Aku mengira pertemuan itu akan melepaskan kerinduan yang telah lama terpendam. Namun mengapa kerinduan ini terus bertambah saat hari-hari berlalu tanpa melihat dirimu?
***
Hari demi hari pun berlalu.
Raja Andrew menjalankan kegiatan seperti biasanya. Sembari berusaha agar waktu di pertengahan bulan bisa diluangkan untuk pertemuan rahasianya dengan Alia. Maka ia harus bekerja ekstra keras sambil tetap mengirimkan surat seperti biasanya.
Ia banyak mengambil lembur dan menyebabkan porsi tidurnya berkurang. Dedic dan Jadiz yang melihatnya seperti itu menjadi khawatir. Hanya saja, kinerja Raja Andrew hari demi hari menjadi lebih produktif. Dedikasi dan sifatnya yang terlalu memaksakan diri itu mendapatkan pujian dari para menteri.
Moravia masih penasaran pada penyebab yang membuat Raja Andrew seperti itu. Saat ia berusaha mengorek informasi melalui Dedic, lelaki itu dengan gamblang menjawab, "Mungkin ini yang disebut dengan kekuatan cinta, bukan?"
Jantung Moravia seolah tersambar petir saat mendengarnya.
"Raja Andrew jatuh cinta? Pada siapa? Bagaimana dengan perawakannya? Statusnya?"
Moravia tak henti-hentinya bertanya tentang siapa wanita yang itu. Namun Dedic tidak bisa memberikan jawaban jelas untuk Moravia.
"Wanita itu sangat cantik sekali, Menteri Moravia. Mungkin wanita paling cantik yang ada di dunia," celetuk Dedic.
"Astaga! Benarkah itu! Ini benar-benar luar biasa!" Moravia menyeringai.
"Namun mohon rahasiakan hal ini dulu, Menteri Moravia. Karena jika ini tersebar bisa mengganggu pekerjaan Raja Andrew nantinya."
"Aku mengerti hal itu, Dedic. Tapi kau harus menjelaskannya lebih rinci nanti. Oke?" Moravia pun melangkah pergi sembari bersiul-siul.
Dedic hanya bisa pasrah melihat lelaki gemuk itu. Namun perasaan Moravia yang ditujukan pada kebahagiaan Raja Andrew itu sangat tulus. Sampai-sampai membuat keirian sedikit merasuk ke dalam hati kecilnya.
Hari terus berlalu namun kerinduan itu terus tumbuh dengan sangat cepat. Bahkan surat-surat itu tak lagi mampu mewakili kerinduannya. Akibatnya, Raja Andrew sering kali melamun saat pekerjaannya telah selesai.
Setiap kali Jadiz mengantarkan Raja Andrew ke kamarnya untuk beristirahat, lelaki itu malah berdiri menatap ke luar jendela. Jadiz menghempaskan napas dan tangannya mengepal erat setiap kali ia menyaksikan hal itu terjadi.
Di salah satu malam, Dedic melihat Andrew sedang menulis dokumen. Keseriusannya terlihat lebih dalam dari pada saat menulis surat untuk Alia.
"Yang Mulia?" Dedic masuk setelah mengetuk pintu. "Apa yang sedang Anda kerjakan selarut ini, Yang Mulia?"
Melihat dahi sang asisten yang berkerut menorehkan seutas senyuman di bibirnya.
"Ingat yang kita bicarakan bertiga dengan Ostrava?"
"Tentang kecantikan Ratu Aila?"
"Eh? Bukan – bukan!" sanggah Andrew cepat.
"Sungguh mengherankan!" celetuk Dedic. "Memangnya ada yang lebih menarik bagi Anda selain membahas Ratu Alia, Yang Mulia?"
Andrew menutup wajah. Berusaha mencegah panas yang meluap dari hasrat jiwanya.
"Bukan! Tapi tentang CPR? Ingat, kan?"
"Si-pi-er?" eja Dedic. "Tentang sihir membangkitkan orang mati, kan?"
"Dedic," desah Andrew. "Kamu masih menganggap itu sebagai sihir?"
"Tentu, Yang Mulia." Dedic mengelus – elus dagunya. "Sesuatu yang hebat seperti itu pasti sihir."
Lagi, Andrew mendesah panjang. Ia kembali menjelaskan lebih sederhana kepada lelaki yang terlalu takut mengetahui sesuatu yang sulit dipahami.
"CPR bukanlah sihir. Tapi sebuah teknik untuk menyelamatkan nyawa. Walau hal ini bisa dilakukan siapa saja, bukan berarti teknik ini adalah sihir yang dengan pasti akan berhasil."
Dahi Dedic berkerut lagi. Ia sedang memahami perkataan majikannya.
"Bukankah itu artinya percuma saja untuk mempelajarinya?"
Andrew tergelitik dan melepaskan tawa yang keras.
"Ya. Memang akan percuma. Namun kau tahu tidak, Dedic? Teknik ini mirip seperti doa. Bagi siapa yang melakukannya pasti akan mengharapkan agar nyawa seseorang itu bisa diselamatkan. Bukankah itu keren?"
"Keren sih. Namun saya tidak akan mempelajari teknik yang tidak membawa kepastian, Yang Mulia."
"Aku tidak menyuruhmu belajar teknik ini, Dedic. Teknik yang kutulis dalam dokumen ini adalah hadiah kepada Ostrava karena telah menjaga Alia dengan baik di sana."
Dedic gantian mendesah panjang.
"Ujung – ujungnya pasti Ratu Alia?" Dedic merebut dokumen Andrew. "Sudah saatnya Anda tidur, Yang Mulia."
"Lagi? Tadi Jadiz juga berkata demikian," keluh Andrew.
"Kalau Jadiz sudah menyerah, artinya Anda yang harus mengerti, Yang Mulia. Sekarang atau akan kulenyapkan dokumen ini."
Andrew tidak melihat canda pada sorot mata asistennya. Ia pun menurut dan keluar dari ruang kerjanya. Namun Andrew sempat mengintip dari celah pintu. Ia menyaksikan Dedic tengah membaca dokumen tersebut.
"Dasar kucing pemalu," ledek Andrew halus.
Andrew pun tersenyum lalu menutup rapat pintu dan segera beristirahat.
***
Moravia acap kali singgah ke ruangan Andrew beberapa kali sehari untuk bertanya hal yang sama.
"Siapa wanita yang engkau dambakan itu?"
Pertanyaan itu terus dilontarkan Moravia dengan raut wajah nakal ala – ala keimutan. Andrew jua terus menolak untuk menjawabnya. Tentu ia punya segudang alasan valid yang membuatnya tak mampu berkata jujur pada kakeknya.
Pada malam sebelum keberangkatan Raja Andrew, Menteri Moravia datang dan memohon agar mengizinkannya untuk melihat wanita yang telah membuat Raja Andrew jatuh cinta.
Raja Andrew awalnya tidak mau mengizinkan lelaki paruh baya itu. Hanya saja dirinya berani bersumpah untuk merahasiakan apapun yang akan dia saksikan nantinya. Tekad Moravia yang tergambar jelas melalui sorot matanya itu membuat Raja Andrew memutuskan untuk mempercayainya.
Mereka berangkat di pagi buta. Perjalanan itu membutuhkan waktu satu hari agar bisa tiba di sana. Menteri Moravia dan Raja Andrew pun beristirahat sebisanya.
Mereka tiba di tempat tersebut tatkala senja menyapa. Saat karavan telah sampai di tempat pertemuan, mereka pun turun keluar.
Dari kejauhan, Moravia melihatnya. Sesosok wanita yang berjalan lurus ke arahnya dan didampingi oleh dua orang. Wanita cantik yang terlihat dari kejauhan itu memakai baju yang begitu mewah dan terlihat anggun. Corak khusus yang ada di pakaiannya itu menandakan dia berasal dari kasta yang tinggi. Terlebih lagi rambut keemasaannya yang digeraikan memantulkan sinar matahari sore itu. Itu membuat matanya semakin terbelalak.
"R-Ratu Kralovna! Alia Krasna!" Kakinya langsung gemetaran. "Yang Mulia, apa ini lelucon?" Keringat yang ada di wajahnya terus bercucuran.
"Tentu tidak, Kakek Moravia. Aku benar-benar serius."
Moravia tidak pernah menyangka kalau wanita yang menjadi pujaan hati rajanya adalah wanita yang memiliki potensi menjadi musuh terbesar kerajaannya.
Wanita berambut keemasan itu berjalan mendekati Raja Andrew dan Moravia. Lalu memasang senyuman yang sangat mempesona.
"Kita bertemu lagi, Raja Andrew. Dan ..."
"Menteri Moravia," sela Andrew.
"Senang bertemu dengan Anda, Menteri Moravia. Saya Alia Krasna."
"Bisakah Anda memberikan penjelasan atas semua yang terjadi, Ratu Alia Krasna? Saya tidak bermaksud buruk, hanya saja saya ingin meluruskan benang kusut di dalam kepala saya."
Melihat lelaki paruh baya itu sudah sangat ketakutan akan kenyataan yang terjadi, Ratu Alia menyetujui permintaannya tersebut.
Mereka berdua pun berbicara empat mata di dalam karavan. Sementara yang lain tengah melakukan persiapan seperti pertemuan sebelumnya.
"Pertama saya minta maaf karena meminta hal lancang seperti ini, Ratu Alia."
"Itu tidak mengapa, Menteri Moravia. Saya juga mengerti apa yang Anda rasakan saat ini."
"Lalu mengapa Anda menerima perasaan Raja Andrew? Mengingat aturan di Kerajaan Krale dan Kralovna membuat kalian tidak akan pernah bersama untuk selamanya. Bukankah lebih baik jika kalian menyudahi asmara yang tidak memungkin ini?"
Ratu Alia menundukkan wajahnya sebentar. Lalu kembali menatap Moravia dengan sorot mata yang penuh keseriusan.
"Karena saya yakin kami berdua akan menemukan solusinya, Menteri Moravia."
"Tidak kah Anda juga mengetahui bahwa sebagian besar rakyat Krale sudah menanamkan kebencian yang sangat dalam kepada Kerajaan Anda dan sebaliknya?" Moravia terus menyanggah.
"Saya tahu betul hal itu, Menteri Moravia. Namun itu bukan menjadi alasan saya untuk lari dari perasaan yang telah saya tekadkan. Saat ini kami berdua mengetahui resiko dari hubungan ini. Walau begitu, Raja Andrew tidak akan menyerah. Begitu juga dengan saya, Menteri Moravia." Dan tiba-tiba saja Ratu Alia menundukkan kepalanya. "Saya mohon restuilah hubungan kami, Menteri Moravia. Anda adalah sosok yang dianggap Andrew sudah seperti orang tuanya sendiri. Karena itulah saya mohon dengan penuh kerendahan hati. Restuilah hubungan kami berdua."
Menteri Moravia yang tidak siap dengan sikap Ratu Alia itu terkejut hingga air matanya ingin meledak keluar.
"S-Saya ... hanya mengharapkan Raja Andrew mendapatkan kebahagiaan yang telah lama ia harapkan. Hanya itu saja. Saya yang harusnya berterima kasih kepada Anda, Ratu Alia. Karena setelah ia bertemu dengan Anda, Beliau menjadi begitu bersemangat melakukan pekerjaannya sebagai Raja Krale. Dan seolah ia menemukan kembali semangatnya dalam kehidupan kesehariannya. Dan ..." Suara Moravia bergetar. Air mata yang berusaha ia tahan mulai menetes pelan. "Boleh kah saya bertanya satu hal lagi, Ratu Alia?"
Ratu Alia mengangkat kepalanya dan menatapnya penuh perhatian.
"Boleh, Menteri Moravia."
"Apakah ... apakah Raja Andrew bahagia bersama Anda?"
Air mata Ratu Alia juga ikut menetes saat melihat lelaki paruh baya yang ada di depannya mengeluarkan air mata yang telah menganak sungai.
"Saya akan membuat Andrew menjadi lelaki yang paling bahagia di dunia ini, Menteri Moravia. Saya berjanji."
Mendengar jawaban yang begitu kokoh dari Ratu Alia membuatnya tak mampu menahan perasaannya.
"Terima kasih banyak, Ratu Alia. Saya, Moravia, akan merestui hubungan kalian berdua. Sampai akhir hayat saya ..." ucap Moravia tersedu-sedu.
Moravia tertunduk dan mengeluarkan semua perasaannya melalui air mata yang mengalir deras.
Ratu Alia bisa menyaksikan rasa cinta lelaki paruh baya itu terhadap Andrew. Sebuah rasa cinta yang membuatnya iri dan bahagia disaat bersamaan.
Setelah itu, mereka berdua pun keluar dari sana dan ikut berkumpul bersama yang lain.
Yang pertama kali ditemui oleh Moravia adalah Andrew. Ia menjabat tangannya dan menatap tenang wajah Raja Krale tersebut.
"Saya akan tetap mendukung Anda, Yang Mulia. Selama kebahagiaan Anda bersama Ratu Alia, maka di situlah saya akan memberikan restu."
Raja Andrew langsung memeluk erat lelaki itu.
"Terima kasih, Kakek Moravia," bisiknya lembut.
Suasana itu mengundang keharuan di hati mereka. Namun masakan yang telah matang tidak mungkin dibiarkan dingin begitu saja.
"Waktunya makan malam!" teriak Desti.
Semuanya terdiam seketika dan menatap Desti.
"Eh, Maaf." Desti kebingungan.
Lantas semuanya langsung tertawa melihat reaksi Desti yang lucu.
"Mari kita makan, Yang Mulia, Ratu Alia." ajak Menteri Moravia. "Semoga malam ini menjadi pertanda baik untuk semuanya!"
Malam itu mereka pun saling berbincang satu sama lain. Moravia di sana menyaksikan wajah yang tidak pernah Raja Andrew tunjukkan saat di Istana Krale. Begitu juga Ratu Alia. Ratu yang dijuluki sebagai Ratu Barbar oleh sebagian besar bangsawan Krale, memperlihatkan wajah yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Itu membuat kegelisahan di dalam hati Moravia berkurang pesat.
Di malam itu dia berharap kepada Pemelihara Alam Semesta untuk selalu menjaga keduanya dari mara bahaya.
***
Mentari pagi pun membangunkan mereka yang telah puas tidur tadi malam. Kesejukan dan aroma hutan yang dibawa oleh semilir angin mampu membangkitkan semangat pagi.
Andrew yang telah terjaga langsung membasuh wajahnya. Ia pun langsung kembali ke tenda untuk mengambil dokumen yang telah dipersiapkan untuk Ostrava.
"Ostrava," seru Andrew. "Ini yang telah aku janjikan untukmu."
Jemari Ostrava bergetar saat menerimanya. Bulir air mata mulai menghiasi mata bundarnya.
"Terima kasih banyak, Raja Andrew. Saya akan berusaha menggunakan pengetahuan ini untuk kepentingan Ratu Alia."
Andrew juga tersenyum melihat wajah sumringah Ostrava. Sungguh aneh bagi Andrew melihat lelaki yang begitu gigih untuk membantu wanita yang mereka berdua cintai.
Setelahnya, Andrew ingin pergi ke danau untuk menyegarkan diri. Namun saat melihat wajah serius Dedic yang sedang mengamati sesuatu di tangannya, membuat Andrew penasaran. Lelaki itu pun membatalkan niatnya untuk mandi.
"Apa itu, Dedic?" Andrew berjalan mendekat.
Dedic memperlihatkan sebuah batu yang lonjong namun sangat berkilau. Corak unik dan permukaannya yang mulus membuat Andrew tidak menyangka kalau benda ini hanya sebuah batu.
"Dari mana kau mendapatkannya, Dedic?
"Dari Reruntuhan Jeden saat berjaga tadi malam, Yang Mulia."
"Jauh dari sini?"
"Anda ingin ke sana? Saya sangat tidak menyarankannya, Yang Mulia. Tempat itu sangat rapuh dan tidak tahu kapan bangunannya akan runtuh."
"Aku tidak selemah dan seceroboh yang kau kira, Dedic."
"Saya mengerti hal itu, Yang Mulia. Tapi tempat itu sangat berbahaya."
"Jika kau bisa mendapatkannya, berarti aku juga bisa mendapatkannya," ujar Andrew sambil berjalan menuju salah satu kuda yang diikat di dekat pepohonan.
"Untuk Ratu Alia?" tanya Dedic.
"Anggap saja hadiah untuknya." Andrew pun menaiki punggung kuda itu dan mulai mengatur keseimbangannya.
"Anda masih mengantuk, Yang Mulia. Lebih baik nanti siang saja."
"Lebih cepat lebih baik."
"Tunggu!" Suara itu berasal dari tenda wanita. "Aku juga ikut, Andrew!"
Wanita yang menyanggul rambut emasnya itu memaksa Andrew untuk mengizinkannya ikut serta. Karena Andrew menganggap ini sebagai kencan perdana mereka, Andrew pun mengiyakannya.
"Kalau begitu kami akan pergi dulu."
"Pulanglah sebelum sarapan selesai, Yang Mulia, Ratu Alia!" seru Dedic pada mereka yang telah pergi menjauh.
Kuda yang ditunggangi mereka berlari dengan cepat. Angin yang menerpa mereka begitu menyegarkan. Semilir angin itu juga membuat Andrew mencium semerbak keharuman rambut Alia. Pita yang menjadi pelengkap sanggulnya itu membuat sang wanita terlihat manis sekali.
Setibanya mereka di depan reruntuhan tersebut, Andrew pun membantu Alia turun perlahan. Lalu ia mengikat kudanya di pohon terdekat dan mengambil lentera dari tas kuda tersebut.
"Reruntuhan ini begitu besar. Aku tidak menyangka kalau kerajaan ini bisa jatuh." gumam Alia sembari berjalan menyentuh dinding-dindingnya.
"Tidak ada yang pernah tahu akhir dari sesuatu, Alia."
"Ya, kamu benar, Andrew." Alia menggenggam erat jemari lelaki itu. "Mau berkeliling?"
"Hmm ... boleh."
Alia pun lebih dahulu masuk sambil merebut lentera Andrew. Wanita itu bergerak cepat hingga lepas dari pandangan sang lelaki.
"Hei, Alia. Pelan-pelan. Ini bangunan umurnya sudah lebih dari satu abad!" Was-was Andrew.
"Kya!" jerit Alia tiba-tiba.
Andrew langsung melesat masuk mengikuti arah suara.
"Alia!" teriaknya.
"Di bawah sini, Andrew!"
Andrew melihat ke arah bawah terdapat lubang yang cukup dalam. Di sana ia melihat Alia terduduk di genangan air.
"Kamu baik-baik saja, Alia?"
"Aku baik-baik saja. Aku akan mencari jalan kembali dari sini."
"Jangan! Biar aku yang mencari jalan keluarnya!"
"Kamu tidak perlu khawatir!"
Melihat kenekatan Alia yang mungkin tidak ada batasnya, Andrew pun memutuskan terjun ke bawah. Air tempat jatuhnya Andrew naik hingga menyiprati Alia, basah.
"Lah! Kenapa kamu ikut turun juga?" celetuk Alia.
"Lebih baik tersesat bersama ketimbang sendirian, 'kan?"
Ucapan sok bijak itu mengundang tawa Alia seketika.
"Sudah-sudah, mari kita cari jalan keluar dan mencari batu berkilau itu."
"Batu berkilau?" tanya Alia.
"Iya. Batu itu sangat indah dan memantulkan cahaya matahari. Aku berencana menghadiahkannya untukmu."
"Kalau begitu aku juga akan memberikan untukmu satu, Andrew."
Andrew terperanjat malu. Lalu seketika menepuk pipinya.
"Terima kasih, Alia."
"Lah? Tapi 'kan belum?" Alia keheranan.
"Berterima kasih di awal 'kan tidak mengapa."
Lagi, Alia tertawa melihat lelaki yang dicintainya berusaha menutupi rasa malunya.
"Sudah sudah. Mari kita bergerak sebelum makan siang." Andrew berusaha mengalihkan pembicaraan. Alia hanya mangut – mangut mendapati manisnya wajah Andrew yang memerah.
Andrew dan Alia mulai menyelusuri lorong reruntuhan. Dengan bergandengan tangan, mereka melangkah penuh kehati-hatian.
Sementara di luar reruntuhan, terlihat beberapa orang menggunakan jubah mencurigakan berkumpul di sekitarnya.
"Sepertinya Raja kita, Dedic, telah berhasil membawa kedua pemimpin kerajaan itu masuk ke dalam kuburan mereka sendiri. Kita harus bergerak cepat."
Lelaki yang sepertinya pemimpin gerombolan itu memberikan sinyal untuk menjalankan rencana jahat mereka.
Mereka pun membawa bebatuan besar yang telah dipersiapkan dan menutup setiap jalan keluar yang bisa mereka temukan. Lalu meruntuhkan tiang-tiang yang rapuh dan menyebabkan getaran yang sampai terdengar oleh Moravia.
"Suara apa itu?" Moravia terjerembab ketakutan.
"Arahnya dari sana!" teriak Ostrava sambil menunjuk ke arah asap besar itu.
"Itu ... arah reruntuhan!" teriak Desti.
"Gawat! Raja Andrew dan Alia tadi pergi ke sana!" Moravia langsung berkeringat.
Desti benar-benar kesal pada dirinya yang tidak memperkirakan hal ini bisa terjadi. Matanya langsung dengan tajam menatap Dedic. Ia pun perlahan mendekati Dedic sambil mengepal erat tangannya.
"Dedic … apa kau senang?" Air mata kemarahan yang mengalir di pipi Desti itu membuat Dedic tak bisa menatap balik.
Tanpa mempedulikan respon Dedic, Desti langsung mengambil salah satu kuda dan memacunya sekencang angin.
Ostrava dan Moravia juga ikut ke sana. Hanya Dedic yang tertinggal. Ia tak sedikit pun mampu menggerakkan kakinya. Seolah terpaku sampai ke inti bumi, gravitasi tak mengizinkannya untuk bergerak.
Bukan. Itu bukan penyebabnya. Tapi rasa bersalah yang mendidih di dalam jiwa membuat Dedic merasakan ketakukan luar biasa. Sampai-sampai ia tidak bisa bergerak dan berbicara.