Mentari yang menyusup melalui celah-celah tenda mengusik tidurnya. Namun kesejukan udara pagi itu membuatnya enggan membuka mata. Ia bahkan menarik selimutnya tinggi hingga menutupi kepalanya. Dedic yang melihat itu ragu untuk membangunkan lelaki tersebut.
"Selamat pagi, Dedic," sapa Ostrava, "Raja Andrew belum bangun?"
"Ya. Jarang sekali beliau tidur begitu nyenyak. Saya rasa lebih baik membiarkannya tidur lebih lama. Ngomong-ngomong, Ratu Alia dan Desti belum keluar?"
"Belum. Tapi Ratu Alia dan Desti sudah bangun."
Dedic kembali menutup tenda itu. Ia pun mengajak Ostrava untuk mengambil air di danau yang ada di sekitar tempat itu. Sambil menunggangi kuda, mereka membawa empat ember kosong untuk diisi air. Tak lama waktu berlalu, ember-ember itu sudah penuh berisi air saat mereka kembali.
Kemudian mereka masuk ke dalam hutan dan mencari kayu bakar. Di sepanjang pencarian itu, mereka asyik berbincang dan saling mengunjukkan pengetahuan masing-masing. Mereka berdua telah menjadi akrab hanya dengan semalam. Mungkin karena perbincangan para lelaki tadi malam membuat mereka menjadi lebih dekat dari yang mereka bayangkan.
"Ratu Alia! Anda tidak perlu malu akan hal itu!" Suara Desti terdengar kesal sekali.
"Tapi itu tidak terlihat seperti wanita! Desti jahat!"
"Anda tidak boleh kekanak-kanakan seperti ini, Ratu Alia!" Desti berusaha menarik kain yang menutupi lengan Alia.
"Jangan!" Ratu Alia menahan kain tersebut.
Kekuatan yang hampir berimbang itu membuat kainnya tidak bergeming. Tak lama kemudian Desti pun menyerah. Dan keluar dari tenda membawa pakaian kotor dan memasang wajah cemberut.
Raja Andrew yang telah terbangun dari tidurnya, melihat wajah yang sekusut selimut itu membuatnya tertawa terbahak-bahak.
"Raja Andrew. Saya memohon dengan sangat agar menarik keluar Ratu Alia dari sarangnya. Dan mohon berikan pendapat yang jujur tentang pakaian yang beliau kenakan. Terima kasih." Desti menunduk sebentar lalu membawa gumpalan pakaian itu pergi bersamanya.
Karena penasaran, Raja Andrew pun mencoba mengintip dari balik tenda.
"Alia ... kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Andrew." Suara itu berasal dari gundukan besar yang berselimut.
"Apa yang kamu lakukan, Alia?" tanya Andrew keheranan.
"Aku salah membawa baju ganti."
"Oh, begitu." Andrew pun punya inisiatif.
Ia melangkah pelan dan masuk melalui celah selimut yang telah menggunung itu.
"Eh—Ah!" jeritannya terdengar sekilas.
Andrew berhasil menggenggam kedua tangannya. Lelaki itu berusaha menarik sosok di dalamnya. Namun Alia menahan tarikannya. Itu benar-benar perlawanan yang sengit.
Selagi tarik-menarik itu, Andrew langsung melejit masuk ke dalam lagi dan memeluknya. Tindakan tiba-tiba Andrew itu membuat Alia terkejut malu. Saat merasakan Alia telah lengah sesaat, pelukan itu berubah menjadi Princess Carry dan membawa Sang Ratu keluar dari sarangnya.
Alia terlalu terkejut untuk merespon. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya dari kilauan mentari. Ataukah ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah?
Andrew pun perlahan menurunkan sang wanita. Ia pun melepaskan kain yang menyelimuti lengannya.
"Jadi ini yang kamu sembunyikan?"
Alia berusaha menyembunyikan otot lengannya yang terlihat jelas. Seketika Andrew melepaskan tangan Alia yang menutupi lengannya itu, Andrew mencium otot lengannya yang terlihat cukup kekar itu.
Sekali lagi, Alia mendapatkan dosis rasa malu yang begitu tinggi hingga membuat kaki tak mampu menopang tubuhnya. Andrew menahan tubuh sang wanita itu dengan lembut.
"Maaf, Alia," bisik Andrew. "Aku tadi benar-benar kelewatan. Soalnya kamu tadi begitu lucu."
"Ah! Sudah cukup!" pekik Alia menahan rasa malu yang sudah tak tertahankan.
"Aku tidak mengerti kenapa kamu malu-malu dengan dirimu sendiri. Pakaian yang kamu kenakan itu benar-benar bagus!" ucap Andrew.
"Wah! Pakaian Anda benar-benar indah, Ratu Alia," puji Ostrava yang datang dari hutan.
"Ya ampun. Pagi-pagi aku sudah merasakan aura merah jambu. Ternyata ini asalnya," celetuk Dedic yang juga baru tiba dari hutan.
"Dedic, sepertinya kita perlu diskusi empat mata setelah pulang dari tempat ini," ucap Andrew dengan nada yang mengerikan.
"M-Maaf, Yang Mulia. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Dedic.
"Akhirnya Anda keluar juga, Ratu Alia!" Desti datang sambil menampakkan senyuman yang lebar. "Ternyata kekuatan cinta bisa meluluhkan keras kepala Anda, Ratu Alia." ledeknya.
"Desti!" Ratu Alia langsung berlari mengejarnya. Desti yang sempat start duluan sudah berlari jauh di depannya.
Dengan mengenakan pakaian wanita Kralovna pada umumnya, Ratu Alia benar-benar terlihat seperti wanita biasa. Hanya saja kecantikannya itu membuatnya dari biasa menjadi sesuatu yang menakjubkan. Benarlah kata pepatah zaman dahulu. Wanita yang cantik akan tetap cantik walau memakai baju jelek sekalipun.
Pagi itu mereka sibuk sekali.
Dedic sibuk menyiapkan api dan piring untuk makan. Sementara Ostrava sedang menyusun matras untuk tempat makan mereka. Andrew pun mengambil alih dapur saat para wanita asik main kejar-kejaran sedari tadi.
Ostrava yang sudah menyelesaikan pekerjaannya, duduk di dekat tungku api. Aroma yang begitu harum memancingnya untuk hadir di sana.
Ostrava tidak percaya saat melihat Andrew memasak. Memang tidak terlihat seperti koki kerajaan, tapi ketelitiannya itu menunjukkan bahwa dia benar-benar bisa memasak.
Aroma harum dari masakan itu juga tercium oleh Desti yang sedang berlarian. Dan itu menghentikan langkahnya seketika. Alia yang dari belakang sudah mengejarnya pun berhasil menangkap Desti.
"Ratu Alia, Siapa yang memasak sarapan pagi ini?"
"Hmm ..." Alia berusaha mencium aroma masakan itu. "Lebih baik kita kembali, Desti."
Mereka pun bersama berlarian menuju tenda. Di atas matras, hidangan telah selesai disajikan. Menu-menu itu sangat familiar bagi penduduk Kralovna.
"Chlebicek!" Mata Alia berbinar-binar saat melihatnya. Tanpa aba-aba tangannya langsung mengambil satu dan menyantapnya dengan lahap.
"Ratu Alia! Itu tidak sopan!" tegur Desti yang juga telah menyantap roti panggang dengan toping yang isinya beraneka ragam sayuran dan daging.
Andrew tertawa terbahak-bahak saat melihat kelakuan dua wanita ini. Dedic dan Ostrava hanya bisa menahan tawa mereka. Tidak mungkin mereka menertawakan seorang Ratu Kralovna.
"Kasta kami terlalu jauh dibandingkan dengan Raja Andrew," bisik batin mereka berdua.
Tanpa basa basi lagi, mereka pun juga ikut menyantap hidangan lezat itu. Setelah selesai makan, Desti mengumpulkan piring dan peralatan makan lainnya di dalam ember.
"Biarkan aku membantu, Desti,"
"Anda tidak perlu repot-repot, Ratu Alia."
Sesaat Desti hendak berangkat wanita itu menghalanginya.
"Baiklah, Ratu Alia. Kalau begitu temani saya menuju ke danau untuk mencuci semua ini."
"Oke!" Suara Alia terdengar begitu bersemangat.
Mereka berdua pun pergi meninggalkan para lelaki yang tengah duduk santai. Namun hingga siang menyapa, kedua wanita itu tak kunjung pulang. Itu membuat mereka khawatir.
Andrew dan Dedic langsung menaiki kuda dan memacunya kencang meninggalkan Ostrava yang masih tertidur. Sesampainya di sana, yang terlihat adalah dua orang wanita yang sedang bermain dengan air hingga membasahi baju mereka. Sebagian kulit mereka pun terlihat dari lapisan bajunya yang basah.
"Dedic, apakah melihat kejadian ini membuat kita bisa dijuluki lelaki mesum?"
"Saya rasa tidak, Yang Mulia. Kalau begitu saya kembali duluan. Silahkan bersenang-senang dengan mereka." Dedic pun memacu kembali kudanya.
"Eh ...? Dedic!" teriaknya.
Teriakan Andrew itu pun terdengar oleh kedua wanita. Andrew mengira nasibnya akan berakhir, namun Alia malah menariknya turun dari kudanya dan menyeburkannya ke danau.
"Bagaimana airnya, Andrew? Sangat menyegarkan, 'kan?"
"Woah!" Andrew langsung menggigil saat muncul ke permukaan. "Airnya benar-benar dingin!"
"Saya sudahan dulu, Ratu Alia." Desti keluar dari danau dan membawa pakaian yang telah selesai dicuci. "Saya harus menjemur pakaian ini sebelum hari semakin gelap."
"Yah~" Raut wajah Alia menjadi cemberut.
"Kalian sudah terlalu lama di air, Alia. Lihat! Jarimu sudah mengkerut." Andrew menyentuh tangan Alia. "Jika terlalu lama berendam kamu bisa demam, Alia."
Alia pun mengangguk dan mereka pergi ke tepian. Andrew mengambil kayu-kayu yang bisa ia temukan dan membuat api unggun. Dan keduanya duduk di dekatnya untuk mengeringkan pakaian yang melekat di tubuh mereka.
Beberapa waktu berlalu, Dedic datang dengan membawakan pakaian ganti untuk mereka berdua. Lelaki itu juga tak lupa untuk membawa tenda yang telah ia lipat dan mendirikannya kembali sebagai tempat ganti busana.
Setelah mengganti pakaian, mereka kembali ke tempat semula. Desti yang telah ada di sana sudah mempersiapkan makan siang untuk semuanya.
Siang pun berganti malam. Raja Andrew dan Ratu Alia terkena demam. Itu membuat mereka hanya bisa diam di dalam tenda, berdua. Entah apa yang dipikirkan oleh Desti yang membuat mereka berada di satu tenda yang sama. Tapi itu benar-benar membuat canggung keduanya.
Dengan memakai satu selimut besar, mereka berdua duduk berdampingan. Ratu Alia yang wajahnya sudah memerah karena panas tubuhnya yang tinggi, lagi bertambah merah. Raja Andrew juga demikian.
"Andrew ..." suara serak Alia mencairkan suasana. "Apa kita bisa bertemu lagi?"
Andrew menatap mata sang wanita dengan penuh keyakinan.
"Tentu, Alia. Namun tidak akan bisa jika setiap minggu karena pekerjaan dan status kita. Aku punya rencana untuk membuat pertemuan ini setiap pertengahan bulan. Itu pun jika kamu tidak keberatan, Alia."
"Tidak mungkin aku akan keberatan, Andrew." Alia tersenyum sumringah dan menyandarkan kepalanya ke tubuh Andrew.
"Kalau begitu ..."
Mereka pun melanjutkan perbincangan sampai keduanya terlelap malam itu.
Setelah memastikan semuanya tertidur, Dedic pergi ke dalam hutan sambil menggenggam botol racun yang ia terima dari simpatisan Jeden.
"Kenapa kau tidak menggunakan racun itu? Suara itu berasal dari kegelapan hutan.
"Cara ini akan membuatku tertangkap dan mengingat ada orang lain yang juga mengetahui pertemuan ini, berarti ada pihak lain yang ikut campur. Terlebih lagi, rencana ini dibuat terlalu terburu-buru."
"Ingin bermain aman sekarang, Rajaku Dedic? Baiklah. Kita akan menyusun rencana yang lebih matang lain kali. Tapi ingat, para sesepuh tidak akan senang dengan kabarmu kali ini, Rajaku Dedic."
Suara itu menghilang.
Dedic yang berdiri di sana dan merenungi semua yang ia lalui.
"Apa gunanya seorang Raja jika dia diperintah oleh orang lain?" gumamnya.
Hari pun berganti.
Semua barang-barang dan peralatan mereka telah disusun rapi ke dalam bagasi karavan masing-masing. Hari ini mereka akan pulang ke kerajaannya.
Mereka pun saling berpegangan tangan dan mendekatkan dahi mereka.
"Sampai bertemu lagi, Alia."
"Sampai bertemu lagi, Andrew."
Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang mereka dengar hari itu. Keduanya telah masuk ke dalam karavan untuk pulang. Namun hati keduanya seolah tak ingin terpisah lagi. Dari balik jendela mereka saling bertatapan. Telapak tangan yang diletakkan pada permukaan jendela seolah ingin meraih tangan yang lainnya Dua insan itu ingin terus bergandengan untuk selamanya.
Kuda yang menarik karavan itu pun melaju kencang. Mata Andrew tidak bisa lagi melihat karavan milik Alia. Setelah itu, ia hanya berusaha menyimpan semua tenaganya untuk menyembuhkan diri. Hari itu adalah hari paling mendebarkan yang pernah Andrew rasakan sepanjang hidupnya.
***
Setibanya karavan kuda Ratu Alia di istana, Menteri Zena telah menanti mereka.
Saat melihat Sang Ratu dalam kondisi tidak sehat, Menteri Zena memanggil Desti untuk datang ke ruangannya setelah selesai membawa Sang Ratu ke dalam kamarnya.
Saat Desti hendak pergi setelah selesai membaringkan Ratu Alia di kamarnya, Ratu Alia berkata dengan lirihnya, "Maafkan aku ... Desti."
"Anda tidak perlu khawatir, Ratu Alia." Desti pun memasang senyuman yang menenangkan Ratu Alia. "Semua akan baik-baik saja."
Desti pun keluar dan menutup pelan pintu kamar itu.
Langkah kakinya dengan cepat bergerak menuju ruangan Menteri Zena. Setibanya di sana, ia mengetuk pintu.
"Masuk." Nadanya tidak terdengar bersahabat.
Desti masuk dan berjalan hingga berada di depan Menteri Zena yang duduk di kursinya.
"Permisi, Menteri Zena. Saya Desti telah hadir di hadapan Anda."
Namun Menteri Zena langsung berdiri dan menarik kerah baju Desti dan mendorongnya ke dinding.
"Kenapa Ratu Alia bisa sampai terkena demam?"
"Saya tidak bisa ... menghentikan Ratu Alia ... yang terlalu senang bermain air ..." Suara Desti terdengar putus-putus.
"Lalu dengan siapa dia bertemu?"
" Deng ... s ..." Suaranya nyaris tidak keluar lagi.
Menteri Zena langsung menghempaskan Desti ke lantai.
"Dengan siapa Ratu Alia bertemu? Jawab aku Desti!" teriaknya.
Desti berusaha mengatur napasnya sebentar.
"Ratu Alia menemui lelaki yang ia cintai."
"Kau!" Tangan Zena langsung mencekik Desti dan menghempaskannya lagi. "Siapa lelaki itu?"
"Saya tidak bisa memberitahukannya kepada Anda, Menteri Zena."
"Jika kau tidak memberitahukannya ..." Zena menarik pedang yang ada di samping meja kerjanya dan mengacungkannya ke hadapan Desti. "Aku akan membunuhmu dan lelaki durjana itu!"
"Menteri Zena, Anda tidak berhak mengatur kehidupan asmara Ratu Alia sedikit pun! Saya tidak akan membiarkan kebahagiaan yang dimiliki oleh Ratu Alia direbut oleh siapapun!" tukasnya.
"Ratu Alia tidak memerlukan asmara untuk menjadi Ratu bagi Kerajaan Kralovna. Apa kau tahu dampak buruk dari rasa cinta itu, Desti? Isi kepalanya hanya akan dipenuhi oleh lelaki itu dan membuatnya menjadi seorang wanita yang bisa ditemukan di mana saja. Itu akan menjatuhkan kewibawaaan dan kebijaksanaannya!"
"Sebelum Ratu Alia menjadi seorang Ratu, beliau juga adalah seorang wanita, Menteri Zena! Jangan memaksakan pendirianmu terhadapnya!"
"Kau tidak akan pernah mengerti betapa mengerikannya cinta itu, Desti! Kalau sampai beliau patah hati karena cinta ini—Aku!"
"Aku yang akan membunuh lelaki itu, Menteri Zena!" sambung Desti dengan tatapan yang sangat tajam.
Menteri Zena tidak melihat ada keraguan di dalam mata wanita itu. Lalu ia pun menyarungkan kembali pedangnya dan duduk di kursi.
"Pegang kata-katamu, Desti. Jika tidak, aku yang akan mengakhiri hidupmu. Pergilah."
Desti pamit dan keluar dari ruangan itu. Namun ia sempat terjatuh dan berusaha menyandarkan tubuhnya di dinding lorong.
"Benar ..." Desti mengepalkan tangannya erat. "Aku akan melindungi kebahagiaan Ratu Alia."
Ia pun melangkah menuju kamarnya sembari membawa sumpah baru yang telah diikrarkan di dalam sanubarinya.