"Silakan masuk, Ostrava."

Ostrava dengan sedikit gemetaran masuk ke dalam tenda tersebut. Wajar, dia akan berbicara empat mata dengan orang nomor satu di Kerajaan Krale.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Ostrava?" Andrew membuka percakapan melihat Ostrava yang penuh keragu-raguan.

"Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri dulu, Raja Andrew. Saya adalah Ostrava. Saya adalah salah satu menteri Kerajaan Kralovna. Dan saya minta maaf. Karena ... saya telah jatuh cinta dengan Ratu Alia." Tangannya gemetaran hebat.

"Lalu?" jawab Andrew santai.

"Eh—Tapi saya mencintai beliau. Apakah Anda tidak marah dengan hal itu?"

Tiba-tiba saja Andrew cekikikan tidak jelas. Dan itu menimbulkan tanda tanya di kepala Ostrava.

"Kamu tidak perlu meminta maaf karena telah mencintai seseorang. Siapapun dia. Kamu juga tidak perlu meminta izin pada seseorang untuk mencintai Ratu Alia. Karena cinta itu tidak terikat pada kasta, wilayah, dan juga umur," jelas Andrew, "Tapi ada satu hal penting yang harus kamu ingat, Ostrava!"

"Apa itu, Raja Andrew?" Mata lelaki itu memancarkan rasa penasaran yang menembus kacamatanya.

"Cintailah orang yang kamu cintai dengan sepenuh hati. Jika seandainya mereka tidak memilihmu sebagai pendamping hidupnya, maka tidak boleh sedikit pun kamu membencinya, Ostrava. Karena cinta itu sumber kebaikan dan kasih sayang. Dan cinta itu selalu mengharapkan kebahagiaan kepada orang yang kamu cintai."

Air mata Ostrava mengalir begitu saja. Perkataan Andrew membuatnya tersadar akan dua hal penting. Pertama, ia pun menyadari arti dari mencintai seseorang yang sebenarnya. Dan yang kedua, alasan mengapa Ratu Alia bisa jatuh cinta dengan lelaki yang ada di hadapannya ini. Lelaki itu begitu tegar, cinta di dalam jiwanya begitu kuat sampai-sampai Ostrava dapat merasakan kelembutannya melalui kata yang ia ucapkan.

"Lalu apa yang membuatmu jatuh cinta dengan Ratu Alia, Ostrava?" celetuk Andrew.

"Eh—Ah! Maaf!" Lamunan Ostrava pecah. "Saya mencintai kecantikan beliau. Ketegasan beliau. Senyuman beliau. Dan ..." Ostrava menyebutkan semua yang ia rasakan.

Malam itu, keduanya berbincang dengan bahagia tentang wanita yang mereka cintai.

Di tenda yang lain, Ratu Alia berbincang dengan Desti yang sedang merapikan rambutnya.

"Anda tampak bahagia sekali malam ini, Ratu Alia. Wajah Anda begitu cerah sampai-sampai kita tidak memerlukan lentera," goda Desti.

"Andai hari-hari ini terus berlanjut hingga akhir hayatku," lirih Alia, "Tapi itu hal yang tidak mungkin terjadi. Setelah pertemuan ini aku bahkan tidak tahu apakah kami bisa bertemu lagi." Desahannya bertambah panjang.

"Apakah Anda percaya kepada takdir, Yang Mulia?"

Sebuah pertanyaan yang tidak diduga oleh Alia.

"Takdir? Aku ... tidak tahu."

"Saya percaya dengan takdir. Saat melihat Anda terlihat sangat bahagia bersama Raja Andrew, saya terus bertanya kepada diri sendiri. 'Bagaimana mungkin dua orang dari tempat yang berbeda dan memiliki tradisi yang saling bertentangan bisa menjalin rasa cinta yang begitu dalam?' Pertanyaan seperti itu terus muncul. Dan akhirnya saya mendapatkan jawabannya, Ratu Alia."

"Apa jawabannya, Desti?"

Desti pun selesai merapikan rambut keemasan wanita tersebut. Dia juga merapikan alas tidur dan bantal untuk Sang Ratu.

"Apa jawabannya, Desti?" desak Ratu Alia.

"Berbaringlah dulu, Ratu Alia."

Ratu Alia pun berbaring dan dipakaikan selimut oleh Desti.

"Jawabannya adalah cinta itu tidak mengenal batas ruang dan waktu. Itu membuatku menjadi bahagia."

"Namun kenyataannya kami masih belum bisa bersama, Desti."

"Anda tidak boleh pesimis, Ratu Alia." Desti yang duduk di sampingnya mengelus rambutnya sekali. "Jika cinta bisa menembus ruang dan waktu, maka kebersamaan Anda dengan Raja Andrew hanya tinggal menunggu waktu saja. Saya sangat meyakini hal itu."

Ratu Alia merasa lega atas ucapan Desti. Ia yang sempat khawatir akan ketidakmungkinan hubungan ini, menjadi lebih termotivasi untuk yakin akan kebahagiaan mereka nantinya.

Setelah itu mereka berbincang sebentar sampai Ratu Alia tertidur. Setelah itu Desti keluar dan mencari Dedic untuk bergantian menjaga tempat perkampingan mereka. Namun ia malah melihat kalau Dedic ikut masuk dan berbincang ke dalam tenda Raja Andrew.

"Dedic!" teriakan itu jelas terdengar.

"Astaga!" Dedic kaget. "Sepertinya saya harus pergi berjaga malam, Yang Mulia."

Wajah kecewa Andrew dan Ostrava membuatnya berat melangkah pergi. Namun ia tidak ingin Desti marah lebih dari ini.

"Saya pamit dulu, Yang Mulia." Dedic pun keluar dari tenda.

Desti yang sedang menunggu menatapnya tajam. Dedic tidak mungkin beralasan yang lain-lain.

Desti menghempaskan napas sekali.

"Lain kali jangan teledor. Dua orang penting dari dua kerajaan ada di sini. Jika ada sesuatu terjadi menimpa mereka, pertemuan ini tidak akan bisa diadakan lagi."

"Maaf." Wajah memelas Dedic membuat Desti bisa memaafkannya.

Mereka pun mulai berjaga malam.

Suara keramaian hutan menjadi melodi pengantar tidur yang syahdu. Gemintang dan rembulan menjadi lampu tidur alternatif setelah semua lentera dipadamkan. Mereka pun tertidur lelap di dalam tenda.

Namun tidak dengan Dedic dan Desti. Setelah memastikan semuanya tertidur, mereka masuk jauh ke dalam hutan dengan membawa sebuah lentera.

Setelah sampai di tempat tujuan, ada seorang lelaki tua berdiri di balik kegelapan.

"Sepertinya informasi darinya memang akurat. Apakah Raja Krale dan Ratu Kralovna sudah tertidur?"

"Ya," jawab Dedic. "Mereka sudah tertidur pulas."

"Kalau begitu ambil ini dan bunuh mereka." Lelaki itu menyerahkan sebuah botol kecil. "Ini racun yang sangat kuat. Setetes saja bisa membunuh gajah dan paus. Manfaatkan sebaik mungkin."

Kemudian lelaki itu pergi dan menghilang ke dalam gelapnya malam.

"Dedic. Apa kau akan melakukannya?"

"Tentu ... Ini adalah kewajiban dan sumpah yang telah kuemban, Desti."

"Kenapa kebencian mereka harus kita sendiri yang mengembannya, Dedic? Andai kita terlahir di keluarga yang berbeda, aku rasa hidup kita akan lebih bahagia."

"Seperti inilah ironi kehidupan, Desti. Jika aku tidak bertemu dengan Andrew aku tidak akan pernah tahu rasanya kebahagiaan. Namun dengan begitu aku juga mengetahui betapa beratnya memikul sebuah harapan."

"Itu bukan harapan, Dedic. Itu hanya dendam masa lalu yang tidak memiliki ujung. Aku hanya berharap kau tidak melakukan seperti yang mereka harapkan." Desti pun kembali lebih dahulu.

Dedic kembali menatap langit melalui celah-celah dedaunan. Ia menggenggam kuat botol itu dan berkata dalam kesunyian.

"Andai aku bisa memilih takdirku sendiri."