Chereads / Remoire / Chapter 18 - Bab 16 : Seutas Kenyataan Dan Kelabu Lampau (Part II)

Chapter 18 - Bab 16 : Seutas Kenyataan Dan Kelabu Lampau (Part II)

Zena melihat sekelilingnya.

Sungguh ia tidak percaya kalau benar ada desa di sekitar sini. Apa yang dia lihat adalah sebuah perkampungan yang begitu hidup dan makmur. Petani yang sedang menggemburkan tanah, anak – anak kecil yang berlarian ke sana kemari, dan para pemuda – pemudi yang sedang berbincang di tepi jalan. Sang menteri hanya bisa tertegun dan sedikit menyesal karena desa ini luput dari jangkauan kerajaan.

Zena pun bertanya pada seseorang yang ada di tepi jalan. Sesaat mendengar nama yang dimaksud oleh Zena, pria tersebut menunjuk ke arah rumah yang tak jauh dari mereka. Zena berterima kasih dan bergegas menuju ke sana.

Setibanya di depan rumah tersebut, Zena menyuruh pasukannya agar bersiaga di luar. Ia pun mengikat kudanya pada pepohonan terdekat lalu mendekati pintu rumah tersebut. Zena mengetuknya dan sesosok lelaki tua muncul dari dalam rumah.

"Apakah ini benar kediaman Eva Radsetoulal?" ujar Zena.

Lelaki itu melihat ke belakang sejenak. Tampak sesosok wanita dewasa yang juga ikut mengintip.

"Iya ... benar. Eva tinggal di sini. Ada perlu apa, ya?" ujar lelaki itu.

Zena pun menyerahkan benda yang ia dapatkan dari lelaki bangsawan sebelumnya. Seikat rambut keemasan, beberapa surat dan sejumlah keping emas.

Tangis lelaki itu pecah seketika. Sang wanita berusaha menahan gejolak yang menyeruak dari benaknya. Sebuah kenyataan yang mau tak mau harus mereka berdua hadapi. Zena tidak bisa berkata sepatah kata pun pada keduanya. Ia hanya ikut memilu dalam dilema kelabu.

Setelah tangisannya mereda, lelaki dan wanita itu meminta maaf dan mempersilakan Zena untuk masuk. Dirinya ingin menolak, namun seolah keduanya ingin seseorang tetap bersama mereka. Sebuah kekhawatiran masuk dan melunakkan hati sang menteri.

Zena duduk di sebuah kursi kayu. Ia disuguhi secangkir teh dengan wadah seadanya. Zena pun meminum teh tersebut perlahan hingga habis. Lalu meletakkan kembali cangkirnya dan melihat lelaki yang duduk di depannya masih mengalirkan air mata.

Zena memantapkan niatnya dan mulai bercerita. Ia menjelaskan penyebab kematian Eva sebagaimana yang ia dengar dari orang yang menemukannya. Tentu saja hal tersebut akan menambah kepiluan bagi keduanya. Namun sebuah kebenaran akan kenyataan pahit itu harus tetap mereka ketahui.

Setelah selesai menjelaskan, Zena menyerahkan semua barang Eva ke atas meja. Seikat rambut pirang, beberapa surat dan kepingan emas. Sang Menteri pun menyodorkannya ke hadapan sang lelaki. Namun telunjuknya mengisyaratkan untuk membuka suratnya terlebih dahulu.

"Silakan dibaca surat – suratnya," ujar Zena. "Saya rasa itu mungkin pesan untuk kalian berdua."

Lelaki itu pun memanggil sang wanita untuk membacanya bersama.

Setiap detik yang berlalu, air mata mereka terus mengalir. Zena hanya bisa melihat tanpa mampu meringankan kesedihan yang mereka tanggung. Namun Zena terkejut saat keduanya tiba – tiba tersenyum lebar. Suara tawa pelan jua keluar dari bibir keduanya. Sesudah membaca surat, lelaki dan wanita itu menyeka air matanya. Hingga sebuah kata yang tidak masuk akal terdengar oleh Zena.

"Syukurlah ... syukurlah, Eva.". Sang lelaki menatap Zena dengan sebuah senyuman yang begitu tulus. "Terima kasih banyak telah mengantarkannya sampai ke tempat ini, Nona Bangsawan."

Zena menggeleng pelan. "Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya kebetulan lewat saja."

"Walau demikian," sahut sang wanita. "Kami benar – benar berterima kasih atas kebaikan Nona."

Zena semakin tidak mengerti. Sebelumnya kedua pasangan ini menangis tersedu – sedu, kini seolah mereka telah mampu melepas kepergian Eva. Hal itu memancing rasa penasarannya.

"Memangnya apa yang terjadi pada Eva?" tanya Zena.

Pasangan itu tersenyum dan saling melihat satu sama lain. Lalu mereka kembali menatap Zena dan meletakkan suratnya ke atas meja.

"Eva adalah anak perempuan kami yang sempat diculik oleh bandit yang dulu berada di dekat sini."

"Insiden Bandit Gargarosa?" sela Zena.

"Jadi Nona Bangsawan juga telah mengetahuinya." Lelaki itu meremas jemarinya, menunduk dan mulai bercerita. "Benar, Gargarosa adalah bandit yang melakukan semua itu. Karena kuatnya pasukan yang ia punya, bahkan Ratu Kralovna sebelumnya tidak mampu berbuat apa – apa terhadapnya. Hingga desa kami dan desa lain yang ada di dekat sini diabaikan begitu saja dan menjadi tempat jarahan Gargarosa. Tentu kami mengerti itu sebuah alasan yang cukup masuk akal. Mengingat Gargarosa adalah sosok monster perusak yang haus darah."

Zena hanya mengepal jemarinya. Ia merasa frustasi. Bukan pada lelaki di depannya, tapi untuk dirinya sendiri. Karena dikala itu, Zena ...

"Saat itu kami sudah benar – benar pasrah terhadap anak perempuan kami," lanjutnya. "Hingga seorang lelaki dan temannya datang membawa Eva kembali dengan selamat. Bahkan anak – anak perempuan lain yang juga sempat diculik, semuanya kembali dengan selamat. Singkat cerita, Eva pun merasa sangat kagum dengan sosok lelaki tersebut. Lelaki itu adalah penduduk kerajaan seberang namun tetap menolong Eva yang merupakan musuh dari leluhurnya. Hingga waktu terus berlalu. Kami menyadari bahwa Eva telah jatuh cinta pada lelaki tersebut. Sampai – sampai ia ingin untuk bertemu dengannya kembali. Kami ingin melarangnya, namun Eva—anak perempuan kami mempunyai tekad yang sangat kuat. Padahal tubuhnya begitu lemah. Kami terus dan terus melarangnya. Sampai ia dewasa pun hasratnya masih tidak berubah. Walau dengan berat hati, kami pun pada akhirnya mengizinkannya untuk pergi mencari bangsawan tersebut."

"Apakah dia bangsawan dari Kerajaan Krale?" tanya Zena.

Lelaki itu terkejut. "Bagaimana Nona bisa tahu?"

Seutas senyuman sempat terlukis di wajah sang menteri.

"Karena saya juga ikut serta dalam insiden tersebut. Saya ..." Suara Zena menjadi sedikit bergetar. "Saya ... juga diselam—bertarung bersama dengannya saat itu."

Lelaki dan wanita itu terkejut bukan main.

"Jadi Nona juga ikut dalam bertarung melawan Gargarosa?" Lelaki dan wanita itu langsung memberikan penghormatan kepada Zena. "Kami sungguh berterima kasih atas apa yang Nona lakukan untuk kami."

"Tidak perlu berterima kasih pada saya. Saya hanya membantu saja." Zena berusaha menenangkan keduanya. "Lagian memang benar, bahwa lelaki dari Krale itulah yang paling banyak berjasa dalam insiden tersebut. Jadi tidak perlu merasa berhutang budi kepada saya sama sekali."

Mendengar ucapan Zena, keduanya semakin tersenyum lapang.

"Sungguh mulia sekali Anda, Nona Bangsawan," puji keduanya.

"Lalu?" sela Zena. "Apa yang dilakukan Eva di Krale?"

"Dia ingin bekerja di tempat bangsawan tersebut."

Zena tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas ucapan lelaki tersebut. Ia meremas jemarinya sesaat dan menarik napas yang panjang.

"Bukankah itu berbahaya?" Suara Zena meninggi. "Bekerja kepada bangsawan kerajaan musuh sangat mengancam nyawanya. Bukankah kalian juga memahami hal itu?"

"S-Saya paham dengan itu, Nona. Namun tidak dengan bangsawan tersebut. Nona juga sudah bertemu dengannya, bukan? Dia bukanlah lelaki yang menganggap orang – orang Kralovna sebagai musuh hanya karena warna rambut yang berbeda." Suara sang lelaki juga ikut meninggi.

" ... "

"Tapi lihat bagaimana akhirnya?" Zena menatap tajam ke mata lelaki tersebut.

"Perginya Eva memang sangat disayangkan. Namun Eva berhasil bekerja di tempat lelaki bangsawan tersebut. Dan dia sangat bahagia. Itu semua tertulis di dalam suratnya. Itu adalah impiannya!" Mata lelaki itu berkaca – kaca dan isakannya mulai terdengar. "Selama dia bahagia ... kami ..."

Sang wanita seketika mengelus lembut punggung sang lelaki. Mendudukkannya kembali setelah berdiri karena emosi yang meninggi.

Zena yang tersadarkan akan ketidaksopanannya itu langsung meminta maaf.

Lelaki itu mencoba menenangkan dirinya. Memegang surat – surat itu lagi dan mengusapnya.

"Bangsawan itu ... pasti telah menjaga Eva dengan baik," tutur lelaki itu pelan.

Zena berusaha untuk tidak menunjukkan kemasaman wajahnya. Apa yang dilakukan oleh Eva dan kedua orang tuanya merupakan sebuah pertentangan bagi Zena. Bagi seorang Kralovna, bekerja pada sesamanya adalah solusi terbaik. Seorang wanita Kralovna bekerja pada lelaki—apalagi yang bukan dari kerajaannya, bisa dianggap sebagai perbuatan yang merendahkan martabat wanita Kralovna. Kralovna adalah negeri di mana kehormatan wanita jauh di atas lelaki. Dan Eva malah mengabaikannya.

Zena menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan emosi yang nyaris terlepas. Zena pun ingin pamit, namun ada yang masih membuatnya penasaran.

"Siapa nama bangsawan itu?"

Pertanyaan Zena itu menampakkan sedikit keraguan di wajah keduanya. Mereka menatap satu sama lain dan mengangguk setelahnya. Sang lelaki pun membuka suaranya.

"Lelaki itu ... Andrew," jawab lelaki itu. "Andrew Udanost."

"Andrew ... Udanost?" Mata Zena langsung terbelalak saat teringat sosok yang menggunakan nama itu di perjamuan penguasa silam. "Raja ... Krale?"

"Benar. Bangsawan yang telah menyelamatkan desa ini adalah Raja Krale."

Tangan Zena yang bergetar hebat spontan memukul keras meja kayu itu dan menghancurkannya. Kedua orang tua Eva terkejut bukan kepalang. Namun tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Hanya keheningan yang membisu

Kemudian Zena mengeluarkan beberapa keping emas dari sakunya dan meletakkan kepingan itu di kursi tempat ia duduk. Ia sekali lagi meminta maaf lalu memutuskan pergi dari rumah tersebut. Meninggalkan sepasang kekasih itu bersama rasa takut dan kekhawatiran yang tak menentu.

Tanpa sepatah kata pun, Zena segera mengambil kudanya dan memacunya kencang. Para pasukan yang telah siaga langsung mengikuti pemimpinnya tanpa diberi perintah.

Di sepanjang perjalanan, ia bungkam seribu bahasa. Zena yang membisu bukanlah Zena yang tenang. Itu adalah Zena yang sedang terguncang hebat. Entah karena sebuah kebahagiaan yang luar biasa atau dosa yang tidak bisa dimaafkan.

Di senja itu, Zena menyadari bahwa apa yang ia rasakan bukanlah sebuah rasa hormat semata. Bukan pula sekadar ingin mengucapkan sebuah terima kasih atas apa yang lelaki itu lakukan. Sudah lebih dari pada itu.

"Mengapa?" lirihnya. "Mengapa diriku harus memasang mata padanya? Pada penguasa dari kerajaan musuh yang sangat kubenci?"

Zena nyaris memberikan pengecualian padanya dari prinsip teguh yang telah digenggam erat selama ini. Ia benar – benar kecewa pada dirinya yang sempat melunak.

Dalam terpaan angin yang menggeraikan rambutnya, Zena akan membunuh rasa yang dapat membuatnya bimbang. Sekali dan untuk selamanya.

"Demi Alia Krasna. Aku bersumpah!"