Bahkan sorot matanya telah berubah.
Kobaran api besar yang menyambar itu kini membiru seperti lautan.
Begitu dalam nan menghanyutkan.
***
Tidak seperti biasanya, Zena tertekan oleh setiap serangan yang dilancarkan Alia Krasna. Dengan menggunakan dua bilah pedang kayu, Zena terus menghalau dan mencari celah untuk serangan balik. Namun secepat apapun reaksi Zena, ia tidak menemukan gerakan percuma dari lawannya. Mencoba mundur dan berlari ke sisi berlawan juga tak membuahkan celah sedikitpun.
Ya. Alia Krasna tidak seperti biasanya. Zena langsung mengerti sesaat hendak memulai latihan. Ada sebuah ketenangan yang luar biasa menghanyutkan. Bahkan sorot matanya telah berubah. Api merah ganas yang berkobar di dalam matanya berubah menjadi sesuatu yang biru nan pekat. Seolah jiwanya telah mencapai puncak tertinggi dari sebuah kehidupan.
Lagi. Serangan menusuk Zena ke arah wajah bisa ditepis tanpa ada rasa takut di raut Alia Krasna. Zena bergerak lincah ke kanan dan ke kiri melancarkan serangan bertubi – tubi. Lagi dan lagi, serangannya itu tidak membuahkan hasil. Bahkan senyum Alia Krasna saja tidak bisa dihilangkan oleh gerakan sengitnya.
Zena mencoba cara lain. Ia memasang kuda – kuda bertahan dan menanti reaksi lawannya. Lalu seperti yang ia duga, Alia Krasna langsung menerjang dengan pedang yang ada di tangan kanannya. Zena menunggu sampai Alia mengayunkan pedang kayunya sedikit melebar.
Saat itu pun tiba. Dalam sepersekian detik, Zena juga mengayunkan pedang itu dengan kekuatan penuh. Alih – alih berharap Alia Krasna kalah dalam adu kekuatan, pedang Zena malah hancur berkeping – keping. Pedang Alia Krasna menghantam tubuhnya dan membuatnya tersungkur ke belakang. Zena langsung bangkit dan melihat lawannya. Ia tidak mampu berkedip. Bukan karena pedang Alia Krasna telah berada tepat di depan wajahnya. Bukan pula karena luka lebam yang ia terima. Melainkan di dalam sorot matanya, Alia Krasna menjadi sosok yang bersinar sangat terang. Pemandangan itu yang membuat dirinya terpaku sesaat.
"Anda menang, Ratuku, Alia Krasna." Zena pun berlutut lalu menatap Alia dengan seksama. "Apa yang terjadi kepada Anda hari ini?"
Alia Krasna melepaskan senyuman yang lebar.
"Aku juga tidak mengerti, Zena. Entah mengapa, saat ini aku merasa sangat tenang. Tidak ada satupun kekhawatiran yang mengganggu konsentrasiku."
Zena sempat menggeratakkan giginya namun segera ia tertawa pelan.
"Saya hanya berharap Anda tidak terlalu bergantung pada keadaan seperti itu, Ratu Alia."
"Tentu tidak demikian, Zena. Itu sebabnya aku berlatih dengan pejuang terkuat di kerajaan ini. Semua itu agar diriku tidak lemah dan tidak pula lengah." Ratu Alia pun mengulurkan tangannya. "Terima kasih banyak atas latihan yang selalu engkau berikan, Zena."
Zena menyambut uluran tangan Ratu Alia lalu berdiri tegak di depannya.
"Saya yang harusnya berterima kasih, Ratu Alia."
Keduanya saling melempar senyum sembari melanjutkan perbincangan.
Tak berapa lama, seorang pelayan wanita datang menghadap. Namun langkahnya sempat terhentikan saat melihat dua wanita yang sangat cantik dan perkasa itu bermandikan keringat. Karena keringat yang melapisi kulitnya, kedua wanita tersebut terlihat seperti perhiasan yang berkilauan saat disiram cahaya mentari.
Sang Pelayan seketika mencubit pipi untuk menyadarkannya kembali. Kemudian bergegas memberikan penghormatan dan berkata dengan nada yang lembut.
"Ratu Alia," ujarnya. "Pertemuan selanjutnya akan segera dimulai. Air mandi untuk Anda juga telah dipersiapkan."
"Terima kasih atas kerja kerasnya. Kamu boleh pergi."
Ratu Alia menampakkan sebuah senyuman pada Sang Pelayan. Wajah Sang Pelayan langsung cerah seperti delima. Sang Pelayan beranjak pergi sembari menahan air matanya. Itu pertama kali ia mendapati Ratu Alia tersenyum untuknya sendiri.
Setelah pelayan itu pergi, Ratu Alia menoleh ke arah Zena.
"Mau mandi bersama, Zena?" ajak Alia.
Menteri Zena tidak mungkin menolak tawaran tersebut. Itu merupakan sebuah undangan sekaligus hadiah baginya.
"Tentu saja, Ratuku Alia," sahutnya.
Zena langsung berjalan mengikuti Ratu Alia dari belakang.
Di sepanjang langkahnya, Zena terus melihat punggung wanita nomor satu di kerajaan. Entah mengapa, kilas balik masa lalunya terlintas begitu saja. Ia pun mencoba mengalihkan pandangannya sejenak. Memijit keningnya sesekali dan menarik napas yang dalam.
Setelah mereka sampai di depan kolam pemandian, Zena menunduk sesaat. Lalu menatap bayangan dan membisikkan sesuatu padanya.
"Ratu Alia tidak akan berakhir seperti diriku ..."
***
Beberapa hari berlalu.
Menteri Zena selalu mengenakan pakaian ketat yang memperlihatkan belahan dada dan pahanya. Walau terlihat seksi dan menggairahkan, pakaian yang dikenakan olehnya berasal dari kulit dan bulu beruang. Dengan melihat warna dan teksturnya saja, tidak ada satu pun lelaki akan berani menyentuhnya.
Dalam tradisi Kralovna, seorang pejuang harus membuat pakaiannya sendiri. Semakin sulit dan berbahaya bahan untuk membuatnya, maka semakin tinggi pula derajatnya. Namun Zena tidaklah ditakuti dan dihormati karena pakaiannya saja, melainkan dirinya adalah pemenang turnamen adu kekuatan yang diadakan di Ibukota Kralovna. Sejak Alia Krasna menjadi Ratu, Zena belum pernah sekalipun dikalahkan.
Tidak hanya berperan sebagai pejuang teladan, dirinya juga adalah seorang menteri yang mengurus keamanan negeri. Maka sudah menjadi tugas bagi Zena untuk berpatroli setiap bulannya. Mulai dari pusat kota hingga ke perbatasan wilayah. Semata – mata ia lakukan demi menjaga ketertiban dan kedamaian kerajaan.
Hari ini tidak ada beda dengan sebelumnya, Menteri Zena melakukan patroli di sekitar perbatasan Kralovna – Krale. Ia membawa beberapa pejuang yang diambil dari Ibukota. Mereka mengenakan jubah yang seragam agar terlihat mencolok saat bergerak. Perlengkapan dan perbekalan yang dibawa juga sangat mencukupi. Apalagi dengan menggunakan kuda kualitas unggul, membuat pekerjaannya menjadi mudah.
Saat tiba di salah satu pos penjaga perbatasan, Zena melihat percekcokan antara seorang yang berpakaian seperti bangsawan dengan dua orang penjaga. Ia memacu kudanya dan menghampiri mereka.
"Apa yang terjadi?" tanya Zena sembari menurunkan tudung jubahnya.
Mendengar suara lantang itu, ketiganya langsung menoleh. Mereka dapati sesosok wanita yang sangat mereka hormati dan takuti.
"Saya mohon maaf, Menteri Zena," ucap salah satu penjaga. "Tapi lelaki ini terus memaksa agar memasuki wilayah Kralovna tanpa membuat surat izin terlebih dahulu."
Zena pun turun dari kudanya. Ia mendekati lelaki yang dimaksud oleh penjaga.
"Jadi apa yang membuatmu terburu – buru?" tanya Zena.
"Maaf atas kelancangan saya, Menteri Zena." Lelaki itu pun langsung berlutut dan mengeluarkan beberapa barang dari tasnya. "Saya ingin mengembalikan semua ini kepada orang tuanya."
Tatapan Zena langsung menajam pada seutas rambut keemasan yang diikat.
"Apa—Di mana kau menemukannya?"
Lelaki itu jadi gemetar tak karuan saat merasakan amarah yang terpancar dari sosok di hadapannya. Namun ia berusaha menegarkan diri.
"Di sebuah jurang di Kerajaan Krale. Saat sedang berburu, saya tidak sengaja menemukannya. Sayang, saya terlambat untuk menolongnya."
"Jadi dia dibunuh oleh orang – orang Krale?"
Aura mencekam tersemat dan membuat jemari kaki mereka menggigil.
"S-Saya tidak tahu bagaimana," jelas lelaki tersebut. "N-Namun saat itu saya mendapati anak lelaki yang menangis dari tempat ia terjatuh. S-Saya rasa wanita pemilik rambut ini telah berusaha menyelamatkan nyawa anak tersebut, Menteri Zena."
"Menyelamatkan nyawa dari musuhnya sendiri, kah?" desah Zena.
"Y-Yang terpenting, saya mohon agar diberi izin untuk memberikan ini kepada kedua orang tuanya. Saya mohon dengan sangat, Menteri Zena!" pinta lelaki tersebut.
"Tidak bisa. Kau harus mengikuti prosedur atau tindakanmu bisa disebut sebagai pembangkangan terhadap Ratu Alia Krasna. Aku tidak keberatan jika harus menebas kepala orang lagi hari ini." Zena menyentuh pangkal pedangnya dan menatap tajam lelaki itu.
"Saya mohon, Menteri Zena." Lelaki itu bersujud dengan berderaian air mata. "Saya merasa bersalah karena tidak mengantarkannya lebih awal. Saya juga tahu bagaimana sakitnya kehilangan anak. Sudah lebih dari tiga bulan saya tidak mengantarkannya. Mereka pasti berpikir anaknya baik – baik saja. Saya tidak ingin kedua orang tuanya diberi harapan hampa seperti itu. Saya mohon, Menteri Zena. Saya mohon."
Menteri Zena ingin mengabaikan tangisan lelaki itu. Namun entah mengapa, ia teringat sebuah kejadian dari masa lalu. Sebuah kenangan yang sama persis. Hanya saja dengan situasi yang terbalik.
"Di mana tempat itu berada?" Kalimat itu terlepas dari bibir Zena.
Zena langsung mendecakkan lidahnya saat menyadari ucapannya. Namun lelaki yang mendengar ucapannya langsung mengangkat kepala dan tersenyum lebar.
"Di arah selatan dari tempat ini. Desa itu berada di balik bebukitan. Sekitar dua jam jika ditempuh dengan kuda," jelas lelaki itu.
Zena mengerutkan dahinya. Wajahnya sempat terkejut mendengarkan penjelasan dari lelaki tersebut. Namun ia langsung mengambil barang – barang yang dimaksud dan memasukkannya ke dalam tas kudanya.
Lelaki itu terus mengucapkan terima kasih pada Zena. Air matanya terus menganak sungai. Berharap rasa bersalah yang ada di batinnya bisa terkikis sedikit demi sedikit.
Sesaat Zena hendak menunggangi kudanya, ia teringat sesuatu.
"Nama?"
"Rudo—Eva!" Lelaki itu hampir salah menjawab. "Eva Radsetoulal, Menteri Zena. Itulah nama yang tertulis di salah satu barang bawaannya."
"Eva? Nama yang indah untuk wanita yang malang."
Zena pun memacu kudanya kencang. Diikuti oleh pasukan yang dibawanya, dia pergi ke sebuah desa yang belum pernah diketahui oleh Zena sendiri. Wajar saja, empat tahun yang lalu, daerah di dekat tempat itu adalah bekas markas bandit yang terkenal dengan sebutan Beruang Hitam Gargarosa. Sebuah tempat yang juga meninggalkan kesan terburuk bagi Zena.
***